nurcahyo
New member
Yusril: Surat Ketua DPR ke Presiden Aneh
Kapanlagi.com - Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menilai surat yang dikirimkan Ketua DPR RI Agung Laksono pekan lalu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait RUU Peradilan Militer tidak lazim karena RUU itu masih dalam pembahasan di tingkat Panja DPR RI.
"Itu tidak lazim terjadi. Bahkan mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah republik. Satu pembahasan RUU, sebelum ada kesepakatan pada tingkat pansus belum mendapat kesepakatan dan masing-masing alot, tapi Ketua DPR menanyakan sikap presiden," kata Yusril dalam konferensi pers di Hotel Imperial, Tokyo, Jepang Senin di sela-sela kunjungan kerja presiden Yudhoyono selama tiga hari.
Yusril mengatakan dirinya baru saja menerima telepon dari Ketua DPR terkait surat yang dikirimkan Agung pekan lalu yang meminta kejelasan soal sikap presiden terkait RUU Peradilan militer, terutama mengenai pasal apakah seorang prajurit TNI disidangkan di pengadilan militer atau pengadilan umum dan juga terkait tindak pidana koneksitas yang dilakukan sipil dan militer.
Atas pertanyaan dari Ketua DPR itu, Yusril mengaku sudah berkonsultasi dan mendapat jawaban dari Presiden bahwa seorang prajurit TNI jika melakukan tindakan pidana biasa maka akan diadili di pengadilan umum, dan akan diadili di pengadilan militer jika melakukan tindakan pidana militer seperti desersi atau menolak perintah atasan.
Sedangkan untuk kasus koneksitas, menurut Yusril, perlu dilihat titik berat dari masalahnya. Jika ternyata masyarakat sipil terlibat bersama-sama dan membantu tindak pidana militer, maka bisa saja sipil diadili di peradilan militer.
"Kami tidak menyangka masalah ini begitu berlarut-larut di DPR. Walaupun sebenarnya Tap MPR No 6, Tap MPR No 7 tahun 2000 sudah menegaskan hal ini," kata Yusril.
RUU Peradilan Militer itu saat ini masih dibahas di tingkat Panja dan lazimnya jika di Panja tidak selesai, maka dilanjutkan ke tingkat pansus dan jika tidak selesai di Pansus akan dibawa ke rapat kerja atau rapat paripurna.
"Di raker, menteri akan mengambil keputusan bersama Pansus itu. Walaupun pada tingkat itu mungkin tidak dicapai kesepakatan, nanti akan diambil dalam rapat paripurna. Kalau pada tingkat paripurna antara pemerintah dan DPR tidak terdapat kesepakatan, maka RUU itu tidak bisa disahkan menjadi UU," jelas Yusril.
Menurut Yusril, hal serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Kawasan Perdagangan Bebas Batam, yang meskipun sudah diselesaikan di pansus dan raker tetapi tidak bisa disahkan karena Presiden Megawati Soekarnoputri menolak menyetujuinya.
Yusril juga mengatakan belum tahu apakah presiden SBY akan memberikan jawaban atas surat Ketua DPR itu. "Kalau dijawab bisa jadi preseden. Saya juga tidak mengerti ada apa di balik ini," katanya.
Kapanlagi.com - Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menilai surat yang dikirimkan Ketua DPR RI Agung Laksono pekan lalu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait RUU Peradilan Militer tidak lazim karena RUU itu masih dalam pembahasan di tingkat Panja DPR RI.
"Itu tidak lazim terjadi. Bahkan mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah republik. Satu pembahasan RUU, sebelum ada kesepakatan pada tingkat pansus belum mendapat kesepakatan dan masing-masing alot, tapi Ketua DPR menanyakan sikap presiden," kata Yusril dalam konferensi pers di Hotel Imperial, Tokyo, Jepang Senin di sela-sela kunjungan kerja presiden Yudhoyono selama tiga hari.
Yusril mengatakan dirinya baru saja menerima telepon dari Ketua DPR terkait surat yang dikirimkan Agung pekan lalu yang meminta kejelasan soal sikap presiden terkait RUU Peradilan militer, terutama mengenai pasal apakah seorang prajurit TNI disidangkan di pengadilan militer atau pengadilan umum dan juga terkait tindak pidana koneksitas yang dilakukan sipil dan militer.
Atas pertanyaan dari Ketua DPR itu, Yusril mengaku sudah berkonsultasi dan mendapat jawaban dari Presiden bahwa seorang prajurit TNI jika melakukan tindakan pidana biasa maka akan diadili di pengadilan umum, dan akan diadili di pengadilan militer jika melakukan tindakan pidana militer seperti desersi atau menolak perintah atasan.
Sedangkan untuk kasus koneksitas, menurut Yusril, perlu dilihat titik berat dari masalahnya. Jika ternyata masyarakat sipil terlibat bersama-sama dan membantu tindak pidana militer, maka bisa saja sipil diadili di peradilan militer.
"Kami tidak menyangka masalah ini begitu berlarut-larut di DPR. Walaupun sebenarnya Tap MPR No 6, Tap MPR No 7 tahun 2000 sudah menegaskan hal ini," kata Yusril.
RUU Peradilan Militer itu saat ini masih dibahas di tingkat Panja dan lazimnya jika di Panja tidak selesai, maka dilanjutkan ke tingkat pansus dan jika tidak selesai di Pansus akan dibawa ke rapat kerja atau rapat paripurna.
"Di raker, menteri akan mengambil keputusan bersama Pansus itu. Walaupun pada tingkat itu mungkin tidak dicapai kesepakatan, nanti akan diambil dalam rapat paripurna. Kalau pada tingkat paripurna antara pemerintah dan DPR tidak terdapat kesepakatan, maka RUU itu tidak bisa disahkan menjadi UU," jelas Yusril.
Menurut Yusril, hal serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Kawasan Perdagangan Bebas Batam, yang meskipun sudah diselesaikan di pansus dan raker tetapi tidak bisa disahkan karena Presiden Megawati Soekarnoputri menolak menyetujuinya.
Yusril juga mengatakan belum tahu apakah presiden SBY akan memberikan jawaban atas surat Ketua DPR itu. "Kalau dijawab bisa jadi preseden. Saya juga tidak mengerti ada apa di balik ini," katanya.