kelakuankucinggarong
New member
Tanpa bersifat sara,,tapi global semua agama,,mohon jawabannya
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”
( tikkhattum ; 3X )
Nammatthu Buddhassa,
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Artikel ini saya buat untuk menjawab banyak tudingan-tudingan dari masyarakat kebanyakan, yang menyatakan bahwa ummat Buddha adalah penyembah berhala. Artikel ini juga bertujuan mengingatkan, sebelum anda mencap suatu praktik keagamaan, sebaiknya anda pelajari dulu, anda mengerti dulu, apa yang dipraktikkan tersebut.
Bagaimanapun, tudingan-tudingan yang menyudutkan bahwa orang lain mempraktekkan penyembahan berhala, adalah tudingan yang cukup menyakitkan hati bagi orang-orang yang disudutkan tersebut. Semoga, dengan artikel ini, tidak ada lagi yang saling menuding bahwa seseorang penganut kepercayaan yang berbeda dengan dirinya, sebagai penyembah berhala, hanya karena terdapatnya simbol-simbol keagamaan mereka.
MEJA PUJA
Meja Puja di rumah
Diatas itu , adalah Meja-Puja yang ada dirumah tempat tinggal saya. Di ruangan tersebut, didepan meja-puja itu, saya biasa menghabiskan waktu selama 3-4 jam, sekitar jam 20.00 WIB s/d 24.00 WIB , untuk melakukan Puja-Bhakti setiap harinya. Rutinitas saya , adalah chanting / membaca Paritta selama satu jam, kemudian melakukan Bhavana ( pengembangan batin ) / samadhi selama 3 jam sisanya. Atau, terkadang tanpa chanting, hanya vandana, namakara-gatha, puja-gatha, Pubbabhaganamakara, dan Tisarana, kemudian saya lanjutkan dengan samadhi selama 3-4 jam.
Buddha-rupam ( Rupam = rupa, wajah, image ; Buddha-rupam = Image Sang Buddha ) yang di meja teratas, adalah Buddha-rupam dari Thailand, berlapis emas. Buddha-rupam itu menggambarkan posisi Sang Buddha sesaat setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau berdiam di tepi danau Muccalinda selama tujuh hari dan kemudian Raja Naga yang tinggal di dasar danau tersebut ingin melakukan persembahan yang berharga pada Sang Buddha, dengan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh lingkaran dan menaungi Sang Buddha dengan tujuh-kepalanya, dengan tujuan melindungi Sang Buddha dari hujan lebat selama tujuh hari berturut-turut ( hujan ini hanya terjadi pada dua peristiwa ; 1. Saat munculnya Raja-Dunia ; 2. Saat munculnya seorang Samma-Sambuddha ).
Bantalan untuk duduk Samadhi di Ruang Puja-'ku'
Buddha-rupam tersebut ( juga yang kecil, yang di meja lebih rendah. Buddha-rupam yang kecil itu berasal dari India ), merupakan pemberian seorang bijak dan bajik, sebagai hadiah untuk saya, sebagai cindera mata Beliau dari negeri Thailand dan India. Yah, semacam oleh-oleh… Daripada oleh-oleh berupa benda-benda yang tidak bermanfaat, maka saya memilih oleh-oleh berupa Buddha-Rupam yang berguna dan menunjang rutinitas saya berpuja-bhakti dan samadhi setiap harinya.
Pernak-pernik di atas meja Puja itu bukannya tanpa makna, semuanya memiliki makna sendiri-sendiri. Ada tiga elemen utama dalam meja-puja, yaitu : Nyala-api, Bunga, dan Dupa.
1). Nyala api lilin, melambangkan kebijaksanaan, pencerahan, yang melenyapkan kebodohan batin, kegelapan. Sembari menyalakan api lilin, siswa Sang Buddha bertekad dalam hati, untuk mampu melenyapkan kebodohan batin dan mencapai Pencerahan-Sempurna.
2). Bunga ; Bunga melambangkan harta dunia yang diinginkan para makhluk, sebab nampak indah, menyenangkan indera, berbentuk indah, berbau harum, bertekstur halus / lembut, dan mempunyai sari-sari bunga yang manis. Melalui bunga tersebut, siswa merenungkan dalam batin, bahwa meskipun bunga ( keduniawian ) nampak indah dan menyenangkan, namun patut direnungkan dengan bijaksana, bahwa semua hal di dunia ini, sesungguhnya bersifat tidak-kekal ( anicca ), dan karena tidak kekal maka menyebabkan timbulnya derita, kesedihan ( dukkha ), dan tiadanya inti-diri yang abadi disana ( An-atta ). Saat meletakkan bunga-bunga di meja Puja, siswa Sang Buddha merenungkan ketiga hal tersebut, “Anicca, Dukkha, Anatta”.
3). Dupa ; Dupa ini melambangkan harumnya kebajikan, moralitas, pengendalian batin / pikiran, dan kebijaksanaan yang mempesona dan menyebar kemana-mana. Para Bijaksana, dikenal, dikenang, tak terbatas ruang dan waktu, selama berabad-abad, diseluruh penjuru dunia, kebajikan-moralitas-pengendalian batin-kebijaksanaannya, dipuji oleh para makhluk. Mengenai hal ini, Sang Buddha menggambarkannya dalam syair berikut ini :
“ Appamatto ayam gandho,
Yayam tagaracandani
Yo ca silavatam gandho,
Vatti devesu uttamo.
( Dhammapada; IV-13 ; Puppha-Vagga ) “
Arti :
“ Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana,
Jauh lebih harum mereka yang memiliki Sila ( Moralitas, kebajikan ),
Nama harum mereka tersebar diantara para Dewa di alam Surga. “
APAKAH UMMAT BUDDHA PENYEMBAH BERHALA ?
Maggha-Puja di Vihara Watu Gong
“Penyembah-Berhala!”, kalimat ini selama berabad-abad telah menjadi senjata yang ampuh untuk mendiskreditkan suatu agama tertentu beserta para penganutnya. Bukan hanya agama Buddha dan para ummatnya yang sering mendapat ‘tudingan’ kejam seperti ini, tetapi agama-agama yang lainnya pun banyak juga ( misal ; agama Katholik, Hindu, dan lain-lainnya ). Agaknya kita harus dengan kepala dingin dan hati yang terbuka, menelaah secara kritis akan hal ini.
Pemujaan terhadap “berhala” yang dimaksudkan tersebut ( yang sering dituding-tudingkan ) , secara umum berarti, pemujaan terhadap sebuah benda ( patung, tugu-batu, batu-batu bertuah, dan segala bentuk benda yang lainnya ) dalam berbagai bentuk dan ukuran dan berdoa secara langsung terhadap benda-benda tersebut seolah-olah benda tersebut adalah Tuhan Yang-Maha-Kuasa itu sendiri. Doa-doa yang diuncarkan itu berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan terhadap “Tuhan” yang termanifestasi dalam benda itu, dengan harapan semua permohonan itu dikabulkan.
Nah, apakah Buddha-Rupam adalah berhala ? Melihat pengertian pemujaan berhala tersebut, maka, Buddha-Rupam BUKAN – BERHALA, dan puja kepada Buddha-Rupam, bukanlah suatu bentuk pemujaan kepada Berhala, sebab ;
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Buddha-Rupam, bukanlah benda / image yang menggambarkan sosok TUHAN.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Tidak ada DOA-DOA yang berisi permohonan, ratapan, keluh-kesah, yang ditujukan pada Buddha-Rupam tersebut.
Poster di ruang Puja di rumah saya
Mungkin anda ada yang bertanya, “ Lalu, apakah isi Sutta-sutta yang diuncarkan waktu ber-Puja-Bhakti ?”.
Yang harus diketahui, Sutta, BUKANKAH DOA. Sutta, berbeda dengan DOA.
Sutta, artinya adalah “Khotbah”, ia merupakan Sabda Sang Buddha yang berisi ajaran-ajaran Sang Buddha selama 45 tahun Beliau mengabdi pada semua makhluk demi menunjukkan jalan untuk terbebas dari ( minimal ) empat-alam menyedihkan ( yaitu ; neraka, binatang, alam para hantu ( peta ), dan alam para Jin dan raksasa ( Asura ) ) , dan ( maksimal ) demi tercapainya realisasi Nibbana, pembebasan sempurna dari samsara, terbebas dari arus tumimbal lahir di alam manapun juga. Pembacaan Sutta ini, mempunyai tujuan, untuk semakin menghayati ajaran Sang Buddha, bukan untuk meratap dan memohon permohonan-permohonan seperti rejeki, jodoh, dan lain-lain hal duniawi.
Misalkan saja, Karaniyametta-Sutta. Ini adalah Khotbah tentang Kewajiban dan Cinta Kasih. Berisi anjuran-anjuran Sang Buddha tentang apa yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, untuk mencapai ketenangan. Anjuran ini sangat jelas terlihat dari awal khotbah tentang kewajiban dan cinta-kasih ini :
“ Inilah yang harus dikerjakan,
Oleh ia yang tangkas, dalam hal yang berguna,
Yang mengantar ke jalan pencapaian ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah-lembut, tiada sombong… ,
Merasa puas, mudah dilayani,
Tiada sibuk, sederhana hidupnya,
Tenang inderanya, berhati-hati,
Tahu malu, tak melekat pada keluarga-keluarga.
Tak berbuat kesalahan walaupun kecil,
Yang dapat dicela oleh Para Bijaksana,
Hendaklah ia berpikir :
“Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Tenteram,
Semoga Semua Makhluk Berbahagia!”
Nah, dari cuplikan Karaniyametta-Sutta tersebut, jelas terlihat tidak ada ratapan-ratapan dan permohonan yang ditujukan kepada Buddha-rupam dan Sang Buddha, bukan ? Demikian pula dengan semua Sutta-sutta dalam kitab agama Buddha. Semua berisi ajaran-ajaran Sang Buddha, dalam bahasa Pali, dibaca untuk diresapi, dihayati, ditemukan manfaat sari pati ajarannya untuk dipraktekkan.
Sekarang, mari kita bandingkan isi SUTTA tersebut dengan DOA, yang umumnya masyarakat non-Buddhis mengenalnya. Umumnya, doa akan berbunyi dan berisi hal-hal seperti dibawah ini :
“ Ya Tuhan Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang… ,
Segala Puji Bagi – Mu , Tuhan, Penguasa Alam Semesta,
Hanya pada-Mu kami menyembah, dan hanya padamu kami MEMOHON PERTOLONGAN, Ya Tuhan Yang Maha Perkasa..,
Ya, Tuhan, Yang Maha Agung..,
Tunjukkanlah kami Jalan kenikmatan yang engkau berikan pada mereka yang Engkau kasihi, bukan jalan kecelakaan yang Engkau berikan terhadap mereka yang Engkau MURKAI… .
Ya Tuhan, bukakanlah pintu Rejeki untuk Kami,
Pertemukanlah kami dengan jodoh-jodoh kami
Yang telah Engkau siapkan, Ya Tuhan…,
Ampunilah kesalahan kami,
Terimalah seluruh amal perbuatan baik kami, Ya Tuhan..,
dst.”
Doa, selalu didahului dengan puja dan puji kepada Tuhan, lalu diikuti oleh berbagai bentuk ratapan dan permohonan, permintaan tolong, harapan untuk dibantu memperoleh jalan keluar, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan Sutta , yang diuncarkan para siswa Sang Buddha, berisi tentang pokok-pokok pelajaran yang diberikan oleh Sang Buddha, untuk dihayati, semakin diperdalam, demi tercapainya kemajuan spiritual.
Karena masyarakat umumnya terbiasa diajari doa-doa, yang isinya adalah ratapan-ratapan kepada Tuhan, lantas menyamaratakan bahwa apa yang dibaca dalam Paritta / Kitab-Kitab agama Buddha [terutama ketika ber-Puja Bhakti di depan meja Puja ] adalah sama dengan apa yang mereka baca.
FUNGSI BUDDHA-RUPAM
Meja Puja Bhakti di Rumah
Buddha-Rupam, atau image-Buddha, berfungsi sebagai alat bantu visual yang membantu seseorang mengingat Sang Buddha dan sifat-sifat luhur-Nya yang menginspirasi milyaran makhluk dari generasi ke generasi berikutnya sepanjang sejarah peradaban dunia.
Buddha-Rupam juga berfungsi sebagai objek-samadhi, yaitu saat melakukan samadhi dengan objek Buddhanussati. Meditasi dengan objek keluhuran dan sifat serta Guna dari Sang Buddha, akan semakin memperteguh semangat untuk menempuh kehidupan suci, dengan meneladani Sang Guru Agung itu sendiri, yang menunjukkan Jalan menuju kesucian dan pembebasan.
PATUNG-PATUNG DALAM AGAMA-AGAMA DILUAR BUDDHA-DHAMMA
Sesungguhnya, diluar agama Buddha, semua agama menggunakan suatu objek benda sebagai suatu sarana visual dan material untuk ber-religi, termasuk untuk melakukan ritual penguncaran doa-doa. Dan hal ini, menurut hemat kami, adalah wajar-wajar saja. Sebab, manusia mempunyai akal-pikiran, dan objek-objek tersebut merupakan bentuk ekspresi manusia terhadap sesuatu yang ia sebut “sakral”.
Di dalam agama Hindu, banyak terdapat patung Dewa, baik Dewa Brahma, Wisnu, maupun Siwa. Dan masih banyak lagi patung-patung. Semua patung-patung itu, merupakan simbol dari Tuhan, manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
Di dalam agama Katholik, banyak terdapat patung-patung, seperti patung Tuhan Yesus Kristus, patung Bunda Maria, serta patung para suciwan lainnya.
Didalam agama Kristen, meskipun di”haram”kan adanya patung-patung, namun mereka mempunyai lambang “Salib” , sebagai objek / image dari kekudusan, kerohanian, atau sesuatu yang “absolut” itu sendiri.
Di dalam Islam, agama yang sangat mengharamkan adanya objek-objek pemujaan, mempunyai sebuah objek lambang-suci mereka , yaitu Ka’Bah, atau rumah-Tuhan. Menurut sejarahnya, di dalam Ka’Bah dulunya terdapat tiga ratus enam puluh (360 ) patung, dan sudah disingkirkan semua oleh Nabi Muhammad SAW. Diluar Ka’Bah terdapat Batu Hajar Aswat , yang dipercaya sebagai batu bertuah dari surga. Hingga kini, ummat Islam sedunia, bila sholat , dan juga saat-saat berdoa, memohon suatu berkah, selalu menghadap KIBLAT, yaitu arah menuju rumah-Tuhan itu, Ka’Bah, di Mekah di tanah-Arab. Selain itu, juga terdapat seni Kaligrafi yang menggambarkan religiusitas mereka, dan seni ini sangat terkenal dan digemari karena keelokannya.
Di dalam Agama TAO, terdapat patung-patung Dewa, seperti Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Naga, Dewa Kekayaan, Dewa Kesehatan, dan lain-lain patung Dewa, yang kesemuanya berfungsi sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepadanya.
Di dalam Kejawen, terdapat Keris-Keris, batu-batu bertuah, jimat-jimat, beberapa jenis patung, lukisan-lukisan Dewa tertentu, seperti Semar, Ratu Kidul, dan lain-lain. Ummat Kejawen, juga melakukan doa-doa serta ritual-ritual kepada Tuhan , karena mereka merupakan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan YME ” . ( Misal, dengan doa-doa seperti, “Duh Gusti Ingkang Maha Agung, Ingkang Murbeng Dumadi, Ingkang Maha Kuwaos…, Kula Nyuwun Gunging Pangapunten, Gunging Pangaksami… , Nyuwun Sih Pitulungan Panjenengan , duh Gusti Pengeran…dst.” ).
Melihat betapa universalnya tradisi patung-patung / objek-objek suci bagi ritual sebuah agama di berbagai agama tersebut , lalu, adakah yang salah ? Tentu tidak. Adakah yang paling benar ? Artinya, bahwa hanya ada satu patung saja yang boleh disembah, sedang yang lain harus dihancurkan ? Egois sekali bila begitu.
Jika ada ummat Buddha yang melakukan hal memalukan tersebut ( menghancurkan patung-patung diluar Buddha-Rupam ), maka ia bukanlah seorang pengikut Sang Buddha, karena ia ‘egois’, ‘biadab’, menghancurkan suatu ‘keindahan’ , keelokan, ragam budaya dari pihak lain ( agama lain ) , yang sesungguhnya memperkaya khazanah peradaban dunia. Orang-orang seperti ini, ( yang suka menghancurkan patung-patung dari agama lain, dan menganggap hanya patung dalam agamanya sajalah yang boleh ada dan boleh disembah ) layaknya disadarkan, bahwa patung miliknya ( bagi ummat Buddha, tentu saja yang dimaksud adalah Buddha-Rupam ), bukanlah satu-satunya patung yang boleh ada, yang boleh dipuja, dan yang harus menjadi satu-satunya didunia yang di”sakral”kan.
SIAPA YANG SELAMA INI MENYEMBAH BERHALA ??
Persiapan Magha Puja di Vihara Watugong
Dengan menelaah hal-hal diatas, lalu, kita sekarang bisa bertanya, “Siapakah sesungguhnya yang selama ini MENYEMBAH BERHALA ?? “ Predikat “pemuja-berhala” sangatlah tidak tepat diberikan kepada ummat Buddha, dan tidak tepat pula diberikan pada ummat agama apapun. Pemberian predikat seperti itu sangatlah kejam, tidak manusiawi, melukai hati nurani setiap ummat yang memegang teguh kepercayaannya.
Sesungguhnya, semua agama sama-sama mempunyai objek / simbol religinya masing-masing, bahkan hampir semuanya memiliki suatu “objek” visual pemujaannya sendiri-sendiri, yang patut dihormati oleh semua pihak, baik ummat agama tersebut maupun ummat agama lainnya. Bagi kami, ummat Buddha, itu semua bukanlah masalah, dan bukan hak kami untuk menghakimi dengan tudingan-tudingan yang menyakitkan seperti yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Semoga dengan artikel ini, tidak ada lagi tuding-menuding yang berjudul “Penyembah-Berhala” tersebut,sadhu…sadhu…sadhu… .
“ Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”
( Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing )
Tersesat => Hilang arah.
Gak tau tujuannya harus kemana.