cersil- Peristiwa Bulu Merak

menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu
pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal,
maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting
ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di
tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto
yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu
ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung
pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh
lima tombak.
Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena
Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh,
dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan
yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos
bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga
tidak rendah.
"Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu
meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki,
bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,"
caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu
merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya
tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi
dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita
batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang
dipikirnya.
 
Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap
limpahan cinta dan setiap patah katanya yang bohong, sudah
terukir dalam sanubarinya. Segala perasaan itu sudah lama
terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan
dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam
kenangan itu kembali terpampang di depan matanya secara
hidup-hidup. Maka pukulan batin yang dideritanya pada saat
itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi oleh siapa
pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah
mengalami siksa derita ini, penderitaan batinnya malah
menjadi tawar, penderitaan yang semula tidak berani
dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat
ditantangnya dengan tabah.
Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah
membusuk, bila kau diamkan saja borok itu makin parah,
makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya dengan pisau
sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia
malah akan segera sembuh.
Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya
sudah pulih seperti sedia kala, tenang, mantap dan dingin.
Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya
tampak kaget dan heran, Pho Ang-soat tidak mencabut
goloknya, suaranya terdengar tawar, "Pergilah kau."
Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu
sudah terpeta di atas tanah berumput liar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah.
Dia tetap berdiri di tempat semula, bayangannya makin
panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap tidak bergerak,
orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.
 
Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian
seorang diri, maka menunggu dan menunggu itu baginya
sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang tidak perlu
dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia
sudah menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia
mencabut golok dahulu, hakikatnya tiada faedahnya, tidak
punya arti dan tidak membawa akibat apa pun. Selama tujuh
belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya,
membunuh demi menuntut balas kematian ayah bundanya.
Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar
bahwa dirinya hakikatnya bukan keturunan keluarga itu,
bahwasanya tiada sangkut-pautnya dengan persoalan dan
pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran
pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam,
terlampau keji. Tapi Pho Ang-soat telah mengalami dan
menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa harus
menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar
bertahan, berhasil menahan sabar.
Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan
membiarkan Pho Ang-soat menunggu terlalu lama. Bila kau
ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga sedang
menunggu.
Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata
pedang yang sama tajamnya, bila kau ingin melukai orang
lain, sering kali kau sendiri pun bisa terluka. Celakanya luka-
luka yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari
lawanmu.
Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari
mulutnya, terasa hati tenang, dada lapang, pikiran jernih.
 
Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.
Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap,
pemiliknya semula adalah seorang tua kikir yang
berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk baru
diketahui orang.
Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena
dia pun kikir. Padahal dia cukup mampu menginap di hotel
kelas satu, namun dia rela tinggal di tempat yang jorok ini.
Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi dirinya,
Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk
disanjung dan dikagumi seperti indahnya bulu merak yang
sedang mekar, sebaliknya dia justru lebih mirip seekor
kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.
Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas
dipan yang keras dan dingin. Sebuah jendela kecil satu-
satunya yang ada dari bilik ini sudah dipaku kencang dan
dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab
dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang
busuk.
Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah
dia mau tahu kenapa Merak mau dan sudi tinggal di tempat
seperti ini.
Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak
menyambut kehadirannya. Setelah dengus napasnya mulai
mereda baru dia bertanya, "Mana Toh Lui?"
"Dia masih menunggu," sahut Ibu jari.
 
"Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga,
berapa lama lagi dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?" kata
Merak.
"Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru
boleh dia berangkat," ujar Ibu jari.
Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya,
"Berdiri beberapa jam di tempat seperti sarang setan itu
rasanya pasti juga cukup menyiksa batinnya."
Ibu jari justru mengerut kening, katanya, "Aku justru
menguatirkan satu hal."
"Hal apa?"
"Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri
juga sedang menunggu, aku justru kuatir dia lebih tidak bisa
menahan emosi daripada Pho Ang-soat."
"Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah
kau menderita rugi?"
"Tidak."
"Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?"
Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka
keringat, katanya pula, "Masih ada sebuah berita baik ingin
kusampaikan kepadamu."
Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya
amat jahat."
 
"Darimana kau peroleh berita ini?"
"Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak."
Mencorong mata Merak, katanya, "Berita senilai lima ratus
tahil perak umumnya memang patut dipercaya."
"Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya."
"Sekarang juga kita boleh berangkat." Saat itu tepat
menunjukan jam tiga sore.
Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik,
musim semi akan segera berlalu, musim panas sudah di
ambang pintu.
Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas
umumnya milik anak-anak, sejak pagi hari mereka
bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling dan
bergelut di tanah rumput, menangkap kupu-kupu, bermain
kucing-kucingan. Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah
barak sambil makan semangka yang sudah direndam di dalam
sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum
pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang
sebanyak mungkin untuk ditukar dengan beberapa biji
permen.
Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu
anak-anak, selalu diliputi kegembiraan, tidak pernah tahu apa
artinya duka dan lara.
Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan
yang senang dan gembira di musim panas, sehari pun tak
pernah menjadi miliknya untuk hidup dalam ketenteraman.
Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat
 
atau darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan
pepohonan pendek, tentu berlatih mencabut golok, maka dia
pasti berada di tengah padang rumput di bawah terik matahari
bersiap mencabut goloknya.
Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut
lagi, tak pernah berhenti, gerakan yang aneh, gerakan
sederhana ini ternyata menjadi salah satu segi kehidupannya,
segi kejiwaan yang paling penting.
Kapan pula gogok akan dicabut? Golok itu perlambang
kematian. Di saat golok tercabut, saat itulah kematian tiba.
Bila goloknya tercabut pula, siapa pula yang akan ajal? Pho
Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang
memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu
lebih dingin, tangan makin putih, golok makin legam.
Jam tiga sore pun tiba.
ooooOOoooo
Bab 7. Duel
Di pojok taman sebelah timur ada sebuah pintu kecil. Tadi
Pho Ang-soat masuk dari sana. Sekarang Toh Lui pun masuk
dari pintu kecil itu.
Mereka tidak melompati tembok. Jalanan kecil berliku
sudah lenyap ditelan suburnya rumput-rumput liar, bila
beranjak melewati rerumputan, jaraknya pun akan lebih
pendek, tapi mereka justru lebih suka menyusuri jalanan kecil
yang berliku-liku.
 
Langkah mereka perlahan, begitu berjalan pasti tidak akan
berhenti. Dipandang dari berbagai sudut, kedua orang ini
mempunyai beberapa persamaan, tapi jelas mereka bukan
manusia sejenis, ini terbukti dari golok mereka, bila melihat
golok mereka, maka tampak jelas perbedaannya.
Sarung golok Toh Lui dihiasi zamrud dan permata yang
kemilau, golok Pho Ang-soat berwarna hitam legam. Tapi
masih ada titik persamaan dari kedua golok ini, keduanya
adalah golok, golok untuk membunuh orang. Lalu adakah
persamaan pula di antara kedua orang ini? Ada, keduanya
adalah manusia, manusia yang ingin membunuh manusia.
Jam empat belum tiba, namun saat mencabut golok sudah
tiba. Golok tercabut jiwa pun melayang, kalau bukan kau yang
mampus, akulah yang mati.
Langkah Toh Lui akhirnya berhenti, berhadapan dengan
Pho Ang-soat, berhadapan dengan golok Pho Ang-soat yang
tiada bandingannya di kolong langit ini. Besar tekadnya untuk
membunuh orang yang satu ini di bawah goloknya, namun
satu-satunya orang yang dihormati, dikagumi juga adalah
musuh yang dihadapinya sekarang.
Seolah-olah Pho Ang-soat berada di suatu tempat yang
amat jauh, jauh di ufuk langit, saat segumpal mega kebetulan
menutupi matahari, sang surya telah lenyap, tidak kelihatan,
tapi matahari selamanya tidak pernah mati.
Bagaimana dengan manusia?
Akhirnya Toh Lui bersuara, "Aku she Toh bernama Lui."
"Aku tahu," sahut Pho Ang-soat.
 
"Aku datang terlambat."
"Aku tahu."
"Aku sengaja supaya kau menunggu, supaya kau tidak
sabar dan risau sehingga aku lebih leluasa membunuhmu."
"Aku tahu."
Mendadak Toh Lui tertawa, katanya, "Sayang aku
melupakan satu hal." Tawanya getir, katanya pula, "Waktu aku
membuat kau menunggu kedatanganku, aku sendiri juga
menunggu."
"Aku tahu."
"Apa pun kau tahu?"
"Paling sedikit aku masih tahu satu hal."
"Coba katakan."
"Sekali golokku berkelebat, jiwamu pasti melayang." Jari-
jari Toh Lui mendadak mengencang, kelopak matanya juga
mengkerut, lama kemudian baru ia bertanya, "Kau yakin?"
"Yakin sekali."
"Kalau begitu kenapa kau tidak segera mencabut
golokmu?"
Beberapa menit telah berselang, mega mendung sehingga
cahaya mentari tidak kelihatan lagi, cuaca buruk menjadikan
hawa menjadi lembab dan dingin.
Inilah saat yang paling tepat untuk membunuh orang.
 
Bing-gwat-sim berada di Bing-gwat-lau, berada di Bing-
gwat-kong (jalan bulan purnama).
Waktu Ibu jari dan Merak memasuki Bing-gwat-kong,
kebetulan serangkum angin menyampuk muka mereka, angin
yang dingin namun menyejukkan.
Ibu jari menarik napas dalam, katanya tersenyum, "Cuaca
hari ini sungguh bagus sekali untuk membunuh orang,
sekarang juga saat yang paling baik untuk melaksanakan
pembunuhan itu. Setelah membunuh orang, aku masih bisa
mandi air panas dengan santai, lalu minum arak sepuasnya,"
Merak berkata, "Lalu mencari pelacur untuk diajak tidur."
Ibu jari tertawa riang, matanya menyipit, "Ada kalanya aku
sampai perlu ditemani dua tiga orang sekaligus."
Merak ikut tertawa, katanya, "Kau pernah bilang Bing-gwat-
sim juga seorang pelacur."
"Siapa bilang dia bukan?"
"Malam ini apakah kau tidak ingin mencarinya."
"Malam ini tidak."
"Lho, kenapa?"
Ibu jari tidak menjawab secara langsung, katanya, "Pelacur
itu ada bermacam-macam."
"Dia termasuk macam yang mana?"
"Kebetulan dia termasuk macam yang tidak kusukai. Aku
tidak punya selera terhadapnya.
 
"Wah, kenapa?" Merak menegas.
Ibu jari menghela napas, katanya sambil tertawa getir,
"Karena di antara banyak perempuan yang pernah kulihat,
pernah kuajak main di ranjang, yang paling menakutkan justru
dia, bila aku memejamkan mata, dia pasti akan membunuhku."
"Kalau kau tidak memejamkan mata?"
"Umpama aku tidak memejamkan mata, dia tetap akan
membunuhku."
"Aku tahu kungfumu amat hebat."
"Akan tetapi sedikitnya masih ada dua perempuan di dunia
ini yang mampu membunuhku."
"Bing-gwat-sim satu di antaranya? Lalu siapa yang kedua?"
"Ni-jisioca, Ni Hwi."
Baru saja dia habis bicara, lantas terdengar suara tertawa
nyaring yang menghambur merdu laksana kelintingan.
Gang panjang ini dipagari tembok tinggi, di atas tembok
tumbuh rerumputan dan pohon-pohon mini. Musim semi
belum lewat, maka tetumbuhan pun subur meski tumbuh di
atas tembok. Tawa nyaring berkumandang dari balik
pepohonan mini sana.
"Gendut edan, bagaimana kau tahu kalau aku mendengar
percakapanmu?"
"Aku tidak tahu," segera Ibu jari menyangkal.
 
"Eh, lalu kenapa kau menjilat pantat?" suaranya merdu,
orangnya cantik, gerakan Ginkangnya jauh lebih indah,
mempesona lagi. Waktu dia melangkah turun dari atas tembok
laksana segumpal mega, seperti kelopak kembang. Kelopak
kembang mawar yang baru saja melayang jatuh karena
hembusan angin sejuk.
Waktu Ibu jari melihat bayangannya, tahu-tahu orangnya
telah lenyap. Bayangan Ni-jisiocia menyelinap hilang di balik
rimbunnya pepohonan, Ibu jari tetap memicingkan mata,
namun senyumnya makin lebar, tambah riang.
"Dia itukah Ni-jisiocia?" Ibu jari memperkenalkan.
"Kenapa dia mendadak muncul lalu lenyap pula," tanya
Merak.
"Karena dia ingin memberitahu, dia lebih tinggi, lebih
unggul dari Bing-gwat-sim," sorot mata Ibu jari masih tertuju ke
arah dimana bayangan tadi lenyap, "oleh karena itu
selanjutnya kita boleh tak usah kuatir berhadapan dengan Yan
Lam-hwi."
"Masih ada satu hal aku tidak mengerti."
"Hal apa?"
"Kenapa kita harus membunuh Yan Lam-hwi?" Merak
seperti mengorek keterangan. "Siapakah dia sebetulnya?
Kenapa tiada insan persilatan di Kangouw yang jelas tentang
asal-usulnya?"
"Lebih baik kau jangan banyak bertanya," sikap Ibu jari
mendadak serius, "jika kau betul-betul ingin tahu, kuanjurkan
sebelumnya kau mempersiapkan satu barang."
 
"Aku harus mempersiapkan apa?"
"Peti mati."
Merak tidak bertanya lagi, waktu dia mengangkat kepala,
kebetulan mega hitam menutupi bulan purnama.
Waktu mega itu menyelimuti gang putri malam, Bing-gwat-
sim juga sedang duduk menghadap jendela menyulam
kembang. Yang disulam juga kembang mawar, seperti mawar
yang lagi mekar di luar jendela, mawar yang mekar di musim
semi, memang kelihatan segar semerbak.
Yan Lam-hwi tidur telentang di atas ranjang tanpa
bergerak, wajahnya kelihatan pucat seperti muka Pho Ang-
soat.
Angin menghembus di luar jendela, angin malam mulai
dingin.
Mendadak Bing-gwat-sim mendengar suara mereka,
langkah mereka lebih ringan dari angin, suara mereka lebih
dingin dari angin malam.
"Lekas suruh Yan Lam-hwi turun, kalau dia tidak turun, biar
kami yang ke atas."
Bing-gwat-sim menghela napas, dia tahu Yan Lam-hwi
tidak mungkin turun, maka dia tahu mereka pasti akan naik ke
atas loteng.
Karena bukan Yan Lam-hwi yang ingin membunuh mereka,
justru mereka yang ingin membunuh Yan Lam-hwi, karena itu
Yan Lam-hwi boleh tidur santai dan nyaman di atas ranjang,
mereka justru harus membawa senjata, menyusuri jalan raya
 
memasuki gang, mengetuk pintu dan naik tangga ke loteng,
supaya tidak kehilangan kesempatan baik membunuh orang,
mereka harus bekerja kilat.
Siapakah sebetulnya yang lebih agung antara yang
membunuh dan yang dibunuh? Siapa pula yang yang lebih
kotor dan hina? Siapa pun tiada yang bisa menjawab.
Bing-gwat-sim menunduk melanjutkan sulamannya. Dia
tidak mendengar suara langkah, juga tidak mendengar
ketukan pintu, namun dia sudah tahu ada orang di luar pintu.
"Silakan masuk!" kepala tidak terangkat, badannya tidak
bergerak, "pintu tidak terpalang, dorong saja."
Pintu hanya dirapatkan, jelas sekali dorong pun akan
terpentang lebar, tapi orang justru tidak berani mendorongnya.
"Kalian kemari hendak membunuh orang, memangnya
orang yang bakal menjadi korban kalian yang harus
membukakan pintu menyambut kalian?"
Suaranya lembut, namun bagi pendengaran Ibu jari dan
Merak ternyata setajam jarum.
Cuaca hari ini baik untuk membunuh orang, saat inipun
tepat untuk membunuh orang, hati mereka memang sedang
riang, sedang berselera. Akan tetapi sekarang mereka justru
seperti tidak senang, karena korban yang akan mereka bunuh
justru kelihatan lebih kalem, tidak ambil peduli, sikapnya lebih
luwes, maka mereka berdiri mematung seperti orang linglung
di luar pintu, jantung mereka pun berdetak satu kali lipat lebih
cepat.
 
Kenyataan membunuh orang bukan suatu tugas yang
menyenangkan.
Merak menatap Ibu jari, Ibu jari juga mengawasi Merak,
kedua orang ini seperti sedang bertanya kepada diri sendiri,
"Apakah benar Yan Lam-hwi keracunan? Apakah dalam
rumah ada perangkap untuk menjebloskan mereka?"
Padahal mereka tahu, asal pintu didorong terbuka, segala
persoalan juga akan segera terjawab dan beres. Akan tetapi
mereka tidak mengulur tangan.
"Bila kalian masuk, tolong jangan membuat ribut," suara
Bing-gwat-sim lebih lembut, "Yan-kongcu sudah keracunan,
sekarang sedang tidur nyenyak, jangan sampai kalian
membuatnya siuman."
Mendadak Ibu jari tertawa, katanya, "Dia teman Yan Lam-
hwi, dia tahu kita datang untuk membunuh Yan Lam-hwi,
agaknya justru kuatir bila kita tidak berani masuk membunuh
Yan Lam-hwi, coba katakan bagaimana pendapatmu?"
Dingin suara Merak, "Karena dia seorang perempuan,
kapan saja perempuan siap menjual atau mengingkari lelaki
yang dicintainya."
"Tidak benar."
"Coba katakan apa sebabnya?"
"Karena dia tahu semakin dia mengoceh begitu, kita
semakin curiga dan tidak berani masuk malah."
"Ya, masuk akal, agaknya kau selalu lebih unggul tentang
perempuan."
 
"Lalu apa pula yang kita tunggu?"
"Kutunggu kau membuka pintu."
"Kau yang ingin membunuh orang," kata Ibu jari.
"Kau yang membuka pintu."
"Apakah selamanya kau tidak mau menempuh bahaya?"
tanya Ibu jari sambil tertawa.
"Ya, memang begitu." sahut Merak.
"Kerja sama dengan orang sejenismu memang
menyenangkan, karena kelak kau pasti lebih panjang umur,
bila aku sudah mati, paling tidak kau masih bisa mengubur
mayatku." Sembari tersenyum dia mengulur tangan dan
mendorong perlahan, pintu pun terbuka. Bing-gwat-sim tetap
menyulam di pinggir jendela, seperti orang mampus Yan Lam-
hwi rebah di atas ranjang.
Ibu jari menghela napas lega, katanya, "Silakan masuk."
"Kau tidak mau masuk?"
"Tugasku hanya membuka pintu, kaulah yang ingin
membunuh orang, tugasku sudah selesai, sekarang tiba
giliranmu bekerja."
Merak menatapnya lama, katanya tiba-tiba, "Ada satu hal
ingin aku beritahukan kepadamu."
"Sekarang boleh kau katakan," ujar Ibu jari.
 
Dingin suara Merak, "Setiap kali melihat tampangmu, hatiku
lantas jijik, ingin muntah, paling sedikit tiga kali pernah timbul
hasratku ingin membunuhmu."
Ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, katanya, "Syukur yang
hendak kau bunuh sekarang bukan aku, tapi adalah Yan Lam-
hwi."
Merak diam saja.
Maka Ibu jari memperlebar daun pintu dan mendesak,
"Silakan."
Ketenangan menyelimuti rumah ini, cuaca agak guram,
rembulan pun bersembunyi-di balik mega.
Sekarang jam empat hampir tiba.
Akhirnya Merak melangkah masuk, waktu kakinya beranjak
ke dalam, tangannya sudah tersembunyi di dalam lengan baju,
jari-jarinya sudah menyiapkan Khong-jiok-ling. Khong-jiok-ling
yang halus mengkilap dan dingin, senjata rahasia terampuh di
dunia untuk membunuh manusia. Mendadak keyakinan
menambah tebal kepercayaan pada diri sendiri.
Mendadak Bing-gwat-sim mengangkat kepala
menatapnya, senyum manis menghiasi wajahnya waktu dia
menyapa, "Kau inikah Merak?"
"Apakah Merak menggelikan?" Jengek Merak. "Tapi kau
tidak mirip merak, betul-betul tidak mirip."
"Kau juga tak mirip pelacur." Bing-gwat-sim tertawa manis.
"Menjadi pelacur juga bukan sesuatu yang menggelikan."
 
"Kecuali itu justru ada satu hal yang menggelikan."
"Apakah itu?"
"Kau tidak mirip Khong-jiok (Merak), tapi kau adalah Khong-
jiok. Aku tidak mirip pelacur, tapi aku tulen adalah pelacur,
keledai memang mirip kuda, tapi bukan kuda," lalu dengan
tersenyum dia menambahkan, "masih banyak kemiripan-
kemiripan yang sama di dunia ini."
"Sebetulnya apa yang ingin kau katakan?" ujar Merak.
"Umpamnya," kata Bing-gwat-sim, "Am-gi yang kau bawa jelas
mirip Khong-jiok-ling (bulu merak), tapi kenyataan justru
bukan."
Merak tertawa lebar, tertawa tergelak-gelak. Hanya
seseorang yang mendengar sesuatu yang benar-benar
menggelikan, sesuatu yang brutal dan tidak masuk akal baru
akan tertawa sebinggar ini.
Bing-gwat-sim berkata, "Sebetulnya hatimu sendiri juga
curiga akan hal ini, karena sejak mula kau sudah merasakan
kekuatan dan perbawanya tidak sehebat itu dan lebih
menakutkan seperti yang tersiar luas di luaran, karena itu tidak
berani kau gunakan Am-gimu itu untuk menghadapi Pho Ang-
soat."
Kalau Merak masih tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan
kaku, tawa yang dipaksakan.
Bing-gwat-sim berkata pula, "Sayang sekali, curiga yang
terpendam di dalam benakmu itu selama ini tidak bisa
dibuktikan, tidak berani dibuktikan."
Merak bertanya, "Apakah kau mampu?"
 
"Aku bisa membuktikan, hanya aku yang bisa, karena..."
"Karena apa?"
Tawar suara Bing-gwat-sim, "Khong-jiok-ling seperti yang
kau bawa itu, di sini aku masih punya beberapa biji, setiap
saat bila kau mau, masih bisa kuberi satu atau dua
kepadamu."
Berubah air muka Khong-jiok atau Merak.
Ibu jari yang di luar pintu juga berubah air mukanya.
"Sekarang juga aku bisa memberimu satu biji, nah ambil,"
dari dalam lengan bajunya sekali ulur tangan memang
dikeluarkan sebuah bumbung bundar kuning emas yang
mengkilap, seenaknya saja dia lempar bumbung emas itu
kepada Merak, serupa orang yang banyak duit melempar
sekeping uang kepada pengemis yang minta sedekah.
Merak mengulur tangan meraihnya, hanya dipandang dua
kali dan dibolak-balik tiga kali, mimik mukanya seperti seorang
yang perutnya ditendang secara telak.
"Coba kau periksa apakah Khong-jiok-ling yang kau pegang
itu mirip dengan milikmu yang kau simpan itu?"
Khong-jiok tidak menjawab, tidak usah menjawab. Siapa
pun bila melihat tampangnya sekarang, pasti dapat meraba
jawabannya.
Diam-diam Ibu jari menyurut mundur.
Mendadak Merak menoleh, katanya sambil menatap tajam,
"Kenapa tidak kau turun tangan membunuhku?"
 
Ibu jari tertawa meringis, katanya, "Kita kan kawan
sehaluan, kenapa aku harus membunuh engkau?"
"Karena aku hendak membunuhmu, sebetulnya aku ingin
membunuhmu, maka sekarang kau harus kubunuh."
"Tapi sebaliknya aku justru tidak ingin membunuhmu,
karena bahwasanya aku sendiri tidak perlu turun tangan,"
ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, tertawa sambil
memicingkan mata. "Di kalangan Kangouw hanya ada
seorang yang tahu bahwa kau bukan Merak asli, tidak lebih
dari tiga jam, kau akan menjadi Merak yang sudah mati."
"Sayang sekali kau melupakan satu hal," sinis suara Merak.
"Aku melupakan apa?" Ibu jari melengak.
"Umpama benar Khong-jiok-ling di tanganku ini tiruan, tapi
untuk membunuhmu kurasa cukup berlebihan."
Seketika mengejang tawa Ibu jari, mendadak tubuhnya
menerobos keluar, reaksinya sudah amat cepat, sayang masih
terlambat sedetik.
Bumbung kuning emas di tangan Merak tiba-tiba
menyemburkan cahaya benderang yang menyilaukan mata.
Laksana pancaran mentari sebelum terbenam, seindah
lembayung yang menghias angkasa sehabis hujan.
Tubuh Ibu jari yang buntak itu masih terapung di udara
sudah terbenam ditelan cahaya yang indah semarak itu,
seumpama segulung pasir yang jelek mendadak tergulung
oleh damparan ombak yang indah mempesona. Bila cahaya
benderang menakjubkan itu sirna, jiwanya pun melayang.
 
Back
Top