Tawakal dalam menghadapi musibah
Pemakaian kata yang berasal dari bahasa lain sering kali mengalami pengurangan, penambahan atau pergeseran makna. Distorsi atau pergeseran makna juga berlangsung ketika sejumlah kata atau istilah dalam bahasa Alquran (Arab) masuk ke dalam khazanah Bahasa Indonesia.
Pemakaian kata tawakal misalnya telah mengalami unsur pejoratif sehingga terjadi reduksi, depresiasi dan degradasi makna yang terkandung di dalamnya. Kata tawakal acap kali dipahami dan dimaknai sebagai sikap pasrah dan menyerah atas suatu peristiwa atau keadaan. Ketika seorang menengok sahabatnya yang sedang terkena musibah dan dia menganjurkan untuk bersabar dan tawakal maka yang dimaksudkan pastilah saran untuk pasrah menerima kenyataan yang sedang disandangnya. Tawakal juga sering dikaitkan dengan sikap putus harapan, frustrasi dan kehabisan akal.
Pemahaman seperti di atas jelas menyesatkan karena tawakal mengandung arti yang lebih luas dan mendalam daripada sekadar pasrah, menyerah dan bertentangan dengan sikap putus asa.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah menyatakan: ‘kalau kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana burung-burung diberi rezeki; pagi-pagi meninggalkan sarang dalam keadaan lapar dan sore pulang dalam keadaan kenyang’ (HR Tirmidzi). Pernyataan Rasulullah ini mengandung pesan bahwa kita tidak boleh berpangku tangan soal rezeki tetapi harus berusaha mendapatkannya. Manusia hidup haruslah berusaha atau bekerja seperti halnya burung-burung yang meninggalkan sarang mencari makan.
Tawakal bukanlah pasrah dan apatis tetapi aktif berusaha dengan tenaga dan pikiran yang dimilikinya.
Rasulullah suatu kali memberikan petunjuk dengan amat jelas tentang makna tawakal kepada orang yang keliru memahaminya. Ketika ada orang yang membiarkan untanya tanpa diikat di tonggak atau pohon dengan alasan tawakal kepada Allah, maka kemudian Rasulullah segera mengingatkan: ‘ikatlah lebih dulu untamu itu baru kemudian engkau bertawakal’ (HR Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
Ketika musibah beruntun terjadi di negeri ini, baik darat, laut maupun udara, maka yang perlu diupayakan ialah ‘menambatkan unta lebih dahulu’ yakni secara preventif mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan transportasi sebagai bagian dari sikap tawakal. Setiap orang mengetahui bahwa benda yang dipakai dengan frekuensi tinggi dan dalam jangka waktu yang lama pasti akan cepat menjadi aus. Demikian halnya dengan pesawat terbang, kapal laut, kereta api dan bus yang setiap hari tidak pernah berhenti beroperasi pasti cepat aus komponen-komponennya sehingga memerlukan perawatan dan pengawasan yang ketat. Disiplin dan kontrol yang ketat terhadap kendaraan maupun manusianya mutlak dilakukan: apakah sebuah kendaraan laik jalan, apakah sopir, masinis, nakhoda atau pilot siap menjalankan kewajibannya, dan seterusnya. Banyak kecelakaan bus disebabkan rem blong atau sopir teler. Berkali-kali kereta anjlog karena rel dan bantalannya lapuk dimakan usia. Kesadaran yang sama hendaknya juga dimiliki penumpang untuk membeli karcis dan tidak memaksakan diri ketika kendaraan telah melewati daya tampung dan daya angkut.
Lebih jauh, kata tawakal dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 43 kali dalam Alquran. Sebagian dari jumlah tadi bergandengan dengan kata sabar, salah satunya dalam surah An-Nahl ayat 42 yang berbunyi: ‘Yaitu orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.’
Maka, kata tawakal bergandengan dengan sabar mengandung pesan agar ulet, tekun dan sungguh-sungguh dalam mengupayakan segala sesuatu agar terhindar dari berbagai musibah yang dapat mengancam dirinya.
Bagaimana dengan musibah yang diakibatkan gempa bumi, angin topan dan sebagainya? Marilah kita simak firman Allah yang berbunyi: ‘Tiada suatu bencana pun yang ada di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah, agar kamu tidak sampai berputus asa ketika mendapat kecelakaan dan jangan pula terlalu gembira atas keberuntungan yang kamu peroleh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berlebih-lebihan.’ (QS 57: 22-23). Barangkali sebagian peristiwa di muka bumi ini memang menjadi rahasia dan kehendak Allah yang tidak dapat terjangkau akal pikiran ini manusia yang demikian terbatas.
Namun satu hal yang pasti ialah bahwa setiap muslim wajib mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dan dalam perspektif yang lebih luas setiap individu sesungguhnya, dalam batas-batas tertentu, memiliki peluang untuk ‘menentukan’ hari esok yang lebih baik tadi. Bukankah Allah mempersilakan manusia untuk memilih jalan kebajikan atau jalan kejahatan sebagaimana firman-Nya, ‘Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan?’ (QS 90:10). Dan Allah pula yang berpesan: ‘....dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.’ (QS:3: 102).
Berdasarkan uraian di atas, setiap muslim wajib bertawakal dalam pengertian berusaha dan berdoa agar terhindar dari beragai bencana atau musibah. Adapun peristiwa yang telah berlalu adalah kehendak Allah yang tidak seorang pun mengetahui sebelumnya. Semua itu hendaknya menjadi pelajaran bagi setiap muslim agar dapat mengendalikan diri, baik ketika keberuntungan datang maupun ketika kemalangan menimpa. Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan, baik di kala suka maupun duka. Wallahu'alam bish shawab. - A Dahlan Rais, Dosen UNS, sekretaris PP Muhammadiyah