Kalina
Moderator
Terjun ke Air, Malah Terhantam Besi Kapal
Langgeng Widodo dan Widiantoro, dua perwira Mabes Polri penyidik KM Levina yang ditemukan tewas setelah dua hari raib, kemarin, adalah ahli forensik yang punya keahlian langka.
FAROUK ARNAZ, Jakarta
PULUHAN karangan bunga mengalir memenuhi halaman Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri kemarin. Tanda ungkapan duka cita itu diletakkan berjajar di bawah dua tenda di samping kiri dan kanan pintu masuk utama.
Kesibukan yang tak biasa itu untuk menyambut jenazah dua anggota terbaiknya, Kombespol (anumerta) Langgeng Widodo, 42, dan AKBP (anumerta) Widiantoro, 45, yang beberapa jam sebelumnya ditemukan mengambang di perairan Muara Gembong. Dua hari sudah keluarganya menunggu kepastian nasib kedua polisi yang raib saat bangkai KM Levina I yang disidiknya tiba-tiba tenggelam.
Para pemilik mobil yang biasa parkir di halaman Puslabfor pun diminta memindahkan mobil mereka. Tapi, setengah jam berlalu, tinggal mobil Daihatsu Xenia silver B 1503 CP tak juga kunjung dipindah pemiliknya.
"Itu memang mobil Pak Widodo (almarhum Langgeng Widodo)," kata seorang staf Puslabfor yang siang itu sibuk menyambut kedatangan jenazah. Kartu anggota Polri milik Widodo masih digantungkan di atas dashboard.
Mobil yang bangku tengahnya penuh berkas kerja Puslabfor itu lalu ditarik mobil derek. Tak berapa lama kemudian, jenazah Widodo dan Widiantoro yang sebelumnya dirawat di RS Pusat Polri R.S. Soekanto, Kramat Jati, tiba. Keduanya disalatkan di Masjid Al-Ikhlas, Mabes Polri.
Penghormatan Polri kepada kedua anggotanya itu memang cukup besar. Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang siang itu baru sampai di Jakarta setelah mendampingi kunjungan kerja presiden di Lampung pun turut berbaur dalam kesedihan bersama anak buahnya menyambut kedatangan jenazah.
"Atas nama negara, bangsa, dan Polri kami menerima kedua jenazah," kata Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri yang bertindak sebagai inspektur upacara pelepasan jenazah di Puslabfor.
Kontan para pelayat yang hadir hanyut dalam kesedihan. Begitu pula istri Widiantoro, Iptu Sitowati, serta tiga anaknya -Sita, 11, Anisa, 10, Indah, 8- dan istri Widodo, Titin Indriyana, beserta dua anaknya -Aditya, 9, dan Adrestia Aulia, 8.
"Tak banyak yang punya kemampuan seperti kedua anggota saya itu, terutama Widodo," kata Kapuslabfor Muhamad Ruslan Riza usai bertindak sebagai inspektur upacara pemakaman Widodo di Cikeas.
Jabatan terakhir yang diemban Widodo adalah kepala unit konstruksi dan teknologi forensik. "Itu di bagian kebakaran sehingga dia ahli soal itu," lanjutnya. Menurut dia, Widodo selalu turun di setiap kejadian besar di negeri ini yang "berbau" api.
Riza mencontohkan, peristiwa terbakarnya kantor pusat PT Pertamina di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Oktober 2006; lalu peristiwa terbakarnya KMP Lampung yang akan bersandar di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, pada November 2006; dan berbagai peristiwa bom di tanah air.
Widodo memang bukan orang baru di forensik. Lelaki kelahiran Ponogoro, Jawa Timur, pada 26 Juli 1965 itu berkenalan dengan dunia forensik sejak 1992, saat dia mengikuti Dikjur Labfor.
Widodo menjadi anggota Polri melalui jalur Sepa Milsuk ABRI pada 1988 dan mendapatkan beasiswa Polri untuk mendapatkan gelar S-1 di Fakultas Teknik Elektro ITS.
Selepas itu, pemegang Satya Lencana Kesetiaan 16 tahun itu meneruskan pendidikan S-2 di Kajian Ilmu Kepolisian UI dan lulus pada 2005. Sebelumnya, pada 1997, dia mendapatkan kesempatan belajar tentang tool mark and footwear marks di Inggris. Dia juga mendapatkan sertifikat scuba driver Polair.
"Saat kejadian, bersama saya, sebenarnya Widodo sudah terjun ke air. Tapi, entah bagaimana, mungkin karena terhantam besi, dia pingsan dan tenggelam," kenang Riza.
Meski kaya prestasi dan hampir selalu terlibat di setiap kejadian besar di negeri ini, Widodo tetap low profile. Selama menekuni profesinya, dia selalu menolak untuk diwawancarai wartawan. "Entah, kakak saya itu memang begitu. Dia pernah bilang untuk apa populer, tapi kerja tidak sukses. Lebih baik terlihat punggung karena kerja keras," kata Bambang Wahyu Adi, adik Widodo, saat ditemui di lokasi pemakaman.
Istri Widodo, Titin Indriyana, tak berkomentar banyak. Sambil dipapah anggota keluarganya, dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suaminya. Ibu dua orang anak itu juga mengaku tak mendapatkan firasat apa pun atas peristiwa tragis yang kepastiannya baru dia dengar pukul 09.00 kemarin.
Sedangkan Widiantoro lahir di Jakarta pada 10 Desember 1962. Jabatan terakhir adalah laboran madya kimia forensik. Pemegang gelar S-1 biologi dari Universitas Gadjah Mada itu bergabung dengan Polri melalui jalur Sepa pada 1989. Dia juga pernah mendapatkan training DNA dan penanganan barang bukti pada 1999. Hingga tadi malam, jenazah Widiantoro masih dalam perjalanan ke Purwokerto, Jawa Tengah, untuk dimakamkan di sana.
Langgeng Widodo dan Widiantoro, dua perwira Mabes Polri penyidik KM Levina yang ditemukan tewas setelah dua hari raib, kemarin, adalah ahli forensik yang punya keahlian langka.
FAROUK ARNAZ, Jakarta
PULUHAN karangan bunga mengalir memenuhi halaman Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri kemarin. Tanda ungkapan duka cita itu diletakkan berjajar di bawah dua tenda di samping kiri dan kanan pintu masuk utama.
Kesibukan yang tak biasa itu untuk menyambut jenazah dua anggota terbaiknya, Kombespol (anumerta) Langgeng Widodo, 42, dan AKBP (anumerta) Widiantoro, 45, yang beberapa jam sebelumnya ditemukan mengambang di perairan Muara Gembong. Dua hari sudah keluarganya menunggu kepastian nasib kedua polisi yang raib saat bangkai KM Levina I yang disidiknya tiba-tiba tenggelam.
Para pemilik mobil yang biasa parkir di halaman Puslabfor pun diminta memindahkan mobil mereka. Tapi, setengah jam berlalu, tinggal mobil Daihatsu Xenia silver B 1503 CP tak juga kunjung dipindah pemiliknya.
"Itu memang mobil Pak Widodo (almarhum Langgeng Widodo)," kata seorang staf Puslabfor yang siang itu sibuk menyambut kedatangan jenazah. Kartu anggota Polri milik Widodo masih digantungkan di atas dashboard.
Mobil yang bangku tengahnya penuh berkas kerja Puslabfor itu lalu ditarik mobil derek. Tak berapa lama kemudian, jenazah Widodo dan Widiantoro yang sebelumnya dirawat di RS Pusat Polri R.S. Soekanto, Kramat Jati, tiba. Keduanya disalatkan di Masjid Al-Ikhlas, Mabes Polri.
Penghormatan Polri kepada kedua anggotanya itu memang cukup besar. Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang siang itu baru sampai di Jakarta setelah mendampingi kunjungan kerja presiden di Lampung pun turut berbaur dalam kesedihan bersama anak buahnya menyambut kedatangan jenazah.
"Atas nama negara, bangsa, dan Polri kami menerima kedua jenazah," kata Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri yang bertindak sebagai inspektur upacara pelepasan jenazah di Puslabfor.
Kontan para pelayat yang hadir hanyut dalam kesedihan. Begitu pula istri Widiantoro, Iptu Sitowati, serta tiga anaknya -Sita, 11, Anisa, 10, Indah, 8- dan istri Widodo, Titin Indriyana, beserta dua anaknya -Aditya, 9, dan Adrestia Aulia, 8.
"Tak banyak yang punya kemampuan seperti kedua anggota saya itu, terutama Widodo," kata Kapuslabfor Muhamad Ruslan Riza usai bertindak sebagai inspektur upacara pemakaman Widodo di Cikeas.
Jabatan terakhir yang diemban Widodo adalah kepala unit konstruksi dan teknologi forensik. "Itu di bagian kebakaran sehingga dia ahli soal itu," lanjutnya. Menurut dia, Widodo selalu turun di setiap kejadian besar di negeri ini yang "berbau" api.
Riza mencontohkan, peristiwa terbakarnya kantor pusat PT Pertamina di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Oktober 2006; lalu peristiwa terbakarnya KMP Lampung yang akan bersandar di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, pada November 2006; dan berbagai peristiwa bom di tanah air.
Widodo memang bukan orang baru di forensik. Lelaki kelahiran Ponogoro, Jawa Timur, pada 26 Juli 1965 itu berkenalan dengan dunia forensik sejak 1992, saat dia mengikuti Dikjur Labfor.
Widodo menjadi anggota Polri melalui jalur Sepa Milsuk ABRI pada 1988 dan mendapatkan beasiswa Polri untuk mendapatkan gelar S-1 di Fakultas Teknik Elektro ITS.
Selepas itu, pemegang Satya Lencana Kesetiaan 16 tahun itu meneruskan pendidikan S-2 di Kajian Ilmu Kepolisian UI dan lulus pada 2005. Sebelumnya, pada 1997, dia mendapatkan kesempatan belajar tentang tool mark and footwear marks di Inggris. Dia juga mendapatkan sertifikat scuba driver Polair.
"Saat kejadian, bersama saya, sebenarnya Widodo sudah terjun ke air. Tapi, entah bagaimana, mungkin karena terhantam besi, dia pingsan dan tenggelam," kenang Riza.
Meski kaya prestasi dan hampir selalu terlibat di setiap kejadian besar di negeri ini, Widodo tetap low profile. Selama menekuni profesinya, dia selalu menolak untuk diwawancarai wartawan. "Entah, kakak saya itu memang begitu. Dia pernah bilang untuk apa populer, tapi kerja tidak sukses. Lebih baik terlihat punggung karena kerja keras," kata Bambang Wahyu Adi, adik Widodo, saat ditemui di lokasi pemakaman.
Istri Widodo, Titin Indriyana, tak berkomentar banyak. Sambil dipapah anggota keluarganya, dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suaminya. Ibu dua orang anak itu juga mengaku tak mendapatkan firasat apa pun atas peristiwa tragis yang kepastiannya baru dia dengar pukul 09.00 kemarin.
Sedangkan Widiantoro lahir di Jakarta pada 10 Desember 1962. Jabatan terakhir adalah laboran madya kimia forensik. Pemegang gelar S-1 biologi dari Universitas Gadjah Mada itu bergabung dengan Polri melalui jalur Sepa pada 1989. Dia juga pernah mendapatkan training DNA dan penanganan barang bukti pada 1999. Hingga tadi malam, jenazah Widiantoro masih dalam perjalanan ke Purwokerto, Jawa Tengah, untuk dimakamkan di sana.