Kalina
Moderator
Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen.
Secara bahasa maupun istilah di dalam Al-Quran
dan Al-Hadist tidak ditemukan penjelasan tentang
kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen
muncul seiring dengan datangnya para Wali (Wali
Songi-red) ke Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika itu para
Wali melakukan penyebaran agama dengan cara
yang halus, yaitu memasukan unsur budaya dan
tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami
masyarakat kala itu. Menurut Dosen Komunikasi Antar Budaya,
Universitas Mercu Buana, Sofia Aunul, kejawen
sangat berbeda dengan ajaran islam. Istilah
kejawen Islam muncul setelah para Wali
menyebarkan ajaran Islam. Mereka (Wali Song-red)
memasukan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyeberan agama Islam.
“Kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi
yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalakan
oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.” Bambang Syuhada seorang Ustadz yang memiliki
perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah
mengatakan. Kejawen tidak jelas asalnya, banyak
yang mengatakan kejawen muncul pertama kali
setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa.
Kala itu Sunan menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat
Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya
Jawa dan Islam sehingga muncul istilah kejawen.
“Namun, penjelasan itu juga tidak banyak
disediakan dalam litelatur sejarah,” ungkap
Bambang Syuhada yang kerap disapa Ustadz Bambang. Masih Menurut Bambang Syuhada, ritual yang
dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi
dikehidupannya harus dilihat lebih dalam. Karena
ritual-ritual tersebut dikhawatirkan pada akhirnya
menyimpang dari ajaran agama Islam. “Dalam
kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi Tauhid itu menjadi haram, namun
jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-
prakter muamalah itu dibolehkan,” tutur
Bambang Syuhada yang ditemui di Klinik Asy-Syifa
miliknya di kawasan Tangerang. Ada tradisi kejawen yang diperbolehkan dalam
agama dan terdapat pula dalam Hadist Bukhori.
Pada saat adzan Maghrib, anak-anak disuruh untuk
masuk ke dalam rumah dan diajak ke Mushola
karena pada saat Maghrib setan dan iblis
berkeliaran. Namun, ada juga tradisi seperti mencegah bala, arung laut yang oleh masyarakat
penganut kejawen dicampur dengan bacaan
Shalawat Nabi, Surat Yasin dan Tahlil. “Sebetulnya
Salawat Nabi, bacaan surat Yasin, dan Tahlilnya
tidak menjadi soal, namun jika semua itu dicampur
adukan ke dalam ritual kejawen seperti memberi sesajen menjadi tidak sah (haram-red), sebab
semua itu dipersembahkan untuk yang lain (selain
Allah-red)” papar Ustadz Bambang Syuhada. Mengakarnya ritual-ritual kejawen yang menjadi
tradisi ini bukan tidak mungkin menimbulkan
gesekan (konflik-red) di masyarakat, pasalnya
kondisi ini menyentuh ranah budaya dan agama
yang diyakini masing-masing orang. Ustadz
Bambang Syuhada mengatakan, dibutuhkan peranan ulama-ulama yang berpengaruh di
masyarakat untuk memutus mata rantai bid’ah.
“Barangsiapa mengadakan hal baru dalam
urusan agama, yang tidak ada landasan
hukumnya, Maka ia tertolak” (HR. Bukhori dan
Muslim). Ritual pasang bendera kuning sebagai penanda
ada keluarga yang berduka karena kehilangan
(meninggal-red) orang yang dicintai, sesungguhnya
bukan ajaran agama Islam, itu adalah ritual
hinduisme,” jelas Ustadz Bambang kepada
wartawan OASE. Ia juga menambahkan, hendaklah seorang mukmin yang baik memiliki pemahan
yang dalam atas agama yang ia yakini. Jika
terdapat acara, ritual apapun yang dirasa tidak ada
dasar hukumnya dalam Islam, setiap mukmin
wajib menanyakan dan mengingatkan hal
tersebut. “Islam itu agama yang syamil, kamil, mutakamil, namun jangan mentang-mentang
mudah jadi dimudah-mudahkan dan di campur-
adukan. Islam tidak melarang budaya, hobi,
teknologi, musik asal dimanfaatkan sesuai koridor
Islam. Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas Mercu
Buana, Dewi Purnamasari yang juga berdarah
Jawa menuturkan. Sebagai ummat Islam wajib
hukumnya menjalankan kehidupan kita sesuai
dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan Al-
Hadist. Para Salafush Solih pun melarang kita untuk mendekati bid’ah. Namun, menurut mahasiswi
berkacamata ini, masalah kejawen dan segala
ritualnya yang telah membudaya harus disikapi
dengan lembut dan bijak, karena kondisi ini telah
mengakar dan menjadi tradisi turun-temurun.
Mulailah dengan jalan menasehati keluarga dan orang-orang terdekat dengan cara yang baik. “Ini
masalah sensitf, penyampaiannya tidak bisa
dengan frontal, harus pelan-pelan karena banyak
resikonya maka kita juga harus bersikap
hikmah,” ujarnya.
Penulis : Ukhti Dennis
Secara bahasa maupun istilah di dalam Al-Quran
dan Al-Hadist tidak ditemukan penjelasan tentang
kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen
muncul seiring dengan datangnya para Wali (Wali
Songi-red) ke Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika itu para
Wali melakukan penyebaran agama dengan cara
yang halus, yaitu memasukan unsur budaya dan
tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami
masyarakat kala itu. Menurut Dosen Komunikasi Antar Budaya,
Universitas Mercu Buana, Sofia Aunul, kejawen
sangat berbeda dengan ajaran islam. Istilah
kejawen Islam muncul setelah para Wali
menyebarkan ajaran Islam. Mereka (Wali Song-red)
memasukan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyeberan agama Islam.
“Kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi
yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalakan
oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.” Bambang Syuhada seorang Ustadz yang memiliki
perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah
mengatakan. Kejawen tidak jelas asalnya, banyak
yang mengatakan kejawen muncul pertama kali
setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa.
Kala itu Sunan menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat
Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya
Jawa dan Islam sehingga muncul istilah kejawen.
“Namun, penjelasan itu juga tidak banyak
disediakan dalam litelatur sejarah,” ungkap
Bambang Syuhada yang kerap disapa Ustadz Bambang. Masih Menurut Bambang Syuhada, ritual yang
dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi
dikehidupannya harus dilihat lebih dalam. Karena
ritual-ritual tersebut dikhawatirkan pada akhirnya
menyimpang dari ajaran agama Islam. “Dalam
kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi Tauhid itu menjadi haram, namun
jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-
prakter muamalah itu dibolehkan,” tutur
Bambang Syuhada yang ditemui di Klinik Asy-Syifa
miliknya di kawasan Tangerang. Ada tradisi kejawen yang diperbolehkan dalam
agama dan terdapat pula dalam Hadist Bukhori.
Pada saat adzan Maghrib, anak-anak disuruh untuk
masuk ke dalam rumah dan diajak ke Mushola
karena pada saat Maghrib setan dan iblis
berkeliaran. Namun, ada juga tradisi seperti mencegah bala, arung laut yang oleh masyarakat
penganut kejawen dicampur dengan bacaan
Shalawat Nabi, Surat Yasin dan Tahlil. “Sebetulnya
Salawat Nabi, bacaan surat Yasin, dan Tahlilnya
tidak menjadi soal, namun jika semua itu dicampur
adukan ke dalam ritual kejawen seperti memberi sesajen menjadi tidak sah (haram-red), sebab
semua itu dipersembahkan untuk yang lain (selain
Allah-red)” papar Ustadz Bambang Syuhada. Mengakarnya ritual-ritual kejawen yang menjadi
tradisi ini bukan tidak mungkin menimbulkan
gesekan (konflik-red) di masyarakat, pasalnya
kondisi ini menyentuh ranah budaya dan agama
yang diyakini masing-masing orang. Ustadz
Bambang Syuhada mengatakan, dibutuhkan peranan ulama-ulama yang berpengaruh di
masyarakat untuk memutus mata rantai bid’ah.
“Barangsiapa mengadakan hal baru dalam
urusan agama, yang tidak ada landasan
hukumnya, Maka ia tertolak” (HR. Bukhori dan
Muslim). Ritual pasang bendera kuning sebagai penanda
ada keluarga yang berduka karena kehilangan
(meninggal-red) orang yang dicintai, sesungguhnya
bukan ajaran agama Islam, itu adalah ritual
hinduisme,” jelas Ustadz Bambang kepada
wartawan OASE. Ia juga menambahkan, hendaklah seorang mukmin yang baik memiliki pemahan
yang dalam atas agama yang ia yakini. Jika
terdapat acara, ritual apapun yang dirasa tidak ada
dasar hukumnya dalam Islam, setiap mukmin
wajib menanyakan dan mengingatkan hal
tersebut. “Islam itu agama yang syamil, kamil, mutakamil, namun jangan mentang-mentang
mudah jadi dimudah-mudahkan dan di campur-
adukan. Islam tidak melarang budaya, hobi,
teknologi, musik asal dimanfaatkan sesuai koridor
Islam. Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas Mercu
Buana, Dewi Purnamasari yang juga berdarah
Jawa menuturkan. Sebagai ummat Islam wajib
hukumnya menjalankan kehidupan kita sesuai
dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan Al-
Hadist. Para Salafush Solih pun melarang kita untuk mendekati bid’ah. Namun, menurut mahasiswi
berkacamata ini, masalah kejawen dan segala
ritualnya yang telah membudaya harus disikapi
dengan lembut dan bijak, karena kondisi ini telah
mengakar dan menjadi tradisi turun-temurun.
Mulailah dengan jalan menasehati keluarga dan orang-orang terdekat dengan cara yang baik. “Ini
masalah sensitf, penyampaiannya tidak bisa
dengan frontal, harus pelan-pelan karena banyak
resikonya maka kita juga harus bersikap
hikmah,” ujarnya.
Penulis : Ukhti Dennis