andree_erlangga
New member
Keputusan junta militer Thailand pada awal pekan ini yang berupaya membeli kembali perusahaan Shin Satellite dari Singapura tidak saja mengundang kontroversi, namun juga mengingatkan kembali kepada pandangan bahwa liberalisme ekonomi dan pasar bebas bukanlah segalanya. Liberalisme ekonomi maupun pasar bebas memang tengah menjalar begitu pesat di penjuru muka bumi berkat kemajuan teknologi dan tekanan dari negara-negara industri maju.
Futurolog Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global cenderung mengikis otonomi negara-negara yang berdaulat dengan meningkatkan mobilitas informasi, modal, dan tenaga kerja. Namun, bukan berarti semua negara berkembang mau begitu saja menyerahkan aset-asetnya yang masih dianggap strategis dan penting bagi kebutuhan rakyatnya kepada pihak asing yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Situasi itu tengah dialami Thailand yang tampaknya masih terus menyesuaikan diri dengan pergantian rezim sejak akhir tahun lalu. Thaksin Shinawatra memang patut dipuji berkat jasanya memulihkan perekonomian Negeri Gajah Putih tersebut setelah porak-poranda selama beberapa tahun akibat krisis moneter 1997. Bahkan, di masa-masa awal pemerintahannya, dia sanggup membawa Thailand kembali menjadi negara yang mandiri dengan tidak lagi bergantung kepada bantuan dan program IMF.
Namun, naluri bisnisnya yang tamak membuat dia membiarkan istri dan anak-anaknya menjual ?perusahaan keluarga? Shin Corp kepada Temasek ? BUMN Singapura yang gencar mencari aset-aset strategis di negara-negara tetangga ? dengan harga yang fantastis, US$ 3,8 miliar. Termasuk yang dijual adalah saham-saham Shin Satellite, yang mengendalikan semua satelit telekomunikasi milik Thailand.
Thaksin mungkin lupa bahwa kendati perusahaan-perusahaan tersebut milik keluarganya, namun satelit-satelit yang dikendalikan perusahaannya tersebut diandalkan rakyat dan pemerintah Thailand, mulai dari mendapatkan akses informasi, bertelepon, hingga menyimpan data-data rahasia.
Kini semuanya menjadi milik Singapura, yang dikhawatirkan dapat dengan mudahnya mengakses apa saja yang ada di Thailand, leluasa mengatur tarif telekomunikasi dan merekrut tenaga-tenaga asing.
Namun, Jenderal Sonthi Boonyaratkalin bersama junta militernya mencoba merebut kembali apa yang seharusnya tidak boleh dikuasai pihak asing. ?Aset-aset nasional, di mana pun berada, selalu menjadi milik bangsa dan rakyat Thailand,? begitu tekad Sonthi, yang sukses menyingkirkan Thaksin lewat kudeta damai September tahun lalu.
Tidak Bersahabat
Keputusan junta militer Thailand tersebut memang membuat geram mereka yang menjunjung tinggi dogma pasar bebas dan liberalisme. Harian the Wall Street Journal Asia, Rabu (21/2) lalu, misalnya, memberitakan betapa khawatirnya para investor asing di Thailand melihat langkah junta militer tersebut. Upaya membeli kembali Shin Satellite tersebut dianggap langkah ?yang tidak bersahabat? bagi para investor lokal maupun asing di Thailand, yang tadinya dianggap sebagai salah satu pasar yang menarik di dunia. Apalagi junta militer juga menerapkan pembatasan kepemilikan asing atas perusahaan-perusahaan nasional.
Akhirnya muncul kekhawatiran junta militer yang otoriter dan bertangan besi. Namun, Sonthi dan pemerintahan sementara Thailand yang dibentuk junta militer menjamin bahwa pembelian kembali saham Shin Satellite dari Temasek akan dilakukan murni melalui pendekatan bisnis, bukan secara paksa. Menariknya, pemerintah mengupayakan referendum khusus apakah mayoritas publik mendukung rencana pembelian kembali Shin Satellite.
Bahkan, dukungan dari publik yang diperlukan harus sedikitnya 75 persen. Bisa dimaklumi bila pendekatan tersebut tampaknya merupakan cara bagi junta militer untuk menghapuskan stigma sebagai pihak yang sewenang-wenang sekaligus menegaskan Thailand tetap menghormati etika bisnis yang berlaku secara global. Keberhasilan junta militer Thailand dalam merebut kembali aset-aset bangsa dari Singapura memang masih ditunggu.
Namun, langkah tersebut setidaknya bisa menimbulkan inspirasi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, baik dalam mempertahankan aset-aset milik bangsa maupun menguasai kembali aset strategis yang telah dikuasai pihak asing.
Patut pula dipertimbangkan kekhawatiran pengamat ekonomi politik Martin Khor bahwa bila negara-negara berkembang tidak lagi bisa mengendalikan tingkat dan tipe kepemilikan asing atas aset bangsa, sama saja mereka akan kembali masuk ke dalam masa penjajahan negara-negara kuat. Masalahnya tinggal bergantung kepada rakyat yang bersangkutan, apakah merasa tertindas atau justru lebih sejahtera berada di bawah penguasaan pihak asing.
sumber : SINAR HARAPAN
Futurolog Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global cenderung mengikis otonomi negara-negara yang berdaulat dengan meningkatkan mobilitas informasi, modal, dan tenaga kerja. Namun, bukan berarti semua negara berkembang mau begitu saja menyerahkan aset-asetnya yang masih dianggap strategis dan penting bagi kebutuhan rakyatnya kepada pihak asing yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Situasi itu tengah dialami Thailand yang tampaknya masih terus menyesuaikan diri dengan pergantian rezim sejak akhir tahun lalu. Thaksin Shinawatra memang patut dipuji berkat jasanya memulihkan perekonomian Negeri Gajah Putih tersebut setelah porak-poranda selama beberapa tahun akibat krisis moneter 1997. Bahkan, di masa-masa awal pemerintahannya, dia sanggup membawa Thailand kembali menjadi negara yang mandiri dengan tidak lagi bergantung kepada bantuan dan program IMF.
Namun, naluri bisnisnya yang tamak membuat dia membiarkan istri dan anak-anaknya menjual ?perusahaan keluarga? Shin Corp kepada Temasek ? BUMN Singapura yang gencar mencari aset-aset strategis di negara-negara tetangga ? dengan harga yang fantastis, US$ 3,8 miliar. Termasuk yang dijual adalah saham-saham Shin Satellite, yang mengendalikan semua satelit telekomunikasi milik Thailand.
Thaksin mungkin lupa bahwa kendati perusahaan-perusahaan tersebut milik keluarganya, namun satelit-satelit yang dikendalikan perusahaannya tersebut diandalkan rakyat dan pemerintah Thailand, mulai dari mendapatkan akses informasi, bertelepon, hingga menyimpan data-data rahasia.
Kini semuanya menjadi milik Singapura, yang dikhawatirkan dapat dengan mudahnya mengakses apa saja yang ada di Thailand, leluasa mengatur tarif telekomunikasi dan merekrut tenaga-tenaga asing.
Namun, Jenderal Sonthi Boonyaratkalin bersama junta militernya mencoba merebut kembali apa yang seharusnya tidak boleh dikuasai pihak asing. ?Aset-aset nasional, di mana pun berada, selalu menjadi milik bangsa dan rakyat Thailand,? begitu tekad Sonthi, yang sukses menyingkirkan Thaksin lewat kudeta damai September tahun lalu.
Tidak Bersahabat
Keputusan junta militer Thailand tersebut memang membuat geram mereka yang menjunjung tinggi dogma pasar bebas dan liberalisme. Harian the Wall Street Journal Asia, Rabu (21/2) lalu, misalnya, memberitakan betapa khawatirnya para investor asing di Thailand melihat langkah junta militer tersebut. Upaya membeli kembali Shin Satellite tersebut dianggap langkah ?yang tidak bersahabat? bagi para investor lokal maupun asing di Thailand, yang tadinya dianggap sebagai salah satu pasar yang menarik di dunia. Apalagi junta militer juga menerapkan pembatasan kepemilikan asing atas perusahaan-perusahaan nasional.
Akhirnya muncul kekhawatiran junta militer yang otoriter dan bertangan besi. Namun, Sonthi dan pemerintahan sementara Thailand yang dibentuk junta militer menjamin bahwa pembelian kembali saham Shin Satellite dari Temasek akan dilakukan murni melalui pendekatan bisnis, bukan secara paksa. Menariknya, pemerintah mengupayakan referendum khusus apakah mayoritas publik mendukung rencana pembelian kembali Shin Satellite.
Bahkan, dukungan dari publik yang diperlukan harus sedikitnya 75 persen. Bisa dimaklumi bila pendekatan tersebut tampaknya merupakan cara bagi junta militer untuk menghapuskan stigma sebagai pihak yang sewenang-wenang sekaligus menegaskan Thailand tetap menghormati etika bisnis yang berlaku secara global. Keberhasilan junta militer Thailand dalam merebut kembali aset-aset bangsa dari Singapura memang masih ditunggu.
Namun, langkah tersebut setidaknya bisa menimbulkan inspirasi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, baik dalam mempertahankan aset-aset milik bangsa maupun menguasai kembali aset strategis yang telah dikuasai pihak asing.
Patut pula dipertimbangkan kekhawatiran pengamat ekonomi politik Martin Khor bahwa bila negara-negara berkembang tidak lagi bisa mengendalikan tingkat dan tipe kepemilikan asing atas aset bangsa, sama saja mereka akan kembali masuk ke dalam masa penjajahan negara-negara kuat. Masalahnya tinggal bergantung kepada rakyat yang bersangkutan, apakah merasa tertindas atau justru lebih sejahtera berada di bawah penguasaan pihak asing.
sumber : SINAR HARAPAN