nurcahyo
New member
Ubah Biomassa Jadi Bahan Bakar Zeily Nurachman (Kimia ITB) Pencabutan subsidi bahan bakar minyak di satu sisi merupakan musibah karena akan menaikkan biaya produksi. Namun, di sisi lain menjadi berkah karena akan menghidupkan kembali upaya mencari sumber energi alternatif yang terbarukan, seperti yang dilakukan Robert Manurung dan timnya di ITB dengan eksplorasi minyak jarak dari tanaman jarak pagar (Jatropha Curcs L) untuk bahan bakar (Kompas, 15 Maret 2005). Bahan bakar biologi tidak dapat mengganti sepenuhnya bahan bakar fosil karena luas lahan pertanian tidak cukup tersedia. Namun, konversi biomassa dari berbagai sumber (termasuk limbah) dapat menjadi sumber energi alternatif sehingga akan mengurangi ketergantungan pada minyak. Tantangan saintis tidak hanya menemukan cara baru menghasilkan bahan bakar yang bermanfaat tetapi juga membantu politisi agar membuat kebijakan bahan bakar yang berbiaya rendah. Berat kering biomassa Diperkirakan 75 persen berat kering biomassa (massa total organisme hidup) dedaunan dan kayu terdiri dari karbohidrat (gula, pati, hemiselulosa, dan selulosa). Beberapa proses kini telah diuji coba untuk mengonversi karbohidrat menjadi bahan bakar (Gambar 1), misalnya: 1, pembuatan minyak bio melalui pirolisis biomassa, 2, produksi alkana atau metanol melalui proses sintesis Fischer-Tropsch dari campuran gas CO dan H2O yang diturunkan dari biomassa, dan 3, konversi gula dan metanol menjadi hidrokarbon aromatik dengan bantuan zeolit. Konversi glukosa menjadi etanol adalah proses yang secara luas telah dilakukan untuk memproduksi bahan bakar cair biomassa. Namun, efisiensi energi yang dihasilkan pada proses itu masih belum ekonomis, karena nilai efisiensi energi (perbandingan antara nilai kalor etanol dan energi yang diperlukan untuk memfermentasi etanol), misalnya dari produksi etanol dari jagung adalah 1,1. Sekira 67 persen dari energi yang diperlukan untuk produksi etanol itu dikonsumsi untuk proses fermentasi/distilasi, yang separuhnya dipakai hanya untuk mendistilasi etanol dari air. Ada proses pembuatan bahan bakar cair lain dengan nilai efisiensi 2,2, yang sedikit lebih baik dari fermentasi etanol. Yaitu proses pembuatan alkana dari larutan karbohidrat yang melibatkan pemisahan spontan alkana dari air. James A Dumesic dan timnya dari Departemen Teknik Kimia dan Biologi, Universitas Wisconsin, Madison, AS, telah berhasil mengubah sorbitol (gula alkohol dari glukosa) cair menjadi heksan. Dumesic menggunakan katalis yang mengandung asam. Alkana yang dihasilkan dari dehidrasi/hidrogenasi karbohidrat di atas merupakan sumber bahan bakar yang terbarukan. Dan, bahan bakar ini menjadi pelengkap dari produksi biodiesel yang bersumber dari minyak-minyak tumbuhan dan lemak binatang. Sayangnya, sifat heksan yang mudah menguap membuat senyawa ini sebagai aditif bahan bakar bernilai rendah. Oleh karena itu, produksi bahan bakar cair berkualitas tinggi dari karbohidrat memerlukan pembentukan alkana rantai panjang. Ini akan mungkin dicapai dengan memperpanjang rantai karbon-karbon dari karbohidrat asal sebelum memprosesnya dengan dehidrasi/hidrogenasi fasa cair (HFC). Dumesic dan timnya memperbaiki proses pembuatan alkana cair yang berantai panjang (dari C sampai C15) dari glukosa. Seperti yang diungkap dalam Science 3 Juni 2005, bahan bakar alkana rantai panjang yang dibuat dari karbohidrat berguna sebagai bahan bakar bebas sulfur. Perbaikan proses yang dilakukan tim Dumesic ini menghilangkan proses detilasi yang mahal, karena pemisahan produk hidrokarbon dari fase cair sangat sederhana. Pada kondisi reaksi DHFC, ikatan glikosidik yang terdapat dalam gula disakarida misalnya akan terputus. Pembentukan ikatan karbon-karbon antara karbohidrat dan turunannya dapat dilakukan melalui berbagai rute reaksi kimia (Gambar 2, yang intinya lewat dehidrasi (dikatalisis asam) dan diikuti kondensasi aldol (dikatalisis basa) untuk membentuk molekul organik yang lebih besar. Pada proses DHFC, pereaksi organik yang larut dalam air tidak dapat dipakai untuk membuat alkana karena 20 sampai 50 persen pereaksi itu diubah menjadi arang di permukaan katalis. Sistem reaktor empat fasa yang dirancang untuk reaksi DHFC terdiri dari 1, aliran masuk larutan mengandung pereaksi organik larut air, 2, aliran masuk alkana heksadekan, 3, aliran masuk masuk gas H2 dan 4, katalis padat. Pada saat dehidrasi/hidrogenasi berlangsung, pereaksi organik cair menjadi lebih hidrofob, dan kemudian aliran alkana heksadekan menyapu spesies hidrofob itu dari katalis sebelum mereka mengubahnya menjadi arang. Untuk pengesetan industri, alkana yang diproduksi dari hasil reaksi DHFC dapat didaur ulang ke reaktor dan digunakan untuk pereaksi organik. Selama proses dalam sistem reaktor empat fasa, heksadekan cukup stabil dan hanya sebagian kecil yang terurai menjadi senyawa yang berantai lebih pendek. Produksi alkana Jenis produk rantai alkana yang dihasilkan dalam DHFC ini tergantung dari masukan pereaksi organik yang ditambahkan untuk memperpanjang rantai. Penambahan furoin terhidrogenasi dalam reaksi kondensasi aldol menghasilkan alkana C9 dan C10. Sementara, penambahan furfuralaseton (1:1) terhidrogenasi menghasilkan alkana C7 dan C8. Penambahan 5-hidroksimentilfurfural (HMF) dan aseton (1:1) yang dihasilkan dari fermentasi glukosa menghasilkan produk alkana C8 sampai C15. Pengubahan karbohidrat alkana cair perlu tempat menyimpan hidrogen dalam jumlah besar, karena satu molekul hidrogen digunakan untuk mengubah tiap-tiap atom karbon dalam pereaksi karbohidrat menjadi alkana. Produk alkana cair menahan 90 persen kandungan energi dari tulang punggung karbohidrat berperan sebagai pembawa energi efektif untuk kendaraan bermotor, mirip peran karbohidrat sebagai senyawa penyimpan energi senyawa penyimpan energi pada makhluk hidup. Secara saintifik telah dibuktikan, bahan bakar cair dapat dibuat dari biomassa. Peningkatan lebih lanjut pada sisi teknologi masih perlu dilanjutkan, misalnya mengurangi reaksi pembentukan arang dan mengembangkan katalis baru yang stabil dan berumur panjang, agar biaya produksi dapat ditekan. Sumber : Kompas