Kalina
Moderator
Buntut Perseteruan dengan Ketua KPK
JAKARTA - Dikabarkan "menghilang" tiga hari, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra muncul di depan wartawan kemarin. Dalam kesempatan itu, dia kembali menegaskan sikapnya seputar polemik dengan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Taufiequrachman Ruki. Bahkan, ketika kasus itu dikaitkan dengan isu reshuffle, Yusril mengaku tidak takut.
Kepada wartawan, Yusril membantah anggapan bahwa dirinya sengaja menyembunyikan diri atau menghilang setelah polemiknya dengan ketua KPK mencuat. Menurut Yusril, setelah ke KPK Jumat lalu (16/2), dia pamit kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke luar negeri dan baru pulang Senin lalu (19/2).
Jumat pekan lalu (16/2), Yusril memang datang ke KPK untuk melaporkan Ruki. Saat itu, dia mempersoalkan kebijakan Ruki yang menunjuk langsung (tanpa tender) pengadaan alat penyadap telepon seluler (ponsel) pada 2005. Menurut Yusril, KPK saat itu memilih jenis penyadap yang dananya diambilkan dari APBN Rp 24 miliar. Antara lain, MPH buatan Jerman, buatan Amerika Serikat (AS), dan macrosystem buatan Polandia.
Ketika melapor ke KPK, Yusril membawa dua bukti perbuatan Ruki yang dianggap melanggar pasal 17 Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Menurut Yusril, jika pengadaan barang tanpa tender dinilai melanggar hukum, praktik tersebut juga sering dilakukan KPK. Karena itu, jika dia dianggap bersalah, Ruki sebagai ketua KPK juga harus diperlakukan sama.
Sehari sebelum melaporkan Ruki, Yusril diperiksa KPK delapan jam. Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan barang tanpa tender, yakni pengadaan alat sidik jari otomatis (automatic fingerprint identification system, AFIS) pada 2004. Saat itu, Yusril menjabat menteri hukum dan HAM.
Presiden SBY, agaknya, gerah terhadap kasus yang melibatkan Yusril dan ketua KPK itu. Senin lalu, melalui Sudi Silalahi, dijelaskan, bahwa yang dilakukan KPK dalam proyek pengadaan penyadap ponsel itu sudah disetujui presiden. Menurut Sudi, dasar presiden memberikan izin terhadap KPK untuk menunjuk langsung rekanan proyek tersebut sudah kuat, yakni Keppres 80 Tahun 2003. (Seputar penunjukan langsung proyek penyadap ponsel di KPK, baca grafis).
Ada anggapan, penjelasan Sudi itu sekaligus mementahkan upaya Yusril yang mempersoalkan ketua KPK.
Menanggapi penjelasan Sudi, Yusril kemarin membenarkannya. Menurut dia, tidak ada yang salah sedikit pun apa pada penjelasan Sudi. "Apa yang disampaikan Pak Sudi itu 100 persen betul. Yang disampaikan Jubir KPK juga betul. Cuma, mereka tidak menggunakan itu ke KPK sendiri," kata Yusril di ruang rapat Kantor Setneg kemarin.
Yusril membenarkan bahwa pemberi rekomendasi kepada presiden agar menyetujui permohonan KPK melakukan penunjukan langsung proyek penyadap ponsel adalah dia. Menurut Yusril, pernyataan Sudi tidak bermaksud memojokkan dirinya. Apalagi mengorbankan. "Tidak ada korban-mengorbankan. Saya bekerja secara profesional," tegas politikus PBB itu.
Yusril menuturkan, saat ketua KPK memohon izin penunjukan langsung ke presiden, dia mengecek Keppres 80 Tahun 2003 tentang Prosedur Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Pemerintah. Ternyata, di keppres tersebut, soal itu tidak dijelaskan secara eksplisit. "Karena tidak eksplisit, saya pun harus ambil keputusan, sebagai pejabat tertinggi di instansi," katanya.
Penjelasan KPK, lanjutnya, sudah sesuai dengan keppres. "Kalau Pak Sudi bilang sudah sesuai ya memang sesuai," ujar Yusril.
Mengenai laporannya ke KPK, kata Yusril, itu bukanlah serangan balik kepada lembaga tersebut. Bagi Yusril, juru bicara KPK yang terlalu apriori terhadap dirinya. Jadi, yang menyalahkan KPK atas penunjukan langsung proyek alat penyadap justru Jubir KPK sendiri.
Laporan ke KPK, menurut Yusril, hanya permintaan untuk menelaah Keppres 80 Tahun 2003. Kalau sifatnya laporan kasus, bisa dicabut. Laporan tuduhan-tuduhan juga bisa dicabut. "Lha kalau laporan telaahan itu, apa yang mau dicabut?" kata Yusril saat ditanya tentang desakan pencabutan laporannya ke KPK.
Yusril juga menegaskan, dia melapora ke KPK bukan karena posisinya kritis. Yusril juga membantah tudingan bahwa dia melapor ke KPK karena takut statusnya dinaikkan dari saksi menjadi tersangka. "Saya tidak takut. Itu konsekuensi orang diperiksa kalau ada bukti yang mendukung," tegasnya.
Mengenai kemungkinan SBY me-reshuffle dirinya, Yusril juga menyatakan tidak takut sama sekali. "Reshuffle itu kan bisa kapan saja. Implikasi dari sesuatu bisa ke mana-mana, termasuk itu (reshuffle)," tandasnya.
Menurut Yusril, saat datang ke KPK, dia tidak menuduh KPK melakukan korupsi. Yusril mengaku hanya meminta ada penafsiran yang sama, terutama tentang Keppres 80/2003. Tujuannya agar ada standar yang sama. "Jadi, tidak benar saya laporkan Ruki. Saya tidak suka lawan balik. Sampai di DPR ada anggapan saya tutupi korupsi. Tidak begitu. Ini agar ada standar penegakan hukum yang sama," katanya.
Yusril merasa, KPK menerapkan standar ganda dalam memahami lampiran 1 Bab I huruf C Keppres 80/2003. Yusril menegaskan dirinya punya komitmen menegakkan hukum. Karena itu, dia bersedia memenuhi permintaan KPK dan tidak mempermasalahkan apakah perlu dengan prosedur izin presiden atau tidak. Yusril mengaku datang dengan penuh kesadaran.
Saat pemeriksaan di KPK itulah, Yusril berbeda pendapat dengan penyidik. Sebab, si penyidik berulang-ulang mengatakan "berdasar arahan dari atasan". "Saya tanya, atasan Saudara itu siapa? Arahan dari pimpinan siapa?" kata Yusril.
Intinya, penyidik KPK berkesimpulan bahwa menteri yang mengambil keputusan untuk penunjukan langsung itu salah. "Saya tanya yang benar siapa? Dia jawab yang benar pimpro, karena independen," cerita Yusril saat diperiksa KPK.
"Saya ketawa. Kalo begitu pimpro di Dephan bisa beli Sukhoi, pimpro di Setneg bisa beli pesawat untuk presiden. Padahal, tidak ada kewenangan pimpro sebesar itu," kata Yusril.
Penyidik, kata Yusril, berdalih dalam Keppres tidak disebutkan yang berwenang menentukan penunjukan langsung adalah menteri. Menurut Yusril, karena tidak disebutkan siapa yang berwenang, makanya disesuaikan. "Kalau di departemen, yang berwenang menteri. Sesuai UU administrasi negara, di mana pejabat tertinggi di suatu instansi sebagai kepala atau penanggung jawab di instansi itu," terangnya.
Di KPK, kata Yusril, pengadaan proyek alat penyadap tidak melalui pimpro, tapi melalui ketua KPK sebagai pimpinan tertinggi di institusi tersebut. Karena itu, lanjut Yusril, dirinya melakukan hal yang sama dengan ketua KPK. Barang yang diadakan juga mengandung kesamaan.
Pengadaan AFIS, kata Yusril, sudah dibicarakan pada awal 2003. Ada kebutuhan negara untuk pengadaan alat itu. Ini terkait kondisi dalam negeri yang marak ancaman teroris, kejahatan transnasional, dan ledakan bom Bali.
Dalam rapat polkam dibahas kelemahan Indonesia. Selain pertahanan untuk keselamatan, juga terletak di imigrasi. Kantor Imigrasi yang saat itu di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan tidak dapat mendeteksi atau mencari sidik jari seseorang secara cepat. Hal itu memungkinkan seseorang punya dua paspor yang berbeda. Data tentang seseorang tidak dapat dibaca di semua kantor imigrasi. "Contohnya Umar Farouk yang punya paspor dobel. Ini masalah serius," kata Yusril.
Kalau imigrasi membaca sidik jari secara manual, paling sebulan hanya bisa 50 ribu paspor. Selain itu, penyimpanannya masih manual, sehingga tidak bisa dipakai lagi. "Maka kita butuh alat yang cepat dan bisa diakses, termasuk oleh kepolisian," tambahnya.
Pada pertengahan 2004, anggaran pengadaan AFIS dimasukkan ke usul APBN-P. Usul itu disetujui Menkeu dan Bappenas pada 29 September 2004. Tapi, anggaran paling cepat turun pada Novemeber 2004. Karena itu, tim ahli meminta izin penunjukan langsung karena tidak memungkinkan dilakukan pelelangan umum. "Atas dasar itu saya setuju, saya tanda tangani. Nah, pada 20 Oktober saya tidak lagi menjadi Menkumdang (Menteri Hukum dan Perundang-undangan). Saya tidak tahu lagi siapa yang melaksanakan," jelasnya.
Karena itulah, Yusril meminta KPK menggunakan kacamata yang sama untuk melihat kasus penunjukan langsung alat penyadap KPK dan AFIS Imigrasi. Kalau SBY melalui Sudi sudah menyatakan penunjukan langsung alat penyadap KPK sudah sah sesuai Keppres 80/2003, seharusnya penunjukan langsung pengadaan AFIS di imigrasi juga diperlakukan sama.
JAKARTA - Dikabarkan "menghilang" tiga hari, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra muncul di depan wartawan kemarin. Dalam kesempatan itu, dia kembali menegaskan sikapnya seputar polemik dengan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Taufiequrachman Ruki. Bahkan, ketika kasus itu dikaitkan dengan isu reshuffle, Yusril mengaku tidak takut.
Kepada wartawan, Yusril membantah anggapan bahwa dirinya sengaja menyembunyikan diri atau menghilang setelah polemiknya dengan ketua KPK mencuat. Menurut Yusril, setelah ke KPK Jumat lalu (16/2), dia pamit kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke luar negeri dan baru pulang Senin lalu (19/2).
Jumat pekan lalu (16/2), Yusril memang datang ke KPK untuk melaporkan Ruki. Saat itu, dia mempersoalkan kebijakan Ruki yang menunjuk langsung (tanpa tender) pengadaan alat penyadap telepon seluler (ponsel) pada 2005. Menurut Yusril, KPK saat itu memilih jenis penyadap yang dananya diambilkan dari APBN Rp 24 miliar. Antara lain, MPH buatan Jerman, buatan Amerika Serikat (AS), dan macrosystem buatan Polandia.
Ketika melapor ke KPK, Yusril membawa dua bukti perbuatan Ruki yang dianggap melanggar pasal 17 Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Menurut Yusril, jika pengadaan barang tanpa tender dinilai melanggar hukum, praktik tersebut juga sering dilakukan KPK. Karena itu, jika dia dianggap bersalah, Ruki sebagai ketua KPK juga harus diperlakukan sama.
Sehari sebelum melaporkan Ruki, Yusril diperiksa KPK delapan jam. Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan barang tanpa tender, yakni pengadaan alat sidik jari otomatis (automatic fingerprint identification system, AFIS) pada 2004. Saat itu, Yusril menjabat menteri hukum dan HAM.
Presiden SBY, agaknya, gerah terhadap kasus yang melibatkan Yusril dan ketua KPK itu. Senin lalu, melalui Sudi Silalahi, dijelaskan, bahwa yang dilakukan KPK dalam proyek pengadaan penyadap ponsel itu sudah disetujui presiden. Menurut Sudi, dasar presiden memberikan izin terhadap KPK untuk menunjuk langsung rekanan proyek tersebut sudah kuat, yakni Keppres 80 Tahun 2003. (Seputar penunjukan langsung proyek penyadap ponsel di KPK, baca grafis).
Ada anggapan, penjelasan Sudi itu sekaligus mementahkan upaya Yusril yang mempersoalkan ketua KPK.
Menanggapi penjelasan Sudi, Yusril kemarin membenarkannya. Menurut dia, tidak ada yang salah sedikit pun apa pada penjelasan Sudi. "Apa yang disampaikan Pak Sudi itu 100 persen betul. Yang disampaikan Jubir KPK juga betul. Cuma, mereka tidak menggunakan itu ke KPK sendiri," kata Yusril di ruang rapat Kantor Setneg kemarin.
Yusril membenarkan bahwa pemberi rekomendasi kepada presiden agar menyetujui permohonan KPK melakukan penunjukan langsung proyek penyadap ponsel adalah dia. Menurut Yusril, pernyataan Sudi tidak bermaksud memojokkan dirinya. Apalagi mengorbankan. "Tidak ada korban-mengorbankan. Saya bekerja secara profesional," tegas politikus PBB itu.
Yusril menuturkan, saat ketua KPK memohon izin penunjukan langsung ke presiden, dia mengecek Keppres 80 Tahun 2003 tentang Prosedur Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Pemerintah. Ternyata, di keppres tersebut, soal itu tidak dijelaskan secara eksplisit. "Karena tidak eksplisit, saya pun harus ambil keputusan, sebagai pejabat tertinggi di instansi," katanya.
Penjelasan KPK, lanjutnya, sudah sesuai dengan keppres. "Kalau Pak Sudi bilang sudah sesuai ya memang sesuai," ujar Yusril.
Mengenai laporannya ke KPK, kata Yusril, itu bukanlah serangan balik kepada lembaga tersebut. Bagi Yusril, juru bicara KPK yang terlalu apriori terhadap dirinya. Jadi, yang menyalahkan KPK atas penunjukan langsung proyek alat penyadap justru Jubir KPK sendiri.
Laporan ke KPK, menurut Yusril, hanya permintaan untuk menelaah Keppres 80 Tahun 2003. Kalau sifatnya laporan kasus, bisa dicabut. Laporan tuduhan-tuduhan juga bisa dicabut. "Lha kalau laporan telaahan itu, apa yang mau dicabut?" kata Yusril saat ditanya tentang desakan pencabutan laporannya ke KPK.
Yusril juga menegaskan, dia melapora ke KPK bukan karena posisinya kritis. Yusril juga membantah tudingan bahwa dia melapor ke KPK karena takut statusnya dinaikkan dari saksi menjadi tersangka. "Saya tidak takut. Itu konsekuensi orang diperiksa kalau ada bukti yang mendukung," tegasnya.
Mengenai kemungkinan SBY me-reshuffle dirinya, Yusril juga menyatakan tidak takut sama sekali. "Reshuffle itu kan bisa kapan saja. Implikasi dari sesuatu bisa ke mana-mana, termasuk itu (reshuffle)," tandasnya.
Menurut Yusril, saat datang ke KPK, dia tidak menuduh KPK melakukan korupsi. Yusril mengaku hanya meminta ada penafsiran yang sama, terutama tentang Keppres 80/2003. Tujuannya agar ada standar yang sama. "Jadi, tidak benar saya laporkan Ruki. Saya tidak suka lawan balik. Sampai di DPR ada anggapan saya tutupi korupsi. Tidak begitu. Ini agar ada standar penegakan hukum yang sama," katanya.
Yusril merasa, KPK menerapkan standar ganda dalam memahami lampiran 1 Bab I huruf C Keppres 80/2003. Yusril menegaskan dirinya punya komitmen menegakkan hukum. Karena itu, dia bersedia memenuhi permintaan KPK dan tidak mempermasalahkan apakah perlu dengan prosedur izin presiden atau tidak. Yusril mengaku datang dengan penuh kesadaran.
Saat pemeriksaan di KPK itulah, Yusril berbeda pendapat dengan penyidik. Sebab, si penyidik berulang-ulang mengatakan "berdasar arahan dari atasan". "Saya tanya, atasan Saudara itu siapa? Arahan dari pimpinan siapa?" kata Yusril.
Intinya, penyidik KPK berkesimpulan bahwa menteri yang mengambil keputusan untuk penunjukan langsung itu salah. "Saya tanya yang benar siapa? Dia jawab yang benar pimpro, karena independen," cerita Yusril saat diperiksa KPK.
"Saya ketawa. Kalo begitu pimpro di Dephan bisa beli Sukhoi, pimpro di Setneg bisa beli pesawat untuk presiden. Padahal, tidak ada kewenangan pimpro sebesar itu," kata Yusril.
Penyidik, kata Yusril, berdalih dalam Keppres tidak disebutkan yang berwenang menentukan penunjukan langsung adalah menteri. Menurut Yusril, karena tidak disebutkan siapa yang berwenang, makanya disesuaikan. "Kalau di departemen, yang berwenang menteri. Sesuai UU administrasi negara, di mana pejabat tertinggi di suatu instansi sebagai kepala atau penanggung jawab di instansi itu," terangnya.
Di KPK, kata Yusril, pengadaan proyek alat penyadap tidak melalui pimpro, tapi melalui ketua KPK sebagai pimpinan tertinggi di institusi tersebut. Karena itu, lanjut Yusril, dirinya melakukan hal yang sama dengan ketua KPK. Barang yang diadakan juga mengandung kesamaan.
Pengadaan AFIS, kata Yusril, sudah dibicarakan pada awal 2003. Ada kebutuhan negara untuk pengadaan alat itu. Ini terkait kondisi dalam negeri yang marak ancaman teroris, kejahatan transnasional, dan ledakan bom Bali.
Dalam rapat polkam dibahas kelemahan Indonesia. Selain pertahanan untuk keselamatan, juga terletak di imigrasi. Kantor Imigrasi yang saat itu di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan tidak dapat mendeteksi atau mencari sidik jari seseorang secara cepat. Hal itu memungkinkan seseorang punya dua paspor yang berbeda. Data tentang seseorang tidak dapat dibaca di semua kantor imigrasi. "Contohnya Umar Farouk yang punya paspor dobel. Ini masalah serius," kata Yusril.
Kalau imigrasi membaca sidik jari secara manual, paling sebulan hanya bisa 50 ribu paspor. Selain itu, penyimpanannya masih manual, sehingga tidak bisa dipakai lagi. "Maka kita butuh alat yang cepat dan bisa diakses, termasuk oleh kepolisian," tambahnya.
Pada pertengahan 2004, anggaran pengadaan AFIS dimasukkan ke usul APBN-P. Usul itu disetujui Menkeu dan Bappenas pada 29 September 2004. Tapi, anggaran paling cepat turun pada Novemeber 2004. Karena itu, tim ahli meminta izin penunjukan langsung karena tidak memungkinkan dilakukan pelelangan umum. "Atas dasar itu saya setuju, saya tanda tangani. Nah, pada 20 Oktober saya tidak lagi menjadi Menkumdang (Menteri Hukum dan Perundang-undangan). Saya tidak tahu lagi siapa yang melaksanakan," jelasnya.
Karena itulah, Yusril meminta KPK menggunakan kacamata yang sama untuk melihat kasus penunjukan langsung alat penyadap KPK dan AFIS Imigrasi. Kalau SBY melalui Sudi sudah menyatakan penunjukan langsung alat penyadap KPK sudah sah sesuai Keppres 80/2003, seharusnya penunjukan langsung pengadaan AFIS di imigrasi juga diperlakukan sama.