Megha
New member
Satu peringatan bagi mereka yang alergi kacang untuk lebih berhati-hati mencium pasangannya yang baru saja makan kacang meskipun mereka sudah menggosok gigi. Penelitian tentang alergi kacang ini dipresentasikan Minggu (12/03) oleh American Academy of Allergy, Asthma and Immunology dalam sebuah pertemuan tahunan yang diadakan di Miami Beach.
Sekitar 11 juta warga Amerika mengalami alergi makanan, dan sekitar 150 sampai 200 orang meninggal setiap tahunnya karena makanan. Di Amerika sendiri sekitar 30 ribu lebih pasien alergi makanan harus dibawa ke UGD (Unit Gawat Darurat) gara-gara alergi makanan yang mereka konsumsi.
Alergi kacang adalah alergi makanan yang paling dramatis dan mematikan, terutama banyak dijumpai pada usia balita.
Sebuah contoh mengenaskan terjadi tahun lalu, saat seorang gadis meninggal usai mencium kekasihnya, yang baru saja makan kacang. Diperkirakan ciuman tersebut mengandung kacang dan berakibat pada kematian gadis malang tersebut, namun pihak wilayah Quebec memastikan kematian si gadis karena sebab lain, bukan karena kacang.
Dalam studi tersebut, para peneliti menganalisa seberapa banyak kacang penyebab alergi yang masih menempel di ludah sebelum dan sesudah menggosok gigi.
Sepuluh orang diminta makan dua sendok selai kacang dalam sebuah sepotong sandwich. Lantas ludah mereka dikumpulkan dan diteliti setelah dan sesudah membersihkan gigi.
Satu jam setelah makan kacang tadi, alergen di tingkat enam atau tujuh tak bisa dideteksi. Namun alergen masih tetap tertinggal di ludah sesaat setelah makan, bahkan juga setelah membersihkan mulut.
Dalam penelitian ini para ahli mengatakan cobalah menahan diri selama beberapa jam untuk mencium seseorang. Peringatan ini terutama ditujukan pada para remaja yang memiliki resiko tinggi mengalami kematian yang kerap terjadi pada keadaan sosial yang berbeda.
Para peneliti meminta 174 partisipan pada kisaran usia 13 sampai 21 tahun untuk mengisi quisioner. Tiga perempat dari responden menderita alergi kacang, 82 persen menderita anaphylaxis (reaksi alergi parah yang kerap menimbulkan kematian), dan sekitar 52% hanya mengalami reaksi tersebut sebanyak tiga kali atau lebih dalam hidup mereka.
"Para remaja cenderung memiliki resiko paling tinggi pada jenis makanan anaphylaxis, karena itu kita ingin mengetahui penyebab utamanya, apakah karena mereka tak tahu menderita gangguan tersebut atau sengaja melupakannya," ujar pemimpin riset Dr. Scott Sicherer dari Mount Sinai School of Medicine, New York City.
Dari hasil riset, sekitar 74 persen responden selalu membawa epinephrine, pengobatan standar untuk mengatasi reaksi alergi. Namun prosentase tersebut tak cenderung berubah sejalan dengan aktivitas yang mereka lakukan, dimana sekitar 94 persen membawa epinephrine saat bepergian dan 43 persen membawanya saaat berolahraga.
"Remaja yang suka mengambil resiko cenderung kurang perhatian pada gangguan alergi yang mereka idap. Dalam hal ini perbedaan tingkat emosi masih mengambil peranan utama," ujar Sicherer.
"Sementara remaja yang suka mengenakan baju ketat cenderung tak suka membawa epinephrine, bahkan banyak dari mereka tak sadar bahwa beraktivitas dalam air juga memungkinkan terjangkitnya rekasi alergi," tambah Sicherer.
Sementara sekitar 60 persen mengatakan pada temannya bahwa mereka alergi kacang, dan 68 persen lebih yakin memberitahu teman mereka tentang gangguan alergi membuat mereka lebih bisa berhati-hati. Meskipun banyak dari mereka yang cenderung malas menerapkan pada diri mereka sendiri tentang reaksi energi tersebut.
Gangguan alergi juga dianggap sepele pada orang dewasa, meskipun ada beberapa dari mereka yang menjalani pengobatan alergi dengan alat epinephrine auto injectors (EAIs), namun setelahya mereka cenderung malas untuk melakukan cek secara berkala. Bahkan banyak dari mereka yang belum bisa mengoperasikan alat tersebut.
Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa mengkonsumsi kacang selama masa hamil memungkinkan si anak sensitif terhadap makanan tersebut. Namun tak ada indikasi bahwa ibu yang mengkonsumsi kacang saat hamil atau menyusui menaikkan perkembangan resiko alergi pada bayi mereka.
Sekitar 11 juta warga Amerika mengalami alergi makanan, dan sekitar 150 sampai 200 orang meninggal setiap tahunnya karena makanan. Di Amerika sendiri sekitar 30 ribu lebih pasien alergi makanan harus dibawa ke UGD (Unit Gawat Darurat) gara-gara alergi makanan yang mereka konsumsi.
Alergi kacang adalah alergi makanan yang paling dramatis dan mematikan, terutama banyak dijumpai pada usia balita.
Sebuah contoh mengenaskan terjadi tahun lalu, saat seorang gadis meninggal usai mencium kekasihnya, yang baru saja makan kacang. Diperkirakan ciuman tersebut mengandung kacang dan berakibat pada kematian gadis malang tersebut, namun pihak wilayah Quebec memastikan kematian si gadis karena sebab lain, bukan karena kacang.
Dalam studi tersebut, para peneliti menganalisa seberapa banyak kacang penyebab alergi yang masih menempel di ludah sebelum dan sesudah menggosok gigi.
Sepuluh orang diminta makan dua sendok selai kacang dalam sebuah sepotong sandwich. Lantas ludah mereka dikumpulkan dan diteliti setelah dan sesudah membersihkan gigi.
Satu jam setelah makan kacang tadi, alergen di tingkat enam atau tujuh tak bisa dideteksi. Namun alergen masih tetap tertinggal di ludah sesaat setelah makan, bahkan juga setelah membersihkan mulut.
Dalam penelitian ini para ahli mengatakan cobalah menahan diri selama beberapa jam untuk mencium seseorang. Peringatan ini terutama ditujukan pada para remaja yang memiliki resiko tinggi mengalami kematian yang kerap terjadi pada keadaan sosial yang berbeda.
Para peneliti meminta 174 partisipan pada kisaran usia 13 sampai 21 tahun untuk mengisi quisioner. Tiga perempat dari responden menderita alergi kacang, 82 persen menderita anaphylaxis (reaksi alergi parah yang kerap menimbulkan kematian), dan sekitar 52% hanya mengalami reaksi tersebut sebanyak tiga kali atau lebih dalam hidup mereka.
"Para remaja cenderung memiliki resiko paling tinggi pada jenis makanan anaphylaxis, karena itu kita ingin mengetahui penyebab utamanya, apakah karena mereka tak tahu menderita gangguan tersebut atau sengaja melupakannya," ujar pemimpin riset Dr. Scott Sicherer dari Mount Sinai School of Medicine, New York City.
Dari hasil riset, sekitar 74 persen responden selalu membawa epinephrine, pengobatan standar untuk mengatasi reaksi alergi. Namun prosentase tersebut tak cenderung berubah sejalan dengan aktivitas yang mereka lakukan, dimana sekitar 94 persen membawa epinephrine saat bepergian dan 43 persen membawanya saaat berolahraga.
"Remaja yang suka mengambil resiko cenderung kurang perhatian pada gangguan alergi yang mereka idap. Dalam hal ini perbedaan tingkat emosi masih mengambil peranan utama," ujar Sicherer.
"Sementara remaja yang suka mengenakan baju ketat cenderung tak suka membawa epinephrine, bahkan banyak dari mereka tak sadar bahwa beraktivitas dalam air juga memungkinkan terjangkitnya rekasi alergi," tambah Sicherer.
Sementara sekitar 60 persen mengatakan pada temannya bahwa mereka alergi kacang, dan 68 persen lebih yakin memberitahu teman mereka tentang gangguan alergi membuat mereka lebih bisa berhati-hati. Meskipun banyak dari mereka yang cenderung malas menerapkan pada diri mereka sendiri tentang reaksi energi tersebut.
Gangguan alergi juga dianggap sepele pada orang dewasa, meskipun ada beberapa dari mereka yang menjalani pengobatan alergi dengan alat epinephrine auto injectors (EAIs), namun setelahya mereka cenderung malas untuk melakukan cek secara berkala. Bahkan banyak dari mereka yang belum bisa mengoperasikan alat tersebut.
Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa mengkonsumsi kacang selama masa hamil memungkinkan si anak sensitif terhadap makanan tersebut. Namun tak ada indikasi bahwa ibu yang mengkonsumsi kacang saat hamil atau menyusui menaikkan perkembangan resiko alergi pada bayi mereka.