cersil- Peristiwa Bulu Merak

Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia
menoleh juga tidak akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim
masih mengenakan topengnya yang tertawa lebar itu, lalu
perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di
balik topeng lucu itu?
Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, "Jadi
aku tidak usah pergi."
"Sudah tentu kau harus pergi!"
"Tapi......"
"Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke
suatu tempat yang aman."
"Tempat mana yang aman?"
"Perkampungan merak."
Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari
serangan Am-gi itu, Am-gi yang memancarkan cahaya
cemerlang dan semarak melebihi cahaya pelangi.
Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Kau
pernah bilang, Bulu merak sekarang sudah tidak berada di
perkampungan merak, lalu ada siapa pula di perkampungan
itu?"
"Di sana masih ada Jiu Cui-jing," sahut Bing-gwat-sim.
Seorang lelaki besar yang pendiam, namanya yang terkenal
cukup disegani orang.
 
"Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai
menyimpan rahasia, tapi yakin dia tidak akan menolak
kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana."
"Ah, masakah begitu?"
"Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu."
"Hutang apa?"
"Hutang jiwa," seperti tidak memberi kesempatan kepada
Pho Ang-soat bicara, "walaupun jarang engkau menolong
orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah
menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu-cui, kedua kali di
puncak Thay-san."
Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang
diketahui Bing-gwat-sim memang terlalu lengkap.
"Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan
merak itu, dia sudah punya kemampuan untuk membalas
hutangnya kepadamu."
"Tapi dia tidak punya Bulu merak."
Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan
merak itupun bakal dihancurkan.
"Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak
bisa berdiri, jaya dan bertahan sampai ratusan tahun adalah
karena Bulu merak, hingga sekarang baru banyak orang tahu
bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada
Bulu merak."
"Alasanmu?"
 
"Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini
sudah tersiar luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah
musuh besar perkampungan merak, selama dua tahun ini, ada
enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan
merak," dengan suara kalem dia meneruskan, "enam
rombongan seluruhnya berjumlah tujuh puluh sembilan orang,
setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai."
"Bagaimana akhirnya?"
"Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu
masuk ke perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam
di lautan, tiada terdengar berita mereka lagi."
"Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan
Tiong-yang tahun lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang
berani coba-coba menyerbu lagi ke perkampungan merak itu."
Pho Ang-sat masih membungkam.
Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, "Letak
perkampungan merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta
yang berlari kencang, besok sebelum tengah hari pasti sudah
putar balik."
Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak
menentang, lama sekali baru dia berkata, "Tidak takut dicegat
mereka di tengah jalan?"
"Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa
yang berani mencegat kau?"
"Sedikitnya ada seorang."
"Siapa?"
 
"Merak yang membawa Bulu merak."
"Dia pasti tidak akan berani turun tangan."
"Kenapa?"
"Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di
kolong langit ini, tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada
bandingannya di dunia, dia takut golokmu lebih cepat dari dia."
Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat
dilancarkan, apa bedanya dengan barang rongsokan, hal ini
memang benar, Pho Ang-soat terkancing mulurnya.
"Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka
sekarang juga kau harus membawa kami ke sana."
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, "Aku boleh
saja membawa kalian ke sana, tapi ada satu hal ingin aku
tanya kau."
"Silakan bertanya."
Dingin suara Pho Ang-soat, "Jika kau benar-benar
memperhatikan dia, kenapa obat itu kau lemparkan ke dalam
lengan baju orang lain?" Tanpa menoleh dia lantas menduga
bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.
Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak
menjawab, juga tidak mau menjawab. Dengan mendelong
terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak keluar,
meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah
mulai berjalan, pasti tidak akan berhenti.
 
Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan.
Sinar mentari yang guram kebetulan menyinari wajah Yan
Lam-hwi. Angin menghembus datang dari puncak gunung,
membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Bing-
gwat-sim berdiri memandang keluar, pemandangan tampak
menghijau permai di alam pegunungan nan jauh di sana, tapi
pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan Lam-hwi.
Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih
tetap pingsan, tak terduga mendadak membuka kedua
matanya, balas menatapnya, ternyata Bing-gwat-sim
sedikitpun tidak merasa heran.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Sudah kubilang, sejak
mula sudah kukatakan, bukan soal mudah untuk menipu dia."
"Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin
mencobanya."
"Sekarang kau sudah mencobanya."
"Ya, aku sudah mencobanya."
"Bagaimana pendapatmu?"
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa
getir, "Aku hanya merasa untuk menipunya memang bukan
soal gampang."
"Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi," demikian
ujar Yan Lam-hwi.
Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga
menyala. Kenapa mereka mau menipu Pho Ang-soat? Apa
tujuan mereka?
 
Mentari sudah hampir tenggelam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya,
seolah-olah di mayapada ini hanya tinggal dia seorang yang
masih hidup.
Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang
sebatangkara, orang yang suka menyendiri.
Bab 6 Sebelum Duel .
Pho Ang-soat.
Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.
Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari
tangan.
Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan
aliran tersendiri. Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di
kalangan Kangouw diakui sebagai golok kilat nomor satu.
Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh
oleh Pek-hong Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara
membunuh, menggunakan racun dan senjata gelap, sejauh ini
masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya,
berkelana ke seluruh dunia.
Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang
diri.
Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia
sodorkan ke hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan
perubahan perasaan.
 
"Kau sudah membacanya?" tanya Ibu jari.
"Ehm, sudah," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Aku tahu, kau tidak
akan puas dengan keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu
saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun
yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami
dapatkan ini."
"Bagus sekali."
Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, "Berguna
tidak bahan-bahan itu untukmu?"
"Tidak."
"Sedikitpun tidak berguna?"
Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap,
lalu duduk pula, katanya dingin, "Masih ada dua hal yang
paling penting."
"Ah, masa betul?" seru Ibu jari.
"Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga
nasibnya begitu mengenaskan."
"Siapakah perempuan itu?"
"Seorang pelacur bernama Jui Nong," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Selalu aku merasa
heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?"
 
Merak tiba-tiba menyela, "Karena lelaki yang pintar hanya
menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik
kebanyakan suka jadi pelacur."
Toh Lui menjengek, "Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga
oleh pelacur."
Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa,
tanya, "Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data
itu?"
"Dia mengidap penyakit," ujar Toh Lui.
"Penyakit apa?"
"Penyakit ayan."
Bersinar mata Ibu jari, katanya, "Bila penyakitnya itu kumat,
apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih
mulutnya?"
"Ya, penyakit ayan hanya satu macam," ucap Toh Lui.
Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, "Seorang
timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan
golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini."
Toh Lui berkata, "Dia pernah menggembleng diri, konon
sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih
golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia
mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali."
Ibu jari menyengir kuda, katanya, "Sungguh tak nyana kau
lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami."
 
Tawar suara Toh Lui, "Setiap tokoh yang tercantum di
dalam daftar nama tokoh tersohor sudah kuketahui seluk-
beluk mereka dengan jelas, karena aku sudah menghabiskan
lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima
bulan aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya."
"Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku
yakin lebih besar daripada yang lain." Toh Lui mengakui.
"Apa hasil jerih payahmu itu?" tanya Ibu jari.
"Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah
gamannya. Paling sedikit sudah dua puluh tahun dia
menggunakan golok itu sehingga golok itu seolah-olah sudah
menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan
leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari
orang lain menggunakan jari-jari tangan sendiri," demikian
ucap Toh Lui.
"Tapi aku tahu," ujar Ibu jari, "golok yang dia gunakan itu
tidak terlalu bagus."
"Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok
baik," Toh Lui menegaskan.
Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok
biasa, karena antara golok dan jiwanya itu senyawa, sudah
punya ikatan batin yang tidak mungkin dirasakan dan diselami
orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini lebih jauh,
tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.
Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, "Jikalau kita
bisa mendapatkan goloknya itu ..."
 
"Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu," ujar
Toh Lui.
"Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya," Merak
tertawa.
"Tapi untuk yang satu ini tidak ada," Toh Lui menjawab
tegas.
Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, "Kapan
penyakitnya itu sering kumat?"
"Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi,
penyakitnya akan kumat."
"Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu
kumat...."
Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin,
"Memangnya kau kira aku ini orang apa!"
Merak tertawa tergelak, katanya, "Aku tahu kau tidak sudi
melakukan hal serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh
orang lain melakukannya, umpamanya kita mencari seorang
untuk membuatnya marah supaya dia..."
Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, "Aku hanya
ingin supaya kalian tahu akan satu hal."
Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.
"Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki
jantan, lelaki sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah
dalam duel ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain."
 
Mendadak Ibu jari bertanya, "Apa tiada sangkut-pautnya
dengan Kongcu?"
Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak
mencengkeram kencang.
Ibu jari segera mendesak, "Bila kau belum melupakan
Kongcu, maka kau harus melakukan satu hal."
"Satu hal apa?" Toh Lui menegas.
"Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa
kejap, biar menunggu hingga hatinya risau dan pikiran ruwet
baru kau muncul," dengan tersenyum lalu menambahkan,
"dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus
memang tiada sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak
ambil peduli, namun kami tidak ingin mengubur jenazahmu."
Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.
Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu
berdiri seseorang dengan sebilah golok hitam, sarung yang
legam.
Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam
taman yang sudah ditumbuhi rumput liar, tangannya
menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu sudah luntur
dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di
pinggir sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang
ini kelihatan masih kokoh dan semarak.
Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang
cemerlang, masa jaya dan semarak, kenapa sekarang
berubah menjadi belukar dan tidak terurus?
 
Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap
di atas pohon tak jauh di luar gardu, seolah-olah sedang
mencari dan berusaha menemukan impian lama yang masih
menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon
ini masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah
banyak berubah, walet datang pergi pula, entah berapa kali
dia pulang-pergi? Pohon subur itu tidak bisa bersuara, pohon
itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas
kasihan.
Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit.
Sejak lama dia sudah mempelajari sifat pohon yang diam,
kalem dan meyakinkan, namun dia selalu bertanya-tanya
kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal
belas kasihan.
Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari?
Taman ini sudah telantar, lalu milik siapakah taman ini?
Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa
akan kehidupan dirinya. Dimana? Dan darimana? Hal Ini tak
sempat dipikirnya pula, karena mendadak dia mendengar
seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang merdu
nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari
semak rumput yang tumbuh tinggi.
Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak
rumput yang tinggit itu, mengawasi Pho Ang-soat sambil
tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman, wajahnya
lebih cantik lagi, rambutnya yang panjang terurai mayang
hitam legam dan mengkilap selembut sutra.
Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia
biarkan begitu saja rambutnya yang panjang menjuntai lemas
 
dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis rupawan ini ternyata
juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan
seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang
terang bukan sutra juga bukan satin, justru mirip rambutnya
yang panjang.
Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata
mengandung senyum lebar dan ramah, katanya mendadak,
"Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?"
Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya.
"Aku geli melihatmu," senyumannya makin manis. "Melihat
kau berdiri di sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang
pikun, seorang linglung."
Pho Ang-soat tidak bersuara.
"Kau juga tidak tanya siapakah aku?"
"Siapa kau?" ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya
dia tidak ingin bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin
bertanya, anak perempuan itu sudah melompat dan bersorak.
"Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,"
waktu dia melompat, garangnya seperti seekor kucing yang
marah, "Tahukah kau, tanah dimana kau sekarang berdiri milik
siapa? Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak
udelmu di tanah ini?"
Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya
lebih lanjut.
 
"Tempat ini milik keluarga Ni," dengan jari telunjuknya
menuding hidung sendiri, "aku inilah nona kedua dari keluarga
Ni, bila aku mau, sembarang waktu bisa saja mengusirmu."
Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang
keluyuran di rumah orang, mendadak kepergok oleh tuan
rumah, apa pula yang bisa dia katakan.
Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia
tertawa, tertawa manis, "Tapi aku tentu tidak akan
mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, "Karena aku
menyukaimu."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan.
Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat
melarang orang lain menyukaimu.
Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, "Aku bilang
aku menyukaimu, sebenarnya hanya omong kosong saja."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Aku tidak segera
mengusirmu karena aku tahu aku bukan tandinganmu."
Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, "Kau tahu diriku?"
"Sudah tentu tahu."
"Apa saja yang kau ketahui?"
"Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu
siapa namamu? Pokoknya jelas deh," dengan menggendong
kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak rumput
dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho
Ang-soat dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.
 
"Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku
sebaliknya, bukan saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu
cukup ganteng."
Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah
gardu yang disinari matahari, tiba-tiba dia bertanya, "Hanya
kau seorang di tempat ini?"
"Kalau seorang diri memangnya kenapa?" bantahnya
dengan mata berputar, "apa kau berani menganiaya aku?"
"Biasanya kau tidak berada di sini?"
"Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti
sarang setan ini?"
Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam,
"Sekarang kenapa tidak lekas kau menyingkir?"
Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, "Ini kan rumahku,
terserah aku mau di sini atau mau pergi, memangnya perlu
aku runduk kepada orang lain?"
Kembali Pho Ang-soat bungkam.
Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun
kejap lain mendadak dia tertawa sendiri, katanya, "Sebetulnya
tidak pantas aku bertengkar dengan kau, kalau baru
permulaan aku sudah bertengkar dengan kau, bagaimana
kelak?"
Kelak? Tahukah kau ada sementara orang yang tidak
punya kelak?
 
Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan,
pandangannya tertuju ke tempat jauh walau sinar mentari
menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan pucat sekali.
Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas
datang.
Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, "Aku tahu kau bernama Pho
Ang-soat, kenapa tidak kau tanya siapa namaku?"
Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia
memperkenalkan diri sendiri, "Aku bernama Ni Hwi."
Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Ang-
soat, lalu ucapnya agak aseran, "Ayahku memberi nama Hwi
berarti cerdik, karena sejak kecil aku paling pintar dan banyak
akal."
Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.
"Kau tidak percaya?" tangannya bertolak pinggang,
sanggulnya hampir menyentuh hidung Pho Ang-soat, "Bukan
saja aku tahu apa maksudmu datang kemari, aku malah tahu
siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin
mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku
lantas dapat menebaknya."
"Ah, masa?"
"Ya, karena kau membawa hawa membunuh."
Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa
artinya hawa membunuh?
"Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,"
nada Ni Hwi seperti yakin bahwa ucapannya pasti betul.
 
"Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang
mampu dan setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya
Toh Lui seorang saja."
Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.
Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya
dingin, "Kalau kau tahu, seharusnya kau lekas pergi."
Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya tidak sedingin
biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut
dan hangat.
Ni Hwi tertawa, katanya lembut, "Apakah kau sudah mulai
memperhatikan aku?"
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, "Aku suruh kau pergi
karena aku membunuh orang bukan untuk ditonton."
Ni Hwi mencibir bibir, katanya, "Umpama kau mau
mengusirku juga tidak perlu tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan
datang lebih dini."
Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah
angkasa.
"Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu,
menunggu dan menunggu sehingga hatimu risau, semakin
risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu menjadi
lebih besar." Dengan tertawa dia berkata pula, "Ini termasuk
strategi perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu
seharusnya sudah memikirkan hal ini."
Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, "Tapi
kau pasti tidak mau memikirkan hal ini, karena kau seorang
Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan, maka boleh aku memberi
 
sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi
musuh serendah dia."
Cara apa? Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga
tidak pantang mendengar.
"Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa
membuat dia menunggu," Ni Hwi berkata.
Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu,
maka kau pun bisa menggunakan cara itu untuk
memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling kuno, cara
kuno umumnya amat manjur.
Ni Hwi berkata pula, "Marilah kita bertamasya di taman ini
atau boleh juga kita bermain catur, sambil minum dua poci
arak supaya dia menunggumu di sini, menunggumu sampai
mampus saking gelisah."
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.
"Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila
nasib kita lagi mujur, bukan mustahil dapat menemukan
seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia menikah dahulu,"
agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho
Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik
lengannya, lengan tangan yang memegang golok.
Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya
yang halus baru saja menyentuh tangannya, mendadak terasa
ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar pergi jari
tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga
tubuhnya melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak
 
kuasa lagi, akhirnya dia jatuh terduduk, pantatnya terbanting
cukup keras.
Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah
dan berkaca-kaca, suaranya terisak, "Aku hanya ingin
bersahabat dengan kau, ingin melakukan sesuatu, kenapa kau
bersikap sekasar ini terhadapku." Punggung tangannya
mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.
Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang
harus dikasihani, aleman tapi juga jenaka.
Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak,
namun suaranya dingin, "Bangun, dalam rumput ada ular."
Ni Hwi makin memelas, katanya, "Tulang seluruh badanku
seperti remuk, bagaimana aku bisa berdiri." Dengan tangan
mengucek hidung dan mata, ia melanjutkan, "Biarlah aku
digigit ular di sini saja."
Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi
dia sudah beranjak menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia
salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang tersalur dari
badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang
goloknya itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada
di tangannya, golok itu seperti memiliki jiwa, ada sukmanya,
ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga terpendam untuk
menunjang jimat.
Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip
dengan Kiam-khi (hawa pedang) yang amat menakutkan,
hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau dilawan apa pun.
Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk
menghadapi cewek jenaka ini.
 
Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua
tangannya menutup muka, jari-jari tangan yang halus dan
putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan menariknya,
tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak
melawan, juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk
hangat.
Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang
perempuan. Dia menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari
setiap padri saleh yang suci, menderita dalam ajaran
agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki tulen, laki-
laki yang belum tua.
Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun
sambil merintih perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak
membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih
hangat, lebih menggairahkan, lebih empuk.
Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang,
sudah tentu Ni Hwi juga merasakan detak jantungnya yang
memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak timbul
suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh,
firasatnya memang tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah
mencabut sebilah pisau, pisau panjang tujuh dim, langsung
ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.
Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil,
namun serangan yang dilancarkan jauh lebih jahat dari
pagutan ular beracun. Sayang tusukannya gagal, pisaunya
menusuk angin.
Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat
mengkeret, jelas dan yakin bahwa pisau tajamnya itu sudah
 
Back
Top