Megha
New member
Upacara Turun Tanah Pada Masyarakat Aceh
Peutron Aneuk/Turun Tanah, Peucicap/suatu ritual untuk menginginkan anak sesuai yang diharapkan, seperti dengan bercukur, bercermin supaya cantik/ganteng,
memberikan madu dengan meletakkan dibibir, agar sianak menjadi manis.
( Foto : Fachrul Razi / Acehfotografer.net )
Peutron Aneuk/Turun Tanah, Peucicap/suatu ritual untuk menginginkan anak sesuai yang diharapkan, seperti dengan bercukur, bercermin supaya cantik/ganteng,
memberikan madu dengan meletakkan dibibir, agar sianak menjadi manis.
( Foto : Fachrul Razi / Acehfotografer.net )
1. Asal-usul
Masyarakat Aceh, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa masa peralihan dari kehidupan seseorang (dari kelahiran sampai kematian) adalah masa-masa yang krisis1. Untuk itu, perlu adanya suatu usaha menetralkannya. Wujud dari usaha itu adalah berbagai bentuk upacara di lingkaran hidup individu, seperti upacara: kehamilan, kelahiran, turun tanah, perkawinan dan kematian.
Dalam artikel ini hanya akan diuraikan salah satu upacara di lingkaran hidup individu yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, yaitu upacara turun tanah. Uraian meliputi: asal-usul, peralatan, tata laksana, dan nilai budaya yang terkandung dalam upacara turun tanah.
2. Peralatan dan Perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam upacara turun tanah pada masyarakat Aceh adalah: tangga, sehelai kain putih, sebuah kelapa, sapu, tampi, cangkul, parang, pulut kuning, madu lebah, dan gunting rambut.
Tangga digunakan untuk menurunkan anak yang akan diturun-tanahkan. Sehelai kain putih digunakan untuk memayungi anak dengan cara setiap orang memegangi sudutnya. Sebuah kelapa untuk dipecahkan di atas tudung. Sapu digunakan untuk menyapu tanah ketika anak diturunkan dari anak tangga yang satu ke anak tangga lainnya. Tampi digunakan untuk menampi beras. Cangkul digunakan untuk mencangkul tanah. Parang digunakan untuk mencincang batang pisang atau tebu. Pulut kuning, khususnya pada masyarakat Aceh-Gayo, digunakan untuk menutupi daun telinga anak. Madu lebah digunakan untuk mengolesi bibir sang anak. Gunting, khususnya pada masyarakat Aceh-Temiang, digunakan untuk menggunting rambut anak yang akan diturun-tanahkan.
3. Tata Laksana
a. Persiapan Upacara
Upacara Turun Tanah tidak hanya melibatkan kerabat ibu dan ayah Sang jabang bayi, tetapi juga para tetangga dan handai taulan. Seorang yang baik budi pekertinya (terpandang) dan seorang alim ulama (tuan guru marhaban) yang biasanya memimpin jalannya marhabanan. Untuk itu, sebagai persiapan, semua yang akan terlibat itu (diberitahu bahwa pada hari tertentu2)), diminta kehadirannya untuk menyaksikan dan sekaligus mendoakan bayi yang akan diturun-tanahkan. Selain itu, pihak penyelenggara juga mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Besar-kecilnya atau mewah-sederhananya upacara bergantung pada kemampuan pihak penyelenggara. Biasanya anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, diperlakukan secara khusus dibandingkan dengan anak kedua atau ketiga, sehingga pelaksanaannya seringkali disertai dengan penyembelihan kerbau atau sapi. Jadi, lebih besar atau lebih meriah ketimbang anak kedua atau ketiga yang cenderung lebih sederhana (tanpa penyembelihan kerbau atau sapi).
b. Jalannya Upacara
Upacara diawali dengan penggendongan bayi (anak) oleh seorang yang terpandang dalam masyarakatnya. Anak tersebut dibawa ke sebuah tangga3) yang dibuat khusus untuk upacara ini, kemudian diturunkan dari anak tangga yang satu ke lainnya. Ketika penurunan dilakukan, anak tersebut dipayungi dengan sehelai kain yang setiap sudutnya dipegangi oleh seseorang. Lalu, sebuah kelapa dibelah di atasnya. Maksud yang terkandung dalam makna simbolik dari pembelahan kelapa ini adalah agar anak di kemudian hari tidak takut terhadap suara petir. Sementara itu, jika anak yang akan diturun-tanahkan itu adalah perempuan, maka salah seorang anggota keluarganya bergegas menyapu tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya menampi beras. Menyapu tanah dan menampi beras adalah simbol dari kerajinan. Artinya, anak perempuan yang diturun-tanahkan itu kelak menjadi seorang perempuan yang rajin. Namun, jika yang diturun-tanahkan adalah anak laki-laki, maka seorang anggota keluarganya bergegas mencangkul tanah dan salah seorang anggota keluarga lainnya mencincang batang pisang atau batang tebu. Makna simbolik dari ritual itu adalah kesatriaan. Artinya, kelak anak lelaki itu dapat menjadi seorang lelaki yang bermoral kesatria.
Ketika penurunan anak sudah sampai ke tanah, maka anak tersebut dibiarkan sejenak di atas tanah, kemudian dibawa keliling rumah atau masjid. Dan, ketika akan memasuki rumah, disertai dengan ucapan: “Assalamu Alaikum”.
Dengan masuknya anak ke dalam rumah, maka berakhirlah upacara turun tanah ini. Sejak saat itu anak sudah diperbolehkan menyentuh tanah. Sementara itu, sebagai ungkapan terima kasih dari shohibul hajah, bidan yang dalam upacara ini juga masih berperan sebagai “penjaga dari gangguan gaib” hingga Sang bayi melalui upacara turun tanah, diberi sejumlah uang (ala kadarnya).
Sebagai catatan, pada masyarakat Gayo upacara diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang Imam. Isi doa itu pada dasarnya adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah) agar anak berumur panjang, banyak rezeki, dan menjadi seorang yang taqwa. Setelah pembacaan doa, anak dipangku oleh ralik (salah seorang kerabat dari pihak ibu anak). Kemudian, daun telinganya dilekati pulut kuning dan bibirnya diolesi dengan madu lebah disertai dengan ucapan: “Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”. Selanjutnya, anak diserahkan kepada semua yang hadir (peserta upacara) secara bergantian (bergiliran) dengan mengucapkan kata-kata yang sama. Setelah itu, baru anak diturun-tanahkan melalui sebuah tangga yang khusus.
Pada masyarakat Tamiang lain lagi. Sebelum upacara turun tanah dilakukan, mereka melakukan upacara menyangke rambut budak (cukur rambut) dan sekaligus memberi nama. Upacara diawali dengan pengayunan anak sesuai dengan irama marhaban. Kemudian, anak diambil dari ayunan oleh salah seorang kerabatnya dan ditepung-tawarinya oleh tuan guru marhaban serta digunting rambutnya (sedikit). Guntingan rambut dimasukkan dalam kelapa muda yang terukir. Selanjutnya, setiap peserta marhaban diberi kesempatan untuk mengguntingnya4). Setelah semuanya mendapat gilirannya, maka barulah upacara turun tanah dilakukan.
4. Nilai Budaya
Turun tanah adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Aceh. Upacara yang sangat erat kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan, baik di dunia maupun akherat (alam baqa). Nilai-nilai itu, antara lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan, nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: “Mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”. (AG/bdy/67/10-07)
Sumber :
* Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
* Syamsuddin, T. dkk.1994. Adai Istidat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
* Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
* Syamsuddin, T. dkk.1994. Adai Istidat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1) Dalam ilmu antropologi, masa-masa dalam lingkaran hidup individu (dari kelahiran hingga kematian) dianggap sebagai masa-masa krisis karena mengandung banyak bahaya yang dapat mengancam keselamatan individu. Untuk itu, sebagian besar sukubangsa di Indonesia maupun di dunia selalu mempunyai usaha-usaha untuk menetralkannya dalam bentuk suatu upacara, agar individu yang mengalaminya dapat terbebas dari segala mara bahaya.
2) Ada ketidak-seragaman tentang waktu pelaksanaan turun tanah. Pada masyarakat Gayo misalnya, mereka melaksanakannya pada hari ke-7 (setelah kelahiran) bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama, dan hakikah. Kemudian, masyarakat Aneuk Jamee dan masyarakat Aceh, umumnya melaksankannya pada hari ke-44 (setelah kelahiran) bersamaan dengan pemberian nama. Lepas dari masalah waktu berbeda, yang jelas urut-urutan pelaksanaan turun tanah pada dasarnya sama.
3) Tangga terbuat dari bambu dengan ketinggian sekitar 1 meter dan anak tangganya berjumlah 5 buah.
4) Untuk meneruskan pengguntingan rambut agar rata diserahkan kepada bidan.
sumber : melayuonline.com