T-Rex
New member
Wahhab bin Munabbih (1) berkata :
"Jika kamu ingin melaksanakan ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla, maka berusahalah agar dirimu benar-benar tulus dan berilmu tentang Allah, sebab tidak akan diterima amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak tulus. Dan ketulusan kepada Allah 'Azza wa Jalla itu juga tidak akan sempurna kecuali dengan ketaatan kepada Allah. Ibarat buah yang baik, baunya harum dan rasanya lezat. Demikian pula permisalan untuk ketaatan kepada Allah, ketulusan adalah baunya dan amal adalah rasanya.
Kemudian, hiaslah ketaatan kepada Allah dengan ilmu, kesabaran dan pemahaman.
Kemudian jauhkanlah dirimu dari perilaku orang-orang yang bodoh, paksalah ia mengikuti perilaku para ulama, biasakanlah ia melakukan perbuatan-perbuatan orang-orang penyabar, cegahlah ia dari perbuatan orang-orang yang celaka, haruskanlah ia mengikuti peri kehidupan para fukaha dan jauhkanlah ia dari jalan orang-orang yang jahat.
Jika kamu mempunyai kelebihan, maka bantulah orang lain dengan kelebihanmu itu; jika ada kekurangan pada orang lain, maka bantulah ia sehingga ia bisa seperti dirimu. Orang bijak adalah yang mengumpulkan kelebihan-kelebihannya kemudian menyalurkannya kepada orang lain. Kemudian ia memandang kekurangan-kekurangan orang lain, lalu meluruskan dan membimbingnya sehingga bisa memperbaikinya.
Jika ia seorang fakih, maka ia akan membawa orang yang tidak mempunyai pemahaman tentang fikih, jika dilihatnya orang itu ingin bisa bersahabat dan mendapatkan bantuannya.
Jika ia seorang yang berharta, maka ia memberikan sebagian hartanya untuk orang yang tidak punya harta,
Jika ia seorang saleh, maka ia memohonkan ampunan untuk pelaku dosa, jika diharapkannya orang itu bertaubat.
Jika ia seorang yang berbuat kebajikan, maka ia berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat jahat kepadanya, kemudian mengharapkan pahala dari perbuatan itu. Ia tidak akan tertipu oleh kata-kata sebelum diiringi dengan kerja nyata dan tidak akan berangan-angan untuk mentaati Allah jika belum melaksanakannya.
Jika ia berhasil melaksanakan sebagian ketaatan kepada Allah, ia memuji Allah, kemudian memohon pertolongan untuk bisa melaksanakan ketaatan lain yang belum dicapainya.
Jika ia mengetahui suatu ilmu, maka ia tidak merasa puas sebelum bisa mempelajari apa yang belum diketahui.
Jika teringat kepada kesalahan dirinya, ia menutupi kesalahan itu lantas memohon ampunan kepada Allah yang berkuasa untuk mengampuninya. Ia tidak akan menggunakan ucapan dusta untuk mencapai sesuatu, karena kedustaan adalah ibarat kayu yang dimakan rayap, luarnya tampak bagus tetapi dalamnya keropos. Orang yang tertipu tetap menyangka bahwa kayu itu mampu mengangkat beban yang diletakkan di atasnya, sampai kayu itu patah karena bebannya dan orang yang tertipu itu menjadi binasa. Demikian pula ucapan dusta, pelakunya masih terpedaya olehnya dan menyangka bahwa kedustaan itu membantunya dalam memperoleh kebutuhannya.
Keinginannya untuk melakukannya semakin bertambah, sampai kebohongannya itu diketahui oleh orang-orang yang berakal dan para ulama bisa menyimpulkan sesuatu yang disembunyikan dari pandangan mereka. Jika mereka telah melihat dan mengetahui dengan jelas keadaan yang sesungguhnya, maka mereka tidak mempercayai lagi omongannya, menolak kesangsiannya, menghinakannya, membenci majlisnya, menyembunyikan isi hati mereka darinya, menutupi pembicaraan mereka, mengalihkan kepercayaan dan menjauhkan urusan mereka darinya, mengkhawatirkannya terhadap agama dan kehidupan mereka, tidak mengundangnya ke majlis-majlis mereka, tidak mempercayainya untuk mengetahui rahasia mereka, dan tidak menjadikannya sebagai hakim dalam persengketaan mereka (2)
Catatan kaki :
(1) Wahab bin Munabih bin Kamil Al-Yamani Ash-Shan'ani, seorang tabi'i yang tsiqah. Riwayat hidupnya disebutkan dalam "Tahdzibut Tahdzib" (II : 166) dan "Hilyatul Auliya"" (IV:23).
(2). Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah" (IV: 36-37).
Diketik dari buku : Wasiat para salaf, Salim bin 'Ied Al Hilali , PustakaAt Tibyan (hal 96-99)
"Jika kamu ingin melaksanakan ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla, maka berusahalah agar dirimu benar-benar tulus dan berilmu tentang Allah, sebab tidak akan diterima amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak tulus. Dan ketulusan kepada Allah 'Azza wa Jalla itu juga tidak akan sempurna kecuali dengan ketaatan kepada Allah. Ibarat buah yang baik, baunya harum dan rasanya lezat. Demikian pula permisalan untuk ketaatan kepada Allah, ketulusan adalah baunya dan amal adalah rasanya.
Kemudian, hiaslah ketaatan kepada Allah dengan ilmu, kesabaran dan pemahaman.
Kemudian jauhkanlah dirimu dari perilaku orang-orang yang bodoh, paksalah ia mengikuti perilaku para ulama, biasakanlah ia melakukan perbuatan-perbuatan orang-orang penyabar, cegahlah ia dari perbuatan orang-orang yang celaka, haruskanlah ia mengikuti peri kehidupan para fukaha dan jauhkanlah ia dari jalan orang-orang yang jahat.
Jika kamu mempunyai kelebihan, maka bantulah orang lain dengan kelebihanmu itu; jika ada kekurangan pada orang lain, maka bantulah ia sehingga ia bisa seperti dirimu. Orang bijak adalah yang mengumpulkan kelebihan-kelebihannya kemudian menyalurkannya kepada orang lain. Kemudian ia memandang kekurangan-kekurangan orang lain, lalu meluruskan dan membimbingnya sehingga bisa memperbaikinya.
Jika ia seorang fakih, maka ia akan membawa orang yang tidak mempunyai pemahaman tentang fikih, jika dilihatnya orang itu ingin bisa bersahabat dan mendapatkan bantuannya.
Jika ia seorang yang berharta, maka ia memberikan sebagian hartanya untuk orang yang tidak punya harta,
Jika ia seorang saleh, maka ia memohonkan ampunan untuk pelaku dosa, jika diharapkannya orang itu bertaubat.
Jika ia seorang yang berbuat kebajikan, maka ia berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat jahat kepadanya, kemudian mengharapkan pahala dari perbuatan itu. Ia tidak akan tertipu oleh kata-kata sebelum diiringi dengan kerja nyata dan tidak akan berangan-angan untuk mentaati Allah jika belum melaksanakannya.
Jika ia berhasil melaksanakan sebagian ketaatan kepada Allah, ia memuji Allah, kemudian memohon pertolongan untuk bisa melaksanakan ketaatan lain yang belum dicapainya.
Jika ia mengetahui suatu ilmu, maka ia tidak merasa puas sebelum bisa mempelajari apa yang belum diketahui.
Jika teringat kepada kesalahan dirinya, ia menutupi kesalahan itu lantas memohon ampunan kepada Allah yang berkuasa untuk mengampuninya. Ia tidak akan menggunakan ucapan dusta untuk mencapai sesuatu, karena kedustaan adalah ibarat kayu yang dimakan rayap, luarnya tampak bagus tetapi dalamnya keropos. Orang yang tertipu tetap menyangka bahwa kayu itu mampu mengangkat beban yang diletakkan di atasnya, sampai kayu itu patah karena bebannya dan orang yang tertipu itu menjadi binasa. Demikian pula ucapan dusta, pelakunya masih terpedaya olehnya dan menyangka bahwa kedustaan itu membantunya dalam memperoleh kebutuhannya.
Keinginannya untuk melakukannya semakin bertambah, sampai kebohongannya itu diketahui oleh orang-orang yang berakal dan para ulama bisa menyimpulkan sesuatu yang disembunyikan dari pandangan mereka. Jika mereka telah melihat dan mengetahui dengan jelas keadaan yang sesungguhnya, maka mereka tidak mempercayai lagi omongannya, menolak kesangsiannya, menghinakannya, membenci majlisnya, menyembunyikan isi hati mereka darinya, menutupi pembicaraan mereka, mengalihkan kepercayaan dan menjauhkan urusan mereka darinya, mengkhawatirkannya terhadap agama dan kehidupan mereka, tidak mengundangnya ke majlis-majlis mereka, tidak mempercayainya untuk mengetahui rahasia mereka, dan tidak menjadikannya sebagai hakim dalam persengketaan mereka (2)
Catatan kaki :
(1) Wahab bin Munabih bin Kamil Al-Yamani Ash-Shan'ani, seorang tabi'i yang tsiqah. Riwayat hidupnya disebutkan dalam "Tahdzibut Tahdzib" (II : 166) dan "Hilyatul Auliya"" (IV:23).
(2). Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah" (IV: 36-37).
Diketik dari buku : Wasiat para salaf, Salim bin 'Ied Al Hilali , PustakaAt Tibyan (hal 96-99)