Bls: Zina tidak ada larangannya
PILKADA : Memperdebatkan Syarat Bebas Zina
Gambar hanya ilustrasi
Wacana yang disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai syarat calon kepala daerah bukan seorang penzina dan berpengalaman di bidang pemerintahan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih menjadi perdebatan.
Syarat yang paling penting dalam ajang pilkada sebenarnya adalah tidak pernah korupsi. Korupsi itu jauh lebih buruk dari zina. Gara-gara korupsi, perzinahan makin banyak.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pekan lalu, menghasilkan harapan agar syarat itu ditinjau ulang, demikian keterangan pers yang disiarkan, Sabtu.
Wacana mengenai syarat moral ini mengemuka setelah sejumlah artis yang dianggap kontroversial, maju dalam pemilihan kepala daerah, di antaranya Maria Eva, yang akan maju sebagai calon kepala daerah di Sidoarjo. Lalu ada artis Julia Perez (Jupe) yang akan maju sebagai calon bupati Pacitan, Jawa Timur.
DPD RI membahas masalah ini dalam Dialog Kenegaraan dengan pembicara Poppy Susanti Dharsono (anggota DPD RI Provinsi Jawa Tengah), Ferry Mursyidan Baldan (Politisi Partai Golkar), Khatibul Umam Wiranu (Anggota Komisi II DPR RI) dan Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif LIMA).
Kejujuran dan integritas lebih penting
Poppy Susanti Dharsono menilai pasal berzina dalam aturan pemilu kepala daerah (pilkada) itu tidak adil. Menurut Poppy Dharsono, usulan pasal yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi itu mengada-ada. "Daripada meributkan pasal zina, yang paling penting untuk disorot adalah kejujuran dan integritas calon," ujar Poppy.
Dalam wacana tersebut, yang menjadi objek sorot utama adalah wanita. "Terutama mereka yang berprofesi selebritis. Sementara, pria yang berzina tapi bukan selebritis tidak ketahuan," kata Poppy.
Dia menegaskan, zina itu bukan kejahatan pribadi, melainkan kecelaan pribadi. Syarat yang paling penting dalam ajang pilkada sebenarnya adalah tidak pernah korupsi. "Korupsi itu jauh lebih buruk dari zina. Gara-gara korupsi, perzinahan juga makin banyak. Masyarakat yang begitu miskin karena kekayaan negara dikorupsi, tidak peduli pada moral lagi," kata dia.
Munculnya fenomena selebritis dalam pilkada, kata Poppy, menunjukkan masyarakat sudah bosan dengan politisi. Di sisi lain, artis juga dinilai telah dimanfaatkan partai politik.
Mengenai syarat pengalaman, Poppy tak sepenuhnya setuju karena sering kali orang yang tak memiliki pengalaman, justru berhasil saat menjadi pemimpin. "Pengalaman memang perlu, tapi harus diperluas. Hal yang terpenting adalah orang yang memiliki kemampuan me-manage," kata Poppy.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ferry Mursyidan Baldan. Ferry mengatakan, syarat calon tak boleh berzina sama dengan seorang pemimpin harus bertakwa. "Hal itu tak perlu diatur dalam undang-undang lagi. Kalau ada peraturan, indikatornya apa? Bagaimana tahu orang itu berzina atau tidak," kata Ferry.
Ia menambahkan, seharusnya peran itu milik masyarakat dan partai sebagai kontrol. Sementara syarat berpengalaman meski dianggap wajar, tapi dianggap tidak perlu dicantumkan dalam undang-undang. Jangan melarang orang mengekpresikan cita-cita dan dan keinginan. Ia justru melihat adanya syarat seperti itu seperti hendak menjegal orang jadi kepala daerah.
Menurut Ferry, banyaknya artis yang maju dalam pilkada menandakan gagalnya partai politik dalam melaksanakan pengkaderan. Padahal, kata dia, undang-undang telah memberi peluang kepada parpol untuk mencalonkan kadernya. "Fakta tersebut tidak saja dialami oleh partai-partai kecil, sebab partai besar pun banyak mengusung artis untuk ikut Pilkada," kata Ferry.
Senada dengan Ferry, Ray Rangkuti mengungkap hal yang sama. "Fenomena artis maju dalam Pilkada bukti kegagalan partai politik dalam melakukan pengkaderan. Yang mengusung bukan hanya partai kecil, partai besar melakukan hal serupa. Ini aneh, mengapa mereka malah tidak mengusung kader dari dalam," kata Ray.
Selanjutnya, Ray menilai, syarat tidak pernah berzina dan mabuk-mabukan lebih baik diganti dengan tidak pernah melakukan korupsi, tidak terlibat suap ataupun money laundering. "Saya kira itu lebih penting bagi bangsa ini," kata Ray.
Selain itu, penyebutan persyaratan berpengalaman tak lebih upaya menyempitkan peluang masyarakat secara luas untuk tampil dalam pilkada. Dengan kata lain, syarat pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman berorganisasi. Syarat ini, sambung Ray, nantinya bisa melebar pada legalitas organisasi. Artinya kalau organisasinya tidak terdaftar pada Departemen Dalam Negeri dan memiliki akta notaris berarti bukan organisasi.
Ray menambahkan, hal-hal seperti berpengalaman atau nilai moral semestinya tidak diatur dalam sebuah legalitas hukum tapi dijadikan tambahan. Ray memaparkan penilaian mengenai moralitas seseorang yang berada dalam wilayah privat tersebut sebaiknya diserahkan kepada masyarakat saja.
"Pengalaman organisasi menyempitkan masyarakat untuk tampil menjadi kepala daerah. Justru persyaratan ini memberi ruang kepada para birokrat," ujarnya.
Menurut Khatibul Umam Wiranu wacana penambahan syarat pencalonan calon kepala daerah sebaiknya dikembalikan kepada masing-masing partai politik.
"Selain tidak jelas indikatornya terkait moralitas, soal persyaratan lebih baik dikembalikan ke masing-masing partai politik", ujar Khatibul.
Salah satu alasannya, kata Umam, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan diri partai politik dalam mencalonkan kadernya karena gagal dalam proses kaderisasi.
Menurut Khatibul, persyaratan pengalaman yang sedianya dicantumkan dalam persyaratan calon kepala daerah harus lebih didetailkan lagi sehingga tidak memunculkan spekulasi di publik. "Pengalaman harus lebih detail, tidak sekadar diasumsikan pengalaman politik saja. Harus lebih luas dan lebih deskriptif," katanya.
Sumber :
http://nasional.kompas.com