nurcahyo
New member
Workaholik Bisa Timbulkan Efek Fisik dan Psikologis
'Ketagihan' bekerja atau workaholics dapat menimbulkan efek fisik dan psikologis terhadap si pekerja dan keluarganya. Bryan E. Robinson, Ph.D menulis sebuah artikel dalam Journal of Employment Counseling bahwa intervensi juga dibutuhkan untuk mengenali ketagihan pada pekerjaan dan menemukan cara yang tepat untuk mengatasinya.
Robinson merupakan seorang profesor dalam bidang konseling, pendidikan khusus, serta perkembangan anak di Universitas Karolina Utara, Charlotte.
"Workaholism adalah masalah yang sangat serius. Ini merupakan gangguan kompulsif yang tidak hanya mempengaruhi si pekerja namun juga keluarga dan lingkungan kerjanya," kata Robinson kepada WebMD. Tapi sangat jarang para peneliti tertarik mencari bukti ilmiah akan efek hal ini terhadap manusia.
Penelitian terdahulu menyatakan kalau workaholik biasanya depresi, cemas dan lebih cepat marah dibandingkan rekan kerjanya yang tidak workaholik. Mereka juga lebih sering mengalami masalah kesehatan.
Stress kronik akan pekerjaan konstan ini dapat menyebabkan masalah pada kesehatan fisik dan mental, kata Redford B. Williams, MD kepada WebMD. Williams adalah direktur dari Behavioral Medicine Research Center di Pusat kesehatan Universitas Duke di Durham, N.C. "Mereka memang selalu mencoba untuk jadi orang sukses, dan jika mereka mulai mempersepsi kalau ganjaran dari kerja keras mereka, seperti kenaikan gaji atau promosi kerja tidak sesuai, mereka akan mulai mengalami stress berat dan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan hal ini," kata Williams.
Stress berat dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, yang merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung dan serangan jantung. Sebagai tambahan, stress juga mengancam sistem kekebalan tubuh, membuat para workaholik ini lebih rapuh terkena penyakit lainnya. Di Jepang, 10.000 pekerja setiap tahunnya meninggal di mejanya sebagai hasil dari kerja 60-70 jam perminggu, sebuah fenomena yang dinamakan karoshi.
Tapi hal ini bukan hanya mempengaruhi workaholik, pasangan mereka juga merasakan tidak dipedulikan dan anak-anaknya merasa dijauhkan oleh orang tua yang workaholik, kata Robinson. "Anak-anak dipengaruhi oleh ketagihan kerja orang tua dengan cara yang tidak sehat secara mental dan dapat menyebabkan masalah yang bisa bertahan sampai usia dewasa mudanya," tulisnya.
Pada sebuah penelitian yang baru akan dipublikasikan terhadap 1000 wanita, Robinson menemukan kalau mereka yang menikah dengan workaholik memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi, pandangan positif terhadap pernikahan mereka dan kurang memiliki kontrol dalam kehidupan serta pernikahan mereka.
"Tempat kerja tidaklah menjadikan seseorang workaholik, sama seperti bar yang tidak membuat seseorang menjadi alkoholik, tapi memang merupakan suatu sarana," kata Robinson, penulis buku "Chained to the Desk: A Guidebook for Workaholics, Their Partners, Their Children and the Clinicians Who Treat Them."
Salah satu langkah pencegahan yang bisa diambil oleh para pegawai dan managernya adalah menyelenggarakan seminar mengenai kerja yang sehat melawan workaholism, bagaimana menghindari stress pekerjaan, dan pentingnya keseimbangan antara karir dan keluarga, katanya lagi. Dan penelitian adalah hal penting untuk membantu mengembangkan definisi yang lebih baik mengenai workaholik. Contohnya, penelitian terhadap ketagihan bekerja selama ini tidak mengikutsertakan wanita, "Semakin banyak wanita yang menjabat posisi penting di sebuah hirarki perusahaan, hadirnya ketagihan bekerja dikalangan wanita juga ikut meningkat."
sumber : KapanLagi.com: Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?
'Ketagihan' bekerja atau workaholics dapat menimbulkan efek fisik dan psikologis terhadap si pekerja dan keluarganya. Bryan E. Robinson, Ph.D menulis sebuah artikel dalam Journal of Employment Counseling bahwa intervensi juga dibutuhkan untuk mengenali ketagihan pada pekerjaan dan menemukan cara yang tepat untuk mengatasinya.
Robinson merupakan seorang profesor dalam bidang konseling, pendidikan khusus, serta perkembangan anak di Universitas Karolina Utara, Charlotte.
"Workaholism adalah masalah yang sangat serius. Ini merupakan gangguan kompulsif yang tidak hanya mempengaruhi si pekerja namun juga keluarga dan lingkungan kerjanya," kata Robinson kepada WebMD. Tapi sangat jarang para peneliti tertarik mencari bukti ilmiah akan efek hal ini terhadap manusia.
Penelitian terdahulu menyatakan kalau workaholik biasanya depresi, cemas dan lebih cepat marah dibandingkan rekan kerjanya yang tidak workaholik. Mereka juga lebih sering mengalami masalah kesehatan.
Stress kronik akan pekerjaan konstan ini dapat menyebabkan masalah pada kesehatan fisik dan mental, kata Redford B. Williams, MD kepada WebMD. Williams adalah direktur dari Behavioral Medicine Research Center di Pusat kesehatan Universitas Duke di Durham, N.C. "Mereka memang selalu mencoba untuk jadi orang sukses, dan jika mereka mulai mempersepsi kalau ganjaran dari kerja keras mereka, seperti kenaikan gaji atau promosi kerja tidak sesuai, mereka akan mulai mengalami stress berat dan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan hal ini," kata Williams.
Stress berat dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, yang merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung dan serangan jantung. Sebagai tambahan, stress juga mengancam sistem kekebalan tubuh, membuat para workaholik ini lebih rapuh terkena penyakit lainnya. Di Jepang, 10.000 pekerja setiap tahunnya meninggal di mejanya sebagai hasil dari kerja 60-70 jam perminggu, sebuah fenomena yang dinamakan karoshi.
Tapi hal ini bukan hanya mempengaruhi workaholik, pasangan mereka juga merasakan tidak dipedulikan dan anak-anaknya merasa dijauhkan oleh orang tua yang workaholik, kata Robinson. "Anak-anak dipengaruhi oleh ketagihan kerja orang tua dengan cara yang tidak sehat secara mental dan dapat menyebabkan masalah yang bisa bertahan sampai usia dewasa mudanya," tulisnya.
Pada sebuah penelitian yang baru akan dipublikasikan terhadap 1000 wanita, Robinson menemukan kalau mereka yang menikah dengan workaholik memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi, pandangan positif terhadap pernikahan mereka dan kurang memiliki kontrol dalam kehidupan serta pernikahan mereka.
"Tempat kerja tidaklah menjadikan seseorang workaholik, sama seperti bar yang tidak membuat seseorang menjadi alkoholik, tapi memang merupakan suatu sarana," kata Robinson, penulis buku "Chained to the Desk: A Guidebook for Workaholics, Their Partners, Their Children and the Clinicians Who Treat Them."
Salah satu langkah pencegahan yang bisa diambil oleh para pegawai dan managernya adalah menyelenggarakan seminar mengenai kerja yang sehat melawan workaholism, bagaimana menghindari stress pekerjaan, dan pentingnya keseimbangan antara karir dan keluarga, katanya lagi. Dan penelitian adalah hal penting untuk membantu mengembangkan definisi yang lebih baik mengenai workaholik. Contohnya, penelitian terhadap ketagihan bekerja selama ini tidak mengikutsertakan wanita, "Semakin banyak wanita yang menjabat posisi penting di sebuah hirarki perusahaan, hadirnya ketagihan bekerja dikalangan wanita juga ikut meningkat."
sumber : KapanLagi.com: Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?