Your Existence

BattleG900

New member
Hidupku sangatlah damai dan tenang. Rahasia adalah sesuatu yang tidak boleh kita ketahui, ketika kita mengetahui sebuah rahasia, pasti ada resikonya. Ada banyak rahasia di dunia ini yang tak boleh kita usik. Dan sebisa mungkin aku tak ingin dekat dengan rahasia-rahasia tersebut.


Chapter 1

“Mau sampai kapan tidur terus, kakak bego!” Adikku membuka jendela kamarku dan menarik selimutku. “Aduh, silau!” Ujarku sambil menutup mataku.“Sudah jam berapa ini memangnya!? Ibu menyuruhku membangunkanmu untuk sarapan. Kalau sudah bangun, cepat turun ke bawah ya!” Ujar adikku sambil menuju keluar kamarku. “Iya ... iya.” Jawabku.

“5 menit lagi ...” Ujarku dengan nada pelan lalu menarik selimutku untuk tidur kembali. “PLAK!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. “Sudah kuduga pasti kakak tidur lagi.” Ujar adikku. “Ah ...” Ujarku. “Cepat turuuuuuuun!”Bentak adikku. “Iya ... iya.” Jawabku. Akupun bergegas turun ke bawah menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Ayah dan Ibuku sedang bersantai menonton TV.

“Pagi, Ma, Pa.” Ujarku. “Pagi juga, Andi.” Ujar Ibuku. “Jangan mentang-mentang sedang libur semester jadinya kau bangun siang terus. Pikirkan baik-baik pola hidup sehatmu.” Ujar Ayahku.“Iya ...” Jawabku. “Nanti malam ada festival kembang api. Andi ingin datang?” Tanya Ibuku. “Mungkin engga, aku sudah punya janji malam ini.” Jawabku. “Janji dalam video game maksudnya ...” Ujarku dalam hati. “Baguslah kalau kakak tidak ikut, berarti kakak sendirian di rumah. Hati-hati lho kalau ada setannya.” Ujar adikku sambil tertawa kecil. “Huh, kayak anak kecil aja percaya hal begituan.” Kataku. “Ya sudah kalau Andi tidak ingin ikut. Nanti akan kami belikan oleh-oleh.” Ujar Ibuku. “Iya.” Jawabku.

“Oh iya, Ndi. Tolong antarkan belanjaan ini ke tempat Paman.” Ujar Ibuku. “Iya, sebentar.” Ujarku. “Ingin ke rumah Paman, ya? Aku ikut dong!” Ujar Adikku. “Eh? Ngapain ikut-ikut?” Tanyaku heran. “Tak apa sih. Lagian aku juga bosan di rumah.” Ujar Adikku. “Ya sudah, Rika temani kakakmu, ya.” Ujar Ibuku. “Tapi bu ...” Ujarku. “Siap, bu!” Ujar Rika.

Akupun mengangkat plastik makanan. “Sini, biar kubawa.” Ujar Adikku. “Tak usah, biar aku saja.” Jawabku. “Ya sudah.” Ujar Adikku. “Omong-omong, ada urusan apa ingin ikut ke rumah paman?” Tanyaku. “Gak apa-apa. Cuma ingin ketemu anaknya paman yang masih kecil. Kangen banget soalnya.” Ujar Adikku. “Kau kan baru ketemu dengannya kemarin sore ...” Ujarku. “Tak apa sih ... namanya juga kangen ...” Ujar Adikku.

Akhirnya kami sampai di depan rumah Paman. “Permisi Paman, Aku dan Rika datang bawa pesanan Paman.” Ujarku sambil sedikit berteriak. Namun suasana rumahnya tetap sepi, tak ada jawaban. Aku berteriak lagi, kali ini dengan nada yang lebih kencang, “Paman ... aku dan Rika datang.” “Mungkin tak ada orang, Kak.” Jawab adikku. “Aku cek sebentar deh.” Kataku sambil membuka pagar rumahnya yang tak terkunci. “Eh, Kakak ... tak sopan kalau asal masuk.” Kata adikku sambil menghentikanku.

“Tak apa, toh aku cuma mengeceknya saja.” Ujarku. Baru beberapa langkah masuk pagar, aku tiba-tiba oleng seperti ada yang menabrakku. “Eh ...” Kataku sambil terjatuh dan pingsan. Kulihat adikku langsung berlari ke arahku, dan memanggil namaku. “Eh ... aku kenapa ...” Ujarku dalam hati. “Badanku tak bisa digerakkan ... kenapa ini ...” Ujarku dalam hati. Aku merasakan seseorang berdiri di depanku, namun aku tak bisa melihatnya karena aku tak bisa menggerakan badanku. Nampaknya adikku tak sadar keberadaan orang itu, buktinya dia tetap membangunkanku sambil menyebut namaku. “Ah ... mataku berat sekali ...” Ujarku dalam hati. Perlahan mataku tertutup dan pingsan seutuhnya.

“Ng ... dimana ini?” Ujarku. Aku membuka mataku dan terbangun di ruangan yang asing bagiku. “Akhirnya Nak Andi sudah bangun.” Ujar Pamanku yang sedang duduk di sampingku. “Oh ... Paman.” Ujarku. Aku melihat Rika sedang tertidur di bangku sambil memeluk diriku. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Paman?” Tanyaku dengan heran. Pamanku hanya tersenyum, lalu berkata, “Sini ikut denganku, Nak Andi.” Aku mengikuti pamanku. Aku dan Pamanku berjalan ke arah pintu masuk tempatku terjatuh. Ketika sampai, aku tak dapat berkata apa-apa.

Aku melihat singa yang sangat besar, mungkin ini singa terbesar yang pernah kulihat. Ketika aku ingin lari ke dalam rumah, pamanku menghentikanku, lalu berkata, “Ternyata kau bisa melihatnya juga, Nak Andi. Jangan takut, selama ada paman, Nak Andi tak kan kenapa-napa.” Ujar pamanku sambil menenangkanku.

Bagaimana bisa aku tak takut melihat singa besar seperti itu, sejak kapan paman memelihara singa? Akupun meneguhkan hatiku dan bertanya pada pamanku, “Paman, sejak kapan paman memelihara singa?” “Hahaha, ini bukan singa biasa, Nak Andi. Ini pelindung rumah Paman semenjak paman masih anak-anak.” Ujarnya. “Apa orang lain tidak bisa melihat dia, paman?” Tanyaku heran. “Tidak, manusia biasa tidak bisa melihatnya. Sepertinya tadi kamu terjatuh akibat singa ini menghentikanmu karena kamu masuk seenaknya saja ke rumah ini.” Ujarnya.

“Oh, maaf paman. Tadi aku yang salah. Maaf ya, Singa.” Aku menundukkan kepalaku ke arah paman dan juga singanya. “Tak apa, Nak Andi. Omong-omong, kenapa Nak Andi bisa melihat Singa paman?” Tanyanya. “Aku juga enggak tahu, paman. Apa mungkin akibat aku tertabrak Singa paman?” Ujarku. “Hm ... Paman tidak tahu kenapa mata batin Nak Andi bisa terbuka.” Ujarnya.

“Mata ... batin?” Ujarku. “Ya, mata batin. Kemampuan seseorang melihat hal yang bukan dari dunia ini. Ingat nak, ketika mempunyai kemampuan seperti ini, Nak Andi tak boleh sombong, dan juga membantu siapa saja yang membutuhkan.” Ujar Paman. Aku terkaget mendengarnya. Jadinya, aku akan melihat seperti hantu-hantu atau siluman, ya ‘kan!? “Ternyata Kakak di sini, kakak sudah sehat?” Adikku menghampiriku. “Ah ... iya, sudah sehatan, kok. Ingin pulang sekarang?” Tanyaku. “Iya, kak.” Jawabnya. Sepertinya adikku tak bisa melihat singanya, padahal tepat di sampingku dengan Paman. “Paman, kami pamit pulang dulu, ya.” Ujarku. “Iya, hati-hati ya, Nak Andi dan Nak Rika.” Ujar Paman. Kamipun jalan pulang ke rumah.

Di perjalanan, aku melihat hal yang macam-macam. “Waaa.” Aku sedikit berteriak. Aku melihat kucing hitam sangat besar, berukuran manusia sedang berjalan di depanku. Adikku terheran melihat diriku. “Wanjer.” Aku berteriak lagi, kali ini aku melihat seorang pria memakai seragam perang dan membawa senapan lengkap dengan baretnya, namun kali ini tanpa kepala, itulah yang membuatku tersentak kaget. “Kakak enggak apa-apa? Daritadi seperti was-was dan kaget terus ...” Ujar adikku. “Tak apa ... aku hanya sedikit lapar kok, hehe.” Ujarku. Ketika aku melihat makhluk-makhluk tersebut, makhluk tersebut juga melihat ke arahku, sepertinya dia sadar kalau aku dapat melihat mereka.

Tak lama kemudian ada kakek-kakek seperti melewati kami dari arah depan, aku langsung menghentikan adikku, adikku nampak terheran lagi. “Kenapa berhenti, kak?” Tanyanya heran. Eh? Berarti kakek ini sejenis dengan makhluk-makhluk tersebut dong? “Tak apa, aku hanya capek sedikit.” Ujarku. Tak lama kakek tersebut menoleh ke arahku dan tersenyum lalu menghilang. Glek ... “A-Ayo, lanjut jalan.” Ujarku.

Akhirnya kami sampai juga di rumah. Baru kali ini aku merasa lega ketika sampai di rumah. “Kami pulang ...” Akupun membuka pagar, lalu kami masuk ke dalam rumah. “Wah, lama sekali main di rumah pamannya.” Ibuku menyahutku. “Iya tadi kakak tiba-tiba pingsan di depan rumah paman, lalu kakak istirahat sebentar di sana.” Ujar adikku. “Eh? Beneran!?” Tanya Ibuku dengan panik. “I-Iya bu. Tapi sekarang sudah tak apa kok, Bu.” Jawabku. “Oh syukurlah ...” Jawab Ibuku. Aku pun berjalan menuju ke kamarku. Namun langkah kakiku terhenti ketika baru sampai di tangga. Aku melihat ada perempuan sedang menangis, kira-kira umurnya setara dengan adikku. “Siapa ini!? Kenapa ada perempuan di sini?! Temannya adikku!? Atau mungkin ...” Ujarku dalam hati.

“Permisi ... anu ... sedang apa di sini?” Ujarku. “Hu ... hu ... hu ...”Dia tetap menangis. Rambutnya yang panjang sampai sebahu dan menggenakan baju putih, ditambah suasana di sekitarku menjadi sangat dingin. “Um ... kalau menangis terus, aku tak bisa membantu ...” Ujarku. “Kamu ... bisa melihatku?” Sambil menengok ke arahku. Wajahnya sangat kotor, berdebu dan nampak beberapa sarang laba-laba di rambutnya, namun mukanya sangat polos, mirip seperti adikku. “Bisa kok, makanya akan kubantu.” Ujarku sambil tersenyum.

Gadis ini mirip adikku, mungkin insting peran “kakak” milikku sedang menyala. “Begini ... sebentar lagi ulang tahun Ibuku, aku sudah membuat gelang untung hadiahnya, tetapi gelang itu hilang ketika aku sedang jalan-jalan. Aku mencarinya terus, tetapi tak ketemu.” Ujarnya. “Hm ... bagaimana kalau kita bikin yang baru saja? Aku punya banyak manik-manik sisa ujian praktek tahun lalu, kok.” Ujarku. “Boleh? Asik! Makasih ya um ... anu ...” Jawabnya. “Andi, panggil saja aku Andi” Jawabku. “Kalau begitu, namaku Sherly. Seperti yang kau lihat, aku adalah hantu penjaga rumah ini.” Ujarnya sambil tersenyum. Wajahnya menjadi manis, namun masih penuh dengan sarang laba-laba dan debu kotoran.

“Aku ambil dulu ya manik-maniknya di kamarku.” Jawabku sambil menuju kamarku. Ketika aku sudah mengambil manik-maniknya, aku menuju tangga tadi namun Sherly sudah tak ada. “Aku di sini~” Ujarnya sambil melambaikan tangan ke arahku. Dia sedang berada di kamarku dan sedang duduk di ranjangku. “Sedang apa di kamarku? Jadi tidak membuat gelangnya?” Ujarku. “Buat di sini saja. Lagipula, awalnya ini kamarku, huh.” Jawabnya sambil membuat muka bete. “Jadi ... kau penghuni yang dulu pernah tinggal di rumah ini?” Tanyaku . “Iya. Aku sudah di sini selama 200 tahun.” Jawabnya. “Lalu, dimana ibumu?” Ibuku sudah ada di surga sana.

Dia sudah tenang di sana. “Lalu kenapa kamu tidak mengikuti Ibumu?” Tanyaku. “Itu karena ...” Belum sampai selesai berbicara, Adikku memanggilku. “Kakak, DVD milikku mana?” Tanyanya di balik pintu kamarku. “Ah ... sudah kukembalikan ke kamarmu, cek sekali lagi coba.” Jawabku. Aku melihat Sherly, wajahnya menjadi murung, sepertinya aku menanyakan hal yang salah. “Ayo kita buat gelangnya untuk Ibumu.” Ujarku sambil tersenyum. Kamipun membuat gelang dari sisa manik-manik. Kami membuat 2 gelang untuk Ibu dan Sherly. “Mudah-mudahan Ibumu akan senang, ya.” Ujarku sambil tersenyum. “Iya, terima kasih ya, Andy.” Jawabnya sambil tersenyum.

Seketika wajahnya tak lagi kusut, perlahan aku melihat kecantikan di wajahnya. “Ndy ... Sebentar lagi kami akan berangkat ke festival kembang api. Kamu yakin tidak ingin ikut?” Ujar Ibuku. “Waaah, kembang api!? Ayo ikut, Ndy!” Jawab Sherly dengan wajah penuh semangat. “Tapi ... aku ...” Ujarku “Pasti bagus di sana! Aku ikut ya!” Ujar Sherly. “Eh!? Bukankah kamu penjaga rumah ini? Tak apa kalau kau pergi ke luar?” Tanyaku. “Tak apa. Lagipula rumah ini sudah aku beri pelindung, kalau ada apa-apa, pasti langsung memberitahuku.” Ujarnya.

“Oh, seperti alarm.” Ujarku. “Alarm?” Tanyanya bingung. “Ah ... ayo deh, aku juga ikut ke festival.” Ujarku. “Asik! Aku berdandan dulu, ya!” Ujarnya. Eh? Hantu bisa berdandan?! Ah sudahlah. Aku langsung turun ke bawah dan bilang kepada Ibuku kalau aku ikut ke festival. “Wooo, dasar labil. Tadi bilangnya enggak mau.” Ujar Adikku. “Ah .... ahahahah.” Jawabku. Aku mengeluarkan handphoneku dan bilang kepada teman dalam video gameku kalau aku sedikit telat bermain game. “Lama sekali si Sherly.” Ujarku dalam hati.

Akupun masuk ke dalam mobil, dan bersiap. “Untung saja tepat waktu.” Ujar Sherly yang sudah berada di mobilku. “Hiii! Sejak kapan kamu di dalam?” Aku sedikit berteriak. Ibu, Ayahku, dan Rika heran melihat ke arahku. “Kamu ... kenapa, Kak?” Ujar Rika bengong. “Ah ... tak apa. Aku hanya ngomong sama handphone-ku kok.” Jawabku sambil tertawa kecil. “Uhuu, Andy kayak orang gila, ngomong sendiri ... hihihi.” Gumam Sherly sambil tertawa kecil. “Salah siapa woi!?” Ujarku dalam hati. Kamipun menuju tempat festival kembang api di adakan.
 
Last edited by a moderator:
Back
Top