JINGGA

Langge tidak menyesal pergi bermain futsal malam ini. Untuk sejenak, Ia dapat
melupakan segala masalah yang menyerangnya belakangan ini. Kerinduannya pada Ebiet
juga tidak sekronis sebelumnya. Meski sebentar, Ia dapat berbaur dengan dunia yang
belakangan ini Ia tinggalkan. Dera, yang hampir selalu berkutat dengan dunia otomotif,
hari ini bahkan bergabung dengan tim futsal mereka. Ada juga Anas, Randy dan Yuka,
serta teman-teman lainnya. Keriaan ini membuatnya bisa mensupress masalahnya sedikit - sedikit.

Ia teringat lagi akan kesempatan yang Yudhi tawarkan padanya. Menjadi
fotografer resmi Everybody Loves Irene selama mereka tur ke Singapura dan Malaysia
tentu merupakan sebuah kesempatan emas yang tidak boleh Ia sia-siakan. Sebuah prestasi
yang bakal mempercantik dan menambah tebal portofolionya, mengingat usianya baru 18
tahun dan haus pengalaman berharga. Belum lagi kesempatan untuk bertemu dengan
belahan jiwanya menjadi semakin besar.

Tapi, apa yang akan Ia lakukan terhadap kuliah kedokterannya? Apakah akan Ia
buat terbengkalai? Apa yang harus Ia bilang pada Mama, dan terutama, Papanya? Apa
yang harus Ia perbuat?

Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang lagi di kepalanya itu membuat kepalanya
sakit lagi. Bisa-bisa stres, depresi, menghadapi semuanya. Langge semakin bingung.
Sepertinya, Ia benar-benar butuh waktu untuk sendirian. Memutuskan segala hal, untuk
yang terbaik, untuk mimpinya, untuk dirinya. Karena Ia tahu, Ia sudah dewasa.
 
23 – A Special Chance

Rumeh Yudhi, 20:53​
"“DHI, EMANG JADWAL MANGGUNGNYA KAPAN AJA?"” TANYA LANGGE KETIKA ITU. IA
SUDAH siap dengan pena dan kertas untuk mencatat jadwal tur Everybody Loves Irene di
Malaysia.
"“Well, well, sebentar. Gue buka file-nya dulu... Tur Malaysia ELI. Hmmm... Aha.
Nih dia. Catat nih, Ngge. Berangkatnya sekitar tanggal 10 Februari, karena kita mau
jalan-jalan dulu. 16 Februari di Earshot Café, Singapore. Kita cabut ke Malaysia, tanggal
18 Februari di Zone Star Bistro, Johor Bahru. Tanggal 20 Februari main di Central
Market, Kuala Lumpur. 22 Februari masih di KL, main di Laundry Bar. Ke Shah Alam,
main di Artport tanggal 24, besokannya kita main di Vinyl DC, Melacca,"” Mastermind
ELI yang berkacamata tersebut membacakan jadwal manggungnya di Singapura dan
Malaysia. “"Eh, ngomong-ngomong, udah dapat izin dari babe lo belon? Gue turun tangan
deh, kalo nggak dikasih,"” sambungnya.

Langge menjawab sembari terus mencatat jadwal yang tadi diberitahukan.
“"Belum. Tapi, dikasih atau nggak dikasih, gue tetap pergi kok. Kita pergi naik apa?”"
tanyanya kemudian.

Yudhi tersenyum tipis. "“Naik pesawat yang murah aja, yang penting doa
sepanjang perjalanan. Paling mahal sejuta lah, tapi tetap berat di fiskal. Lo siapin aja tiga
juta buat transport... Aulia, yang ngurusin synthesizer di ELI, dia yang ngurus segala
sesuatunya. Maklum, manager. Katanya sih tour travel yang ngurusin tiketnya itu punya
oomnya, jadi mungkin aja dia bisa dapat 2 atau 3 tiket gratis. Gue sih gak mungkin
ngasih gratis buat lo, palingan ntar kayak subsidi silang aja. Jadi, harga total tiket di mana
tiket gratis itu gak termasuk, dibagi jumlah yang ikut. Biar jatuh-jatuhnya murah, Ngge,”"
terang Yudhi lagi, panjang lebar.

Langge lega ketika mendengarnya. Ia sudah mempersiapkan uang sekitar tiga
setengah juta lebih untuk jalan-jalannya ke dua negara tetangga tersebut. Mengingat
Yudhi sendiri mengatakan bahwa akomodasi dan transportasi selama di sana ditanggung
oleh ELI. Ia hanya perlu bawa diri, bayar pesawat, dan uang saku.

“Dari tanggal 10, kita ngapain aja tuh, Dhi?” tanya Langge lagi, ingin tahu. Jika
teman-temannya berjalan-jalan di Singapura, Ia ingin bertandang ke kondo Ebiet di East
Coast.

"“Ya jalan-jalan aja, having some fun di Singapore. I’m gonna meet some friends
there...
Tapi, mulai tanggal 16 sampai 25, nggak ada deh tuh jalan-jalan sendiri. Gue
nggak mau ada ngaret atau gimana, soalnya kan mau ngebuktiin profesionalitas ELI
sendiri, dan ngebawa nama negara. Jadi, gue minta juga lo kooperatif, kalo emang lo jadi
ikut,"” tegas Yudhi. Yang diajak bicara sudah terbiasa dengan tabiatnya yang idealis
seperti itu.

“"Tanggal 26-nya? Udah boleh dong, pergi-pergi? Kita pulang tanggal berapa
memangnya?"” Ia sedang berpikir, mungkin, Ia bisa merayakan ulangtahun Ebiet bersama - sama
di Singapura.
 
"“Boleh lah, terserah deh elo mau ke mana. Pokoknya, kita berangkat tanggal 30,
dari Changi Airport. Eh iya, lo bawa paspor lo nggak? Mau gue kasih ke Aulia, biar visa
dan segala macamnya diurusin. Lusa dia ke Kedubes (Kedutaan Besar) dan kantor
imigrasi gitu...”" Mendengar kalimat Yudhi barusan, Langge baru teringat akan hal yang
dipesan oleh Yudhi tadi. Ia pun memberikan paspornya, yang baru Ia perpanjang dua hari
yang lalu. Seharian pula, mungkin karena ini adalah peak season: liburan.

Sesampainya di rumah, Langge hanya bengang-bengong saja memperhatikan
jadwal manggung ELI di Singapura dan Malaysia. 16 sampai 25 Februari, tidak bisa
berjalan-jalan, tamasya, apalah sebutannya. 3 juta rupiah. Belum lagi beli oleh-oleh untuk
keluarganya, untuk Jingga, MRT, dan segala macamnya, pasti membutuhkan biaya lagi.

Ia memperhatikan nama "“Laundry Bar"” dan "“Artport”," tanggal 22 dan 24
Februari. Hatinya menjadi ragu untuk pergi. Karena jika Ia berada di Jakarta, Ia bisa
menonton salah satu band English rock favoritnya, Muse, di Istora Senayan dengan biaya
yang jauh lebih murah: limaratus ribu perak untuk menyanyi tepat di depan Matthew
Bellamy. Ia begitu menunggu-nunggu momen ini, menyaksikan betapa skillful dan
hebatnya trio Matthew Bellamy, Christopher Wolstenholme dan Dominic Howard.
Namun, tidak mungkin Ia menyia-nyiakan kesempatan menjadi fotografer resmi sebuah
band indie kenamaan dan kesempatan melepas kangen dengan Ebietnya. Bisa saja itu
merupakan langkah awalnya dalam mencapai mimpi dari segala mimpi-mimpinya:
keliling dunia.

Makan malam juga Ia lahap dengan tidak terlalu bernafsu. Rasanya, Ia tidak
begitu lapar. Karena itu, Langge tidak mengambil banyak nasi dan lauk pauk. Di
keluarganya, makanan harus selalu dihabiskan, bagaimanapun caranya.
Akhirnya, Ia memilih untuk membicarakan perihal mimpi-nya yang sudah
disetujui oleh Yudhi.

"“Pa, aku butuh uang untuk membuat paspor, sekitar 600 ribu rupiah,"” pinta
Langge, sesantun dan semanis mungkin kepada ayahnya. Sekalian untuk menutupi
kegondokannya.

"“Untuk apa?”"

"“Aku mau ke Singapura, jadi fotografer freelance bandnya Yudhi. Sepertinya
waktu itu aku sudah bilang."” Langge menyuap sesendok nasi dan lauk ke dalam
mulutnya.

"“Kata siapa kamu saya izinkan pergi?"” tanya Papa. Untuk sejenak, Langge tidak
dapat menjawab kalimat ayahnya barusan, karena beliau memang belum memberi izin
baginya untuk pergi.

Ia berpikir keras dalam beberapa detik, mencari-cari alasan agar Ia diizinkan
pergi. Apa saja hal-hal yang sangat Papa harapkan darinya? Hmmm... Menjadi dokter..

"“Kalau begitu, Langge mau berhenti kuliah".” jawabnya, santai, sekedar
mengancam. Ia belajar berlaku dan berkata tegas dari ayah angkatnya, tentu saja.

"“Sejak kapan kamu jadi pintar membantah begini? Saya maupun ibu kamu tidak
pernah mengajarkan untuk menjadi anak yang kurang ajar,”" ujar beliau. “"Jika saya
memberikan kamu uang, kamu pasti akan pergi ke Singapura bersama temanmu yang
berkacamata itu. Memangnya, musisi akan jadi apa nantinya? Tidak bakal sukses. Kamu
lihat, banyak musisi yang hanya sekali tampil lalu bangkrut. Fotografi juga prospeknya
tidak bagus. Karena relativitasnya, tidak semua orang menyukai karyamu nantinya. Jika
kamu jadi dokter, prospek ke depannya sangat bagus, karena semua orang butuh dokter.
Satu-satunya profesi yang absolut di Indonesia adalah menjadi dokter,"” tambahnya.

Semua orang juga minimal punya satu buah foto dirinya sendiri, Pa!
 
Langge menghela nafas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “"Diberi atau
tidak diberi, saya akan tetap pergi, Pa. Saya juga punya mimpi menjadi fotografer, seperti
Papa dulu punya mimpi jadi dokter. Jangan karena Papa dipaksa untuk tidak meraih
impian Papa, saya juga dipaksa seperti itu. Papa nggak adil namanya."” kata Langge,
seraya kemudian menenggak minuman dari gelasnya.

Lalu, ayahnya pun ikut-ikutan menghela nafas. Bingung, harus menjawab apa
pada anaknya, yang semakin lama menurutnya semakin keras kepala. “"Nanti saya
pikirkan lagi,"” ujarnya kemudian.

Langge beranjak dari meja makan menuju kamarnya. "Bersorak di dalam hati".

From : February Tatiana <februarytatiana@my.sos.edu.sg>

Dear Langge,

It’s OK.. Ebiet miss you too.. I’m in lonesome, you know.. I wish you
were here, really..

HUH? Oh God, I dunno what to say! How come? Where did you know? Wow,
subhanallah.. I still can’t believe it.. Have you talked to her? You
should try talking to her, maybe she would be delighted with this gift
too.. Wouldn’t she? I thought she has been searching for her brother
when she first met you.. Btw, I haven’t buy a calling card.. Why not
you? Hahaha..

This Sunday will be the end of my holidays :-( Who did you celebrate
the new year evening with? I visited my friend’s house.. Yeah,
Singaporeans, parties every week, LOL54.. Yesterday someone offered me
Heineken! He’s even an Indonesian.. Ck ck..
Club 8 played that song, after encore.. Ebiet watched it with (errhm),
Diaz.. Because he was the one who gave the free tickets.. Have I told
you that?

Soon! There are only two exams left, in February and May.. The end of
the exam will be soon before my birthday.. I’ll be home on February
26th, maybe you want to join me? (Is that even possible?)

I love you too, so much, Ngge..
 
24 – My Two Brothers

IA DAPAT MELIHAT KEKOSONGAN YANG TERDAMPAR DI DALAM MATA ANAK ITU,
SEKOSONG LANGIT JINGGA yang terlampau cerah, dan tidak berawan sama sekali. Saat itu
juga, Ia tidak tahu harus berkata apa, harus berlaku apa. Ia takut tanpa sengaja
membocorkan rahasia di mana dirinya dan anak itu adalah saudara sepupu.

"“Kak?"” panggil Jingga.
“
"Ya?"” jawabnya singkat, berusaha penuh kekakakan. Mungkin Tuhan
mempertemukannya dengan gadis cilik ini untuk menggantikan Hatif, sepupunya lain.
Langge masih tidak mengerti, sungguh, bagaimana mungkin cobaan yang begitu berat
bisa menimpa anak kecil sepintar Jingga. Bagaimana mungkin teka-teki kehidupan
menimbulkan terlalu banyak kejutan di dalam kepalanya. Sampai detik ini pun, masih ada
banyak hal yang tidak bisa Ia cerna dengan akal sehatnya.

Fakta bahwa Ibu Cempaka – ibu kandungnya, adalah saudara kembar dari orang
yang selalu Jingga panggil dengan sebutan "“Bubung"”. Nama ibunya Jingga adalah
Bunga. Bunga – Cempaka. Betapa indah nama yang diberikan oleh orangtua mereka,
sayang sekali bukan nasib seindah itu yang hinggap.

Kedua orangtua Langge “"menghibahkannya"” ke Rumah Talitemali dengan penuh
persetujuan dan rasa sadar, sehingga Ia menghibur diri dengan alasan "“Kalau Bapak dan
Ibu tidak membuangku, aku tidak akan berada di fakultas kedokteran saat ini.” Berkali-kali
Langge mencoba untuk berpikiran positif mengenai keluarganya, yang entahlah
harus Ia cari di mana. Mungkin, Ia benar-benar harus berhenti mencari.

"“Apakah Kakak benar-benar sudah meninggal?"” tanya Jingga, polos. Matanya
menyiratkan keingintahuan yang begitu mendalam, sekaligus sikap “"tidak mau
mendengar"” jika jawaban yang akan Langge berikan tidak sesuai dengan harapannya.

Ketika itulah Langge terperangah. Sejauh yang Ia tahu, hal tersebut masih
menjadi rahasia antara dirinya dengan Ibu Minah. Wanita paruh baya itupun belum
memberitahukannya kepada anak ini, untuk menjaga perasaan Jingga.
Mengapa semua yang ada di dunia ini sekarang dipenuhi oleh kebohongan?
Kebohongan-kebohongan yang memiliki nama lain bernama white lie. Kebohongan-kebohongan
yang tidak Langge sukai, namun harus Ia katakan.

"“Jingga dengar dari mana?”"

"“Tentu saja dari pembicaraan Kalang dan Bumin. Kalian kan selalu berbicara
tentang Jingga dan Kakak,"” jawabnya singkat.

Langge tidak tahu harus menanggapinya dengan apa, karena jujur saja, Ia tidak
pernah ‘"sukses"’ menghadapi pertanyaan anak kecil yang begitu ingin tahu dan tidak
pernah mau kecewa. Mungkin, sebenarnya bukan hanya anak-anak kecil, tetapi semua
manusia yang hidup di dunia tidak pernah mau mengalami kekecewaan. Padahal,
merasakan kecewa berarti merasakan hidup yang sesungguhnya, bukan?

Sehingga, lagi-lagi, Langge memilih untuk tidak menjawab. Sekaligus tidak
berbohong.

"“Jingga bahkan tidak pernah melihatnya,”" kata Jingga. Saat itu, segaris senyum
pahit tersungging di bibirnya. Jelas sekali, mulai saat itu, cara pandangnya mengenai
hidup akan berubah drastis. Caranya menanggapi hari-harinya, bahkan, caranya
tersenyum... “"Selama ini, Jingga pikir Kakak akan datang dan menyelamatkan Jingga.
Kakak selalu menjadi pahlawan buat Jingga. Jingga bisa hidup sampai hari ini karena
Kakak. Apa Kalang tidak mengerti?"” sambung anak itu.
 
Langge mengernyitkan dahinya, dan mencelos ketika menyadari bahwa dirinya
masih saja tidak dapat mengerti polah Jingga.

"“Setiap Papar memukuli Jingga, Jingga bersikeras untuk bertahan hidup. Karena
Jingga tahu, suatu saat nanti, Kakak akan menemukan Jingga. Setiap detik yang Jingga
lalui dengan berbaring di rumah sakit, Jingga habiskan dengan tenang, karena sepertinya
Kakak menjagaku setiap hari jika Bumin tidak ada. Seolah-olah Kakak melindungiku
terus-menerus. KAKAK BELUM MENINGGAL, KALANG!”" teriak Jingga, setengah
histeris.

Ada satu butir airmata yang menitik di sudut mata anak itu. Hati Langge sakit
lagi, menyadari bahwa belakangan ini, Jingga jadi sering menangis. Padahal, Ia tahu,
bahwa anak itu kuat sekali.

Jingga melempar tumpukan kartu yang tadi berada di dalam genggamannya.
Tumpukan kartu remi itu terlempar ke segala arah, mental, bagaikan hancurnya bantal
menjadi kapuk-kapuk yang bertebaran. Langge ingin sekali melihat hal itu dalam adegan
slowmotion, namun semuanya justru berjalan kelewat cepat. “"Selama ini Jingga main
kartu karena Kakak sudah pasti merupakan pemain poker paling hebat di dunia! Jika
umur Jingga sudah cukup, Kakak akan melatih Jingga bermain poker dan blackjack!”"
teriak anak itu lagi.

Jingga hendak berlari menjauh. Entah, lari dari apa. Refleks Langge cukup cepat,
dan Ia berhasil menarik tangan Jingga, agar gadis mungil itu tidak pergi jauh-jauh
darinya. “"Sssh. Iya, Jingga. Iya.”"

Jingga memberontak dengan kuat sekali tatkala lengan Langge meraih tubuhnya
untuk dipeluk. "“Kakak ngerti, Jingga..."” ujarnya dengan susah payah.

"“KAMU BUKAN KAKAK!”" teriaknya lagi.
Langge tidak menanggapinya. Ia malah berpikir, dari mana Jingga bisa
memikirkan begitu banyak hal akan kakaknya? Apakah Jingga berhalusinasi, ataukah
semua itu hanya terdapat di mimpinya saja? “"Iya, aku memang bukan Kakak. Tapi,
sekarang aku ada di sebelahmu, Jingga.”"

Jingga tidak mengeluarkan suara lagi, hanya sesaknya nafas yang sedang ia atur.
Langge segera menggendong anak itu menuju ke ruang tidurnya.
 
Beberapa hari selanjutnya​
"“Kalang, maaf ya, waktu itu Jingga bentak-bentak Kalang,”" tandas Jingga. Ia
masih terbaring di tempat tidurnya, akibat sesak nafasnya yang kemarin membuatnya
jatuh pingsan. Mungkin hal itu dialaminya antara lain juga karena ketidakterimaan alam
bawah sadarnya bahwa kakak semata wayangnya telah meninggal dunia, seperti ibunya,
yang sangat Ia sayangi.

"“Dimaafkan."” Langge tersenyum sambil mengusap tangan Jingga. Lama
kelamaan, ia mulai bisa menganggap Jingga sebagai adik kandungnya sendiri.

"“Jadi, Kalang itu anaknya Bicem (Bibi Cempaka)? Sepupuku?"” tanya anak itu
lagi. Senyum Langge semakin mengembang mendengarnya. Akhirnya, mungkin sebentar
lagi Jingga bisa menerimanya sebagai salah satu dari keluarga Jingga, meskipun bukan
kakak kandung seperti yang selama ini anak itu harapkan.

"“Iya. Jingga kenal Ibu Cempaka?"” Ketika mengatakannya, Langge berharap anak
itu bisa membantunya memecahkan sedemikian banyak puzzle hidupnya yang tidak
kunjung terselesaikan.

Anak itu mengangguk meskipun kondisi tubuhnya sedang sangat-sangat lemas.
“"Tiga tahun yang lalu, Bicem berangkat ke Malaysia sebagai TKW. Kadang-kadang
Jingga mendengar kabar tentangnya lewat Bubung, dan Jingga pikir, setelah Bubung
pergi, Jingga bisa dirawat oleh Bicem. Tapi Bicem-nya tidak pulang-pulang --– sama
seperti Bubung, apalagi suaminya juga tinggal di Malaysia dan bekerja sebagai buruh
pabrik,"” terangnya. Nampaknya Jingga sudah tahu arah pembicaraan Langge selanjutnya.

"“Oh, begitu. Padahal, Kalang ingin sekali bertemu dengan mereka. Ibu Kalang
orang yang seperti apa?”"

"“Bicem sangat baik pada Jingga. Jingga pikir, Bicem tidak pernah mempunyai
anak, ternyata Bicem justru ibunya Kalang ya? Bibi Cempaka senang memberiku
pakaian. Senang mengajariku berbagai macam hal ketika Bubung sibuk. Jingga selalu
sayang pada Bicem.”"
 
25 – MRT of Love

EBIET BERJALAN MENYUSURI TROTOAR DI ORCHARD ROAD SEPULANG SEKOLAH.
Hari ini Hari Jumat, dan dirinya suka malas langsung pulang, berhubung
keesokan harinya adalah hari libur. Biasanya, Ia pergi berjalan-jalan bersama Hi-Chan—
panggilan akrab Hitomi, Shin Bi, Yurika, dan yang lainnya. Entah ke gerai-gerai di
Orchard Road, Bugis Village, HMV atau pergi karaoke. Well, orang Korea dan Jepang
memang sangat hobi melakukan hal yang satu itu. Ebiet sebenarnya tidak suka
berkaraoke, Ia hanya suka pergi bersama teman-temannya saja. Jadi, sepanjang acara
nyanyi-menyanyi, Ebiet tidak ikut, hanya memakan cemilan yang dipesan dan melihat
keadaan sekeliling, sesekali mentertawakan temannya yang bersuara jelek.

Meskipun salah satu hobinya adalah menonton film, hobi tersebut diremnya di
Singapura, mengingat nonton di bioskop harganya relatif mahal, sekitar 9 Dollar
Singapura sekali nonton. Dan lagi, bioskopnya belum sebagus dengan bioskop di
Indonesia. Tiap pulang sekolah, sesekali Diaz memaksanya untuk berjalan ke halte
bersama --– dan kalau bisa mampir di BK.

Namun, saat ini Ia sendirian dan ingin segera pulang.

Secara umum, Singapura terasa seperti Jakarta. Multikultural. Lebih banyak
warga pendatang dibandingkan dengan penduduk asli. Banyak Chinese dan Korean di
mana-mana (seperti di Jakarta!). Sekarang, Jakarta bahkan sepertinya jauh lebih mewah
daripada Singapura di beberapa sudut. Ada juga sih, bagian “"pedalaman"” Singapura yang
agak "kumuh", sekumuh pinggiran Jakarta.

Perbedaan yang mencolok mungkin terletak pada kedisiplinan warganya. Di
Singapura, kita tidak akan pernah bertemu dengan mang-mang yang memanggil atau
menggoda kita sepanjang perjalanan. Kita tidak akan menemukan sampah berceceran di
trotoar. Kita tidak akan menemukan polisi yang “"mencari mangsa"” untuk "“ditilang"”.
Hampir seluruhnya serba teratur di Singapura.

Sejenak kemudian, terdengar derap langkah seseorang yang sedang berlari di
belakang Ebiet. Untuk apa orang itu tergesa-gesa? Bukankah MRT transit setiap 15
menit sekali?


Ia mengacuhkannya. Ebiet lelah sekali, dan berharap bisa cepat-cepat sampai di
kondo Villa Marina Tower 16-nya tersayang. Perjalanan dengan MRT menuju East Coast
umumnya membutuhkan waktu kurang-lebih 50 menit. Sepanjang perjalanan, mungkin
dirinya bisa "“tidur siang"”.

Nanti malam pasti berjalan dengan sangat membosankan. Ebiet berani bertaruh.
Di saat-saat seperti ini, tentu saja Ia merindukan Langge. Merindukan saat-saat mereka
pergi ke Ragusa, menghabiskan waktu seharian di Dufan, pergi ke Monas, jalan-jalan
mengitari ruas jalan protokol di Jakarta sambil deg-degan karena takut ditilang polisipolisi
iseng yang butuh uang untuk malam mingguan. Hari-hari yang menyenangkan—--
hari-hari favorit sepanjang hidupnya. Merindukan bahu Langge yang hampir selalu
menjadi tempatnya bersandar. Tempat untuknya menangis--—kendati Ebiet sebenarnya
pantang menangis di depan siapapun.
 
“"Ebiet!"” panggil suara itu. Suara seseorang yang telah berhenti berlari. Ebiet
segera menengok mendengar namanya dilafalkan oleh orang tersebut.

Betapa terkejutnya Ia tatkala mendapati bahwa orang yang berada di belakangnya
adalah

"“Diaz?”"

"“Hei! Sorry. Aku sebenarnya memang ingin pulang bareng kamu, tapi tadi
ketahan Mr. Rai,"” kata Diaz sambil mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sampai juga di bus stop.

"“Ada apa dengan Mr. Rai?"” Ebiet memperhatikan mobil yang berlalu-lalang
ditemani dengan kebosanan yang berlebihan. Dari kejauhan, Ia dapat melihat sekumpulan
siswa-siswi Chatsworth International School yang juga baru pulang sekolah.

Diaz mengelap lensa kacamatanya dengan kausnya. Karena sudah menjadi senior --
–Year 12, Ebiet, Diaz dan yang lainnya sudah harus mengenakan pakaian bebas ke
sekolah.

I had to water ‘his’ plants on the backyard, hahaha. Aku memang memilih
menjadi asisten guru sebagai bentuk community service untuk kenaikan kelas. Tidak
kusangka, ‘asistensi’ tersebut termasuk menyiram tanaman."” Ebiet tertawa lepas
mendengarnya. “"Yee, malah ketawa. What did you choose, anyway? Ah, ya, Fa Hien’s
Daycare. I forgot.”"


"“Well, I love kids. One of mine is going to be named ‘'Jojo’',”" tukas Ebiet, tanpa
sadar mengubah arah pembicaraan menuju topik yang tidak ingin Ia bicarakan.

“"How cute. I wonder, who’s going to be his Papa?"” Diaz mengatakannya tanpa
beban sama sekali. Sehingga Ebiet mengasumsikan bahwa itu merupakan pertanyaan
retorikal, yang (thank God) tidak harus Ia jawab.

Si pria juga tidak melanjutkan percakapan tersebut. Ketika bus rute 36 sudah
datang, mereka berdua menumpangi bus yang sama.

Dan tanpa Ebiet sengaja sama sekali, Ia tertidur di bahu orang lain. Bahu Diaz.>8o

* * *​
 
“"Hei, Arnet",” sapa Ebiet pada teman sekondonya yang juga berasal dari
Indonesia.

"“Hello. Did you sleep in the MRT again? You look like a mess".” Setelah
mengatakannya, Arnet tertawa terbahak-bahak. Ebiet cemberut mendengarnya.

"“Yup. Much worse. I slept on Diaz’s shoulder",” cerita Ebiet.

Ia meletakkan backpack-nya di kamar, lalu keluar dari kamar menuju ruang TV.
Sore itu, hanya mentornya, Miss Hana, yang belum ada di kondo. Teman Indonesianya –
Arnet dan Fifi, teman Thailandnya --– Michella, dan teman Malaysianya --– Latifah,
semuanya sudah berada di kondo.

Saat itu, di kondo juga ada teman Latifah, Juanita, junior Ebiet di sekolah. Latifah
dan Juanita memiliki hubungan yang relatif dekat karena sama-sama mengambil les
Intensive English di IKOMA Language School. Ebiet tidak begitu dekat dengan Juanita,
tetapi mereka saling mengenal. Sehingga, Ebiet memutuskan untuk menyapa gadis
berkebangsaan Spanyol itu. "“Hey, Juanita! How are you?"” tanyanya.

"“Fine, as you see",” Juanita tersenyum.

"“Don’t forget to teach me how to cook burritos, okay?"” tutur Ebiet. Meskipun
berkebangsaan Spanyol, ibunya merupakan keturunan Meksiko, sehingga bisa memasak
tacos, burritos, fajitas, dan sebagainya. Juanita tertawa mendengarnya dan kemudian
mengangguk setuju.

"“The one with the glasses? He'’s cute",” sahut Latifah, melanjutkan percakapan
yang tadi mengenai Diaz. Hati Ebiet mencelos, duuuuuuh...

Ebiet dekat dengan teman-temannya tersebut, tetapi di sekolah mereka jarang
menghabiskan waktu bersama karena kelas-kelas yang diambil seringkali berbeda. Dari
semuanya, yang mengambil Art hanya Latifah. Dia pun tidak mengambil kelas IB di
bidang tersebut. Well, tidak banyak teman-temannya yang mengambil full IB seperti
Ebiet, rata-rata hanya mengambil half IB yang berarti hanya mengikuti program tersebut
pada beberapa mata pelajaran. Fifi dan Arnet sama-sama lebih tertarik di bidang sosial,
berbeda dengan Ebiet yang kurang berbakat pada hafalan. Bahkan, pelajaran favorit Ebiet
selain Art adalah Science. Michella, yang merupakan blasteran Denmark-Thailand,
begitu aktif di bidang olahraga, karena Ia senang sekali berenang. Sementara Arnet,
beberapa kali menjadi pesaing Ebiet di speech competition.

Miss Hana bekerja di sebuah perusahaan real estat sebagai junior architect. Bukan
real estat sebenarnya, tetapi lebih mengarah ke rumah susun, kondo dan apartemen,
karena wilayah Singapura memang sempit sekali. Ia biasanya kembali ke kondo jam 6
sore, dan melanjutkan pekerjaannya di sana. Di dalam kondo tersebut terdapat meja
gambar yang biasa dimiliki arsitek. Ebiet dan teman-temannya sering meminjam meja
tersebut jika ada PR menggambar teknik.

"“... and kind. Oh my God, he even took you to Club 8’s showcase in Esplanade!
You two should be an item, I suggest"
,” tambah Michella.

Ebiet hanya tersenyum masam menghadapinya. Ia menyalakan laptopnya dan
online di Messenger, siapa tahu...

Ada Langge.

Ebiet: Are ya busy? I’ve missed u..
Langge: Not really busy. HOLIDAYS! =)
Ebiet: Well.. That sounds great..
Langge: And I’ve missed u more, really
Ebiet: How’s Jingga?
Langge: She’s fine, I can say
Langge: How are u, dearie? Kamu ga ke mana2? Biasanya pergi2 dulu pulang sekolah?
Ebiet: Nggak.. Cape, banget..
Langge: Why don’t u get a rest? Ntar sakit lho
Ebiet: I’m healthy when u’re beside me.. :)
Langge: Aw. It’s the sweetest thing I’ve ever heard
Langge: Me too. Kalo punya duit, kamu udah kususul dari 2 tahun yg lalu, sayang

* * *​
 
Keesokan harinya, Diaz dan Ebiet lagi-lagi pulang bersama-sama menumpangi
MRT rute 36 menuju East Coast. Sebenarnya Ebiet menolak pulang bersama karena
sungkan, tetapi tahu-tahu (seperti biasa) Diaz sudah berada di bus stop, tidak jauh
darinya.

Semakin lama, hubungan mereka semakin dekat saja. Ebiet tahu, tentu saja itu
salah. Bagaimana tidak? Diaz berbeda agama dengannya. Diaz bukan hanya menganut
Kristen Protestan, Ia juga menjalani adat istiadat Tionghoa yang kental.

Ebiet, yang tinggal di Singapura, tentu saja bukan seseorang yang
mendiskriminasikan etnis Tionghoa dari kehidupannya. Mayoritas orang Asia di SOS
juga memeiliki keturunan Cina di darahnya. Ibu pun tidak memandang negatif terhadap
kaum minoritas. Tetapi, bagaimana dengan keluarga besarnya? Perbedaan keimanan
merupakan satu hal yang besar menurutnya.

Karena itulah, Ia berniat untuk menjaga jarak dengan Diaz. Bukan karena Diaz
memiliki keturunan apapun. Apabila Diaz orang Afrika sekalipun, sebenarnya Ebiet tidak
akan protes. Tetapi, Ia hanya ingin menjauh daripada harus jatuh cinta dan harus
melupakan cowok itu nantinya. Lebih baik tidak sama sekali, menurut Ebiet.

"“Ini",” tukas Diaz sambil menyodorkan sebuah handuk kecil berwarna putih
kepada Ebiet. Ebiet masih teringat sekaligus malu akan kejadian kemarin. Bagaimana
tidak, ketika hampir sampai di kawasan East Coast, ternyata Ebiet terbangun sambil
(masih) menyender di bahu cowok itu.

"“Buat apa?”" tanya Ebiet, bingung.

"“Nutupin rokmu. I know you’re not comfortable, wearing that skirt",” Cowok itu
tersenyum. Matanya –-- yang dibingkai sebuah kacamata ber-frame kotak dan tebal –
menyipit.

Ya ampun. Langge tidak pernah semanis ini. Ebiet menerima pemberian Diaz dan
meletakan handuk tersebut di lututnya, untuk menutupi paha dan betisnya.

"“Thanks. Celana-celanaku belum ada yang kering. Ini roknya Michella, aku
pinjam",” terang Ebiet, karena gestur Diaz seolah-olah mengatakan “"tumben-pakai-rok-
(mini)”."


“"Oh, pantas".” Tanpa sengaja, lengan mereka bersentuhan. Maklum, MRT tidak
jauh berbeda dengan TransJakarta, hanya ada beberapa seat yang posisinya berbeda.

"“Kamu sakit?"” tanyanya kemudian.

“"Enggak kok. Paling cuma kecapekan saja,”" jawab Ebiet—--berbohong.

Sebenarnya kepalanya migrain dan sebenarnya Ia belum makan semenjak tadi pagi.
Sebenarnya Ia kedinginan. Sebenarnya Ia ingin buru-buru sampai di rumah.

“"Tapi badanmu panas, Biet. Let me take you home, ya?"” pinta Diaz. Ebiet tidak
menjawab apa-apa. Kalaupun Ia menolak, sudah pasti Diaz memaksa untuk
mengantarnya pulang sampai ke depan pintu flat-nya. Kalau perlu, sampai bertemu Miss
Hana. "“Kamu pucat banget. Tanganmu dingin."
”
Diaz menyentuh jari-jemari Ebiet perlahan, yang begitu dingin. Jauh berbeda
dengan lengan dan keningnya yang juga sudah Diaz “ukur” panasnya dengan punggung
tangannya. Dan bodohnya... Diaz menggenggam tangan itu.

Serta yang lebih bodoh lagi... Ebiet tidak berontak. Ia diam saja. Lemah, terkapar,
tapi tidak bisa berbaring. Hanya bisa bersandar. Apalagi barusan laki-laki di sebelahnya
menarik kepalanya, untuk bersandar di bahu si penarik.

"“Biet?"” panggil Diaz, sambil meremas tangan dalam genggamannya yang – masih
saja – dingin.

"“Hmmm...”"

“"I love you so much".” Ia mengatakannya, dan berniat mengakhiri adegan tersebut
dengan kecupan manis di kepala Ebiet yang sedang sakit. Mungkin waktunya kurang
tepat, tetapi Diaz tidak tahu lagi, kapan harus mengucapkannya.
Tidak ada jawaban. Tidurnya sudah pulas.
 
26 – Island of God

January 2007​
Malam tahun baru kemarin, Langge habiskan dengan mengunjungi rumah
Chakra, sepupunya. Di sana, Chakra dan saudara-saudaranya yang lain
menyelenggarakan pesta barberque dan kembang api. Langge tidak begitu terlibat, selain
membantu mereka memasak sosis, daging, dan kebab pada grill yang disediakan. Rumah
Chakra memang relatif besar dan penuh fasilitas, Ia pun dengan sukses tidak mengingatingat
Ebiet (maupun Jingga) sama sekali malam itu.

Dan hari ini, 3 hari pasca malam tahun baru yang menurutnya menyenangkan,
Langge sudah berada di Pulau Bali bersama keluarganya. Mereka menginap di Hard
Rock Hotel, satu hal menyenangkan lagi bagi Langge, karena Ia sangat suka berenang
dan hotel tersebut memiliki 8 kolam renang yang berbeda-beda.

Langge tidak jadi magang di manapun liburan ini. Ia memilih untuk ikut liburan
keluarga ke Bali, berhubung Ia ingin mempererat hubungannya dengan keluarga intinya.
Terutama dengan Papa. Lagipula, Papa sudah jadi memberikan satu juta rupiah supaya
Langge bisa mengurus paspor, sekaligus memberi izin agar anak sulungnya tersebut bisa
pergi ke Singapura liburan ini. Kata Papa, itu sebagai "“hadiah"” karena Langge sudah
diterima di fakultas kedokteran. Menurut Langge, tentu saja hal tersebut juga sebagai
“"sogokan"” agar Langge tidak mabok kuliah. Ia ingin balas budi, sebab itu Ia ikut ke
Bali—--seminggu ini.

Berarti, Ia akan berpisah dengan dunia maya (baca: chatting dengan Ebiet) dan
Rumah Talitemali (baca: Jingga) selama seminggu ini. Sebelum berangkat, Langge sudah
menyempatkan diri untuk mengunjungi Rumah Talitemali, untuk bertemu Jingga.
Kondisi anak itu sudah jauh lebih baik. Jingga tidak lagi memikirkan ayahnya, dan
perlahan-lahan mulai menerima Langge sebagai kakak sepupunya.

Namun, mungkin Langge memang memerlukan waktu untuk dirinya sendiri.
Untuk bersenang-senang dan menghapus penatnya. Ia menatap secarik kertas dalam
genggamannya.

BEFORE I DIE, I WOULD:

1) Travel around the world
2) Have February Tatiana Islanova as my bride (!)
3) Become a photographer
4) Take a pic with R2D2 of Star Wars
5) Take Mom & Dad to Mecca
6) Visit Disneyland
7) Honeymoon destination: Hvar
8) Speak fluently in 5 languages
9) Stargazing at Bosscha
10) Starbucks Internship
11) Bali seawalking, Manado snorkeling
12) Meet Muse
[/CENTER]
 
Dengan berangkat bersama ELI tanggal 10 Februari bulan depan, Ia bisa merintis
jalan menuju impian yang berada di urutan 1 sampai 3. Bahkan urutan 8, jika Ia
mempelajari Bahasa Melayu di sana. Sementara, jika Ia tidak pergi, Ia hanya bisa
mengabulkan mimpinya yang berada di urutan 12, dari kurang-lebih 50 keinginan dalam
hidupnya. Karena itulah, Langge memutuskan untuk menjadi fotografer ELI selama
mereka tur.

Jadi, pupus sudah harapannya untuk menyanyikan lagu Muse kesukaannya,
“"Sunburn"”, bersama Matthew Bellamy. Ia memasukkan kembali daftar tersebut ke dalam
dompetnya.

Langge duduk di hamparan pasir di Pantai Kuta, menatap ke arah cakrawala
sembari menunggu matahari terbenam. Ia hanya mengenakan celana pantai, bahu kirinya
sedang digambari tato temporer oleh seniman tato setempat. Tare dan Mama sedang
membeli aksesoris dari batuan dan potongan kayu yang dijual di emperan, tidak jauh dari
situ.

Kelar ditato, Ia membayar sejumlah uang kepada seniman yang menggambarinya
tato, beranjak menyusul ibu dan adiknya.

"“Mas ngapain di sini? Emangnya Mas mau pakai gelang warna pink kayak aku"?”
tanya Tare polos. Langge tertawa renyah mendengarnya.

"“Ih, kamu sok tahu amat sih",” tutur Langge, mulai melihat-lihat berbagai macam
gelang yang dijual. Warna-warninya agak menyilaukan mata. Dulu, Ia heran sekali
mengapa cewek-cewek bisa sebegitu lamanya berada di dalam sebuah butik dan memilih
baju. Sekarang Ia mengerti kenapa mereka seperti itu. Jika Langge disuruh memilih, Ia
hanya akan menutup matanya dan mengambil satu gelang secara acak, lalu puas akan
pilihannya.

"“Mau beli buat siapa sih, Nak? Ebiet?"” tanya Mama, karena wanita yang namanya
pernah terucap oleh bibir Langge memang hanya satu. Ebiet. Well, ya sekarang
bertambah dengan Jingga.

Langge tersenyum. “"Pilihin dong, Ma, Langge gak ngerti. Yang cantik ya, Ma,
kayak Ebiet,"” tukasnya. Tidak biasa-biasanya Langge semanis dan semanja ini, tetapi
atmosfir Bali yang menyenangkan membuatnya jauh lebih bersemangat.

Malamnya, mereka berlima berjalan-jalan di sepanjang Jalan Legian. Tare agak
sedikit kalap melihat toko-toko macam Surfer Girl menjamur di sana. Sebelumnya,
Langge sekeluarga sempat berdoa di Ground Zero, mengenang tragedi Bom Bali yang
terjadi pada tanggal 12 Oktober 4 atau 5 tahun sebelumnya.

Mungkin memang sudah kodratnya bahwa laki-laki kurang suka berbelanja,
jadilah Langge, Vane dan Papa hanya duduk-duduk di sebuah restoran. Papa menikmati
kopi hitamnya, Langge dan Vane tentu saja cari cemilan seperti kerang dara rebus,
misalnya.

Ketika sedang asyik-asyiknya menyantap kudapan yang ada di hadapannya,
Langge dikejutkan oleh pertanyaan ayahnya, "“Memangnya kamu berada di Singapura
berapa lama"?” tanya Papa.

Langge tentu saja menjawabnya dengan bersemangat. "“Bandnya sih berangkat
sekitar tanggal 10 atau 11 Februari ke Singapura, mungkin naik pesawatnya dua kali,
berhenti di Batam dulu untuk menekan biaya. Turnya dimulai tanggal 16 sampai 25
Februari, di Singapura cuma transit, sisanya di Malaysia. Kira-kira 6 kali manggung gitu,
Pa,"” ujarnya.

Papa mendengarkan, meskipun pandangannya Ia alihkan ke tempat lain. Papa
memang selalu begitu, rasa gengsinya selalu saja mengalahkan rasa ingin tahunya.
Langge pun meneruskan makan.
 
"“Lho? Emangnya Mas mau ke luar negeri"?” tanya Vane tiba-tiba. "“Ngapain"?”
Mimiknya bingung, kocak, membuat Langge sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak
melihatnya.

“"Iya. Jalan-jalan, dong... Makanya, cepat-cepat kuliah lo, biar banyak libur"!”
canda Langge.

“"Wah, iya deh, nanti gue SMA ikut kelas akselerasi saja. Kayaknya kuliah enak
ya, Mas?"”

“"Banget. Capek sih, but at least, it’s way much better than high school. High
school sucks".”


Nampaknya, perjalanan mereka ke Bali benar-benar sanggup merekatkan tali
persaudaraan dan kekeluargaan yang sempat renggang. Langge gembira sekali
menyadarinya.

Keesokan harinya diisi dengan perjalanan sepanjang hari, tetapi belanjanya mulai
dikurangi. Lagipula, baru hari kedua dari satu minggu, '‘para wanita'’ tentu saja bisa
menghabiskan uang untuk belanja di hari-hari terakhir. Pagi ini Langge dan keluarganya
mengunjungi Ubud, yang terkenal dengan keseniannya sampai-sampai ada Ubud Writers
and Readers Festival yang rutin diadakan setiap tahunnya.

Di Ubud, terdapat berbagai macam lukisan dan patung yang sangat indah menurut
Langge. Ia agak bosan pada awalnya, tetapi begitu melihat lukisan, Langge langsung
teringat pada Ebiet, yang suka sekali melukis.

Aliran melukis Ebiet adalah realis. Ia selalu mampu menyapukan kuas ke kanvas
dengan warna-warna yang membuat lukisan itu lebih tampak seperti foto. Lukisanlukisan
yang maknanya jelas, dan mudah dimengerti, bahkan oleh orang awam sekalipun.
Ebiet tidak pernah mengenyam pendidikan seni seperti kursus dan les melukis, semuanya
Ia pelajari dengan otodidak. Berbeda dengan orangtua Langge, orangtua Ebiet begitu
mendukung hobi Ebiet yang satu ini.

Sejak kecil, baik di Jepang maupun di Kanada, Ebiet sudah rajin menggambar
dengan krayon oil-pastels. Gambarnya selalu memiliki warna-warni yang cerah dan
menyenangkan untuk dilihat. Semuanya seolah-olah terserah Ebiet. Ia bisa saja mewarnai
langit dengan warna ungu, dan menggambar hati dengan warna jingga. Ebiet juga senang
sekali menggambar pelangi. Dari pelangi sederhana '“merah-kuning-hijau'” ketika Ia kecil,
sampai pelangi dengan berbagai macam warna berikut tipis-tebalnya sapuan kuas ketika
Ia beranjak remaja. Menurutnya, pelangi selalu mendeskripsikan hal yang indah setelah
mendungnya langit.
 
27 – Into My Family

BERKAT LIBURAN PANJANGNYA, LANGGE BISA SERING-SERING MENGUNJUNGI
RUMAH Talitemali. Jingga, Fabian, Akilla, dan yang lainnya. Ia bisa mengusir penatnya
seharian, yang biasanya hanya diisi dengan main PlayStation atau browsing internet.
Sesekali, antar jemput adik-adiknya yang sudah mulai sekolah lagi. Terlebih lagi Tare,
yang bersekolah di salah satu sekolah swasta Islami kenamaan di Jakarta, yang tidak
menganggap “"Tahun Baru Masehi"”. Sekarang Tare bahkan sedang menjalani ulangan
umum.

Fabian sudah pandai merangkak dan mulai sering mengoceh. Betapa cepat waktu
berlalu. Perilaku Jingga juga sudah jauh, jauh membaik daripada ketika Langge untuk
pertama kalinya bertemu dengan anak itu. Sekarang Ia jauh lebih ekstrovert dan senang
bergaul dengan anak-anak yang lain, meskipun anak-anak itu usianya lebih muda
darinya.

Hari ini, seperti biasanya, Langge membawa berbagai macam kudapan untuk
anak-anak itu. Oppie, Reno dan anak-anak yang lain begitu senang melihatnya. Mereka
langsung berebutan ingin mengambil cokelat, kripik, dan lain-lainnya. Maklum, Rumah
Talitemali tidak pernah menyediakan makanan-makanan seperti itu. Hanya sebatas
makanan “"besar"”, yaitu nasi dan lauknya. Atau kadang-kadang mie maupun bihun
goreng.

Kadang-kadang, sukarelawan lain seringkali membawakan berbagai macam
makanan. Dari nasi goreng biasa, sampai pastel tutup untuk anak-anak itu. Mereka sama
perhatiannya dengan Langge. Mereka juga begitu dinanti-nantikan kehadirannya oleh
anak-anak itu. Mungkin, sama dengan Langge, orang-orang tersebut juga menganggap
Rumah Talitemali adalah “"rumah kedua"” mereka.

“"Jingga?"” panggil Langge, tatkala Ia sudah selesai membagi-bagikan kudapan-kudapan
yang Ia bawa tadi.

"“Ya, Kak?"
”
"“Dua minggu lagi Kakak mau ke Singapura,"” ujarnya, datar.

"“Mau jemput Putri Kalang ya?”"

Langge tersenyum tipis mendengarnya. “"Ya, boleh dibilang begitu. Dan Kakak
juga ada kerjaan di sana. Jingga tidak apa-apa kan Kakak tinggal sebentar? Kakak sekitar
1 atau 2 minggu di sana..."
”
Jingga segera setuju. "“Nggak apa kok".
”
"“Mau oleh-oleh apa dari sana nanti?"” tanya Langge, menggoda adik sepupunya
tersebut.

"“Hmmm... Gak mau oleh-oleh.”"

"“Jadi?”"

"“Jingga mau tinggal sama Kalang saja sepulang Kalang dari sana. Jingga mau
sekolah, Kalang. Ingin sekali.”"

Suara Jingga begitu tulus ketika mengatakannya, sampai-sampai Langge tidak
tega mendengarnya. Andai saja Ia anak perempuan, mungkin Ia sudah menangis terharu.
Langge menahan gejolak emosinya. Bagaimana bisa saya bawa dia ke rumah? Papa...?

"“Kenapa Kalang diam?”"

"“Nggak. Nggak apa-apa kok. Nanti Kakak bilang Papa ya? Bukan Papar kok,
Papa,"” jawab Langge.
 
Jingga mengangguk dengan senyum mengembang di bibirnya. Langge pun pulang
dengan emosi yang tidak karu-karuan.

Setibanya di rumah, selama seharian Langge memikirkan kata-kata Jingga pagi
tadi. Bahwa anak itu ingin tinggal bersamanya, di rumahnya, bersama keluarganya.
Bahwa anak itu ingin sekali bersekolah. Bahwa anak itu ingin bersama dirinya.

Keluarga yang mengadopsinya, boleh dibilang konservatif. Sangat, sangat
konservatif. Terutama ayahnya, yang cenderung tidak bisa menerima suatu perubahan.
Namun, mungkin, Ia tetap harus mencoba. Demi satu-satunya keluarga kandung yang
telah Ia miliki itu.

Jadi, saat makan malam Langge pikir adalah saat yang paling tepat untuk
mengutarakan hal yang sedang memenuhi kepalanya tersebut. Sejak makan malam
dimulai, tidak banyak topik yang dibicarakan. Baru membicarakan ulangan-ulangan yang
dijalani oleh Tare. Kebiasaan Papa. Beliau selalu menginterogasi anaknya yang sedang
ujian dan jawaban yang diharapkan beliau hanyalah: “"Iya, tadi ulangannya alhamdulillah
bisa, Pa.”" No ifs, ands or buts.

"“Papa, Langge bertemu dengan adik sepupu Langge. Jangan tanya bagaimana,
karena rumit banget. Tetapi bukti-buktinya otentik dan bisa digunakan untuk
membuktikan bahwa anak yang Langge maksud benar-benar adik sepupu Langge,"” Ia
memulai argumennya. Namun, jika disuruh berorasipun, Langge sanggup rasanya.

“"Teruskan,"” pinta ayahnya, tanpa sedikitpun menengok ke arah lawan bicara
beliau.

“"Namanya Jingga. Ibu biologis Langge bernama Cempaka, memiliki saudara
kembar bernama Bunga. Jingga ini adalah putri dari Bunga. Kakaknya sudah meninggal
karena kecelakaan, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ibunya, Bunga, sudah pergi.
Ayahnya seorang preman yang tukang judi, pemabuk dan suka memukulinya."

“"Ibu... ehm, biologis, Langge sudah bekerja sebagai TKW di Malaysia bersama
suaminya. Praktis Jingga tidak memiliki siapa-siapa."

“"Saat ini Ia tinggal di Rumah Talitemali meskipun usianya sudah sekitar 10-11
tahunan. Tadi siang Ia menemui Langge dan berharap bisa tinggal bersama keluarga
Langge, dan bersekolah lagi,"” terang Langge, panjang lebar.

Dalam lubuk hatinya, tentu saja Ia berdoa dengan amat sangat agar keluarganya
bisa menerima kedatangan Jingga. Entah adik-adiknya, ibunya dan ayahnya. Adikadiknya,
Vane dan Tare, tahu bahwa Langge bukanlah kakak kandung mereka. Tetapi,
tentu saja mereka tidak begitu peduli, mengingat Langge merupakan kakak yang baik
sekaligus menyenangkan bagi mereka, meskipun tidak setiap saat.
 
Yang sedang menjadi pertanyaan di kepala Langge, tentu saja, apakah seluruh
anggota keluarga mau menerima adiknya lebih baik dari saat mereka menerima dirinya?
Karena Ia kerap kali merasa bahwa Ia tidak punya siapa-siapa yang mendukungnya. Ia
tidak mau Jingga merasakan hal yang serupa.

“"Lalu?"” tanya Papa, tanpa terdengar antusias sama sekali.

"“Apakah keluarga ini bisa menerimanya dan membiayai hidupnya? Singkatnya,
apa Papa mau mengangkatnya sebagai anak? Kalau Langge sudah kerja nanti, Langge
akan coba menanggung biaya pendidikannya. Tapi kalau untuk sekarang, jujur saja
Langge belum sanggup. Kalau tidak sekarang dimulainya, kapan Ia bisa mulai sekolah?
Mana mungkin menunggu 6 atau 7 tahun lagi sampai Langge mendapat gelar dokter,
bukan?"” Panjang lebar. Jika tidak begitu, jika kalimat-kalimatnya tidak berentetan, cepat,
lugas dan lengkap, biasanya Papa akan memotong kalimatnya dan Langge gagal
mempersuasi dan mempropagandakan keinginannya.

“"Bagaimana menurut Mama?"” Papa malah melempar pertanyaan tersebut pada
Mama. Padahal, jelas-jelas yang merupakan kepala rumah tangga adalah Papa.

"“Tare mau punya adik cewek kok. Bosan main sama cowok terus,"” sahut Tare,
yang kemudian melanjutkan makan malamnya. Vane mengangkat bahunya sambil
tersenyum. Tandanya “"Vane setuju, tapi tergantung Mama Papa gimana".” Setelah
berpikir beberapa lama, akhirnya Mama menjawab juga.

“"Mama sih tidak keberatan. Jika itu adalah adik Langge, berarti dia anak Mama
juga, karena Langge adalah anak Mama. Hitung-hitung amal, Pa. Kita semua kan satu
keluarga. Kandung, adopsi, angkat, biologis, sepupu, Mama tidak peduli. Bukankah sejak
dulu Papa selalu mengajarkan pentingnya hubungan keluarga kepada anak-anak?"” ujar
Mama, diplomatis.

Berarti, dalam pertimbangan finansial, keluarga ini bisa menerima Jingga. Jika
hidup kami sepas-pasan itu, tentu saja Mama menolak “"mengangkat"” Jingga. Langge
sudah tahu tabiat Mama, di mana beliau tidak akan mengiyakan sesuatu yang tidak
sanggup Ia lakukan.


Papa tidak segera menyahut. Beliau memilih menyelesaikan makan malamnya
yang malam itu berupa spaghetti bolognaise yang dimasak oleh Tare dengan bantuan
Mama. Langge pun memilih untuk tidak bertanya dulu. Daripada nanti kena marah lagi?
 
Keesokan harinya
"“Van..."” panggil Langge kepada adiknya. Yang dipanggil hanya menyahut dengan
malas. Langge menghampiri anak itu, yang sedang berada di kamar. “"Mas pinjam HP lo
dong,"” sambungnya.

“"Hah? Buat apa? Gak ada deh bagi-bagi SMS,"” protes Vane.

“"Nggaklah, Van. Gue udah beli pulsa sendiri. Pulsa lo nyisa berapa?"” tanya
Langge kemudian.

“"Tiga setengah.”"

“"Ribu? Ya elah, gue kirain berapa. Ya udah, Mas pinjam... setengah jam. OK?”"

“"Iya, iya."” Vane melanjutkan kesibukannya bermain Winning Eleven di
PlayStation 2. Biasanya kakak-beradik itu bertanding, namun hari ini Langge sedang
malas. Kerja di majalah ternyata memang agak melelahkan. Meskipun cuma bantu-bantu,
tetap saja dikejar-kejar deadline, layaknya redaktur lainnya. Ia memilih satu cara yang
lain, untuk refreshing.

Setelah menekan beberapa nomor, barulah tersambung ke orang yang mau Ia
hubungi sejak lama. Tentu saja

“"Hey, Biet. Langge nih...”" sapanya.

"Hmmm? Hai... Ya ampun, Ngge. Kok baru nelfon sih? I miss you tau!"” kata
Ebiet. Entah mengapa, nada suaranya begitu lemas, meskipun sepertinya Ia berusaha agar
terdengar ceria di telinga Langge.

"“Kamu kenapa? Kok lemas gitu? Baru bangun ya?"” tanya Langge khawatir.

“"Hehe. Kenapa sih kamu selalu tahu aku kenapa? Aku kan jadi gak bisa cerita
kalau kamu sudah tahu kayak gitu. Iya nih, Ebiet lagi pilek. Sakit mulu nih, bulan lalu
panas tinggi…”... cerita Ebiet", panjang lebar.

Langge jadi merasa bersalah sudah menelepon, padahal Ia sudah bela-belain beli
voucher pulsa CDMA yang memang bisa dipakai untuk menelepon ke luar negeri.
Bahkan, sampai meminjam ponsel adiknya segala. Ternyata Ebiet sakit, dan teleponnya
sudah pasti mengganggu istirahat Ebiet. Ebiet hampir selalu bedrest kalau pilek, karena
penyakit yang satu itu di tubuhnya bisa berubah menjadi sangat akut.

“"Terus? Kamu gimana sekarang? Aduh, aku tahu, basa-basi gak penting. Tapi aku
gak tahu mau ngomong apa lagi. I, just, miss you too...”" tandasnya, jujur dan tulus.

“"Mungkin sebentar lagi mau tidur lagi. Lumayan, suara Langge jadi lullaby-ku.”"
Langge dapat merasa bahwa Ebiet sedang tersenyum manis di seberang sana. Kedengaran
dari suaranya.

“"Ah, suara Ebiet juga. Ya udah, Ebiet tidur ya? Maaf Langge teleponnya cuma
sebentar, biar Ebiet bisa istirahat. Nanti kita teleponan di Messenger deh ya?"” janji
Langge.

"“OK. Good night ya, Hon,"” kata Ebiet. Entah refleks, ataukah sengaja
menyisipkan hon dari honey di akhir kalimatnya.

You too. I love you so much, Biet.”"

"“I love you too, so much more, Langge.”"

“"Cepat sembuh ya...”"

Dan sambungan telepon itu pun berakhir dengan senyuman yang mengembang di
bibir mereka berdua, walaupun Langge tidak tahu bahwa di Singapura Ebiet juga sedang
tersenyum. Ia menyilang tanggal hari ini di kalender mejanya, menghitung-hitung berapa
hari lagi Ia akan berangkat untuk menemui sang pujaan hati dengan dalih menjadi
fotografer amatir.


Ia turun ke lantai bawah, karena ayahnya memanggil. Semoga ini berita baik.
Langge ingin segera membawa Jingga ke rumahnya.

“"Iya, Pa?"” tanya Langge, sesampainya di ruang keluarga. Ayahnya sedang
menonton siaran berita di TVRI. Beliau memang hampir tidak pernah memasang channel
selain TVRI dan MetroTV, karena program standar televisi belakangan ini hanyalah
sinetron yang katanya “"unggulan"” atau “"gala"”, infotainment dengan berita-berita panas
dan terpercaya, atau serial komedi ber-setting di perkampungan dengan nama tokoh
“"Eneng"”. Ah iya, satu lagi, fake reality shows.

“"Bagaimana kalau kamu bawa adik sepupumu itu ke sini saat hari libur? Supaya
kami bisa mengenalnya dahulu, nanti Papa putuskan untuk mengadopsinya atau tidak,”"
ujar ayahnya, to the point.

Langge kaget sekali mendengarnya, inginnya teriak, tapi takut dianggap tidak
sopan oleh keluarganya. Setelah beberapa kali inhaling dan exhaling nafasnya, Ia angkat
bicara lagi.

“"Wah, terima kasih banyak, Pa. Nanti saya bawa Jingga di hari libur.”"

* * *​
 
Singapore Overseas School, Siang Hari
"“Bisa ngerjain tugasnya kan?"” tanya Diaz. Ebiet hanya memberikan secarik kertas
berisi tugas Matematikanya kepada Diaz, tanpa mengatakan apa-apa.

Selain untuk mata pelajaran Arts, Ebiet juga mengambil program IB di semua
mata pelajaran, termsuk Math dan Science. Ia mungkin memang jagonya di Science,
tetapi tidak di Matematika. Entah mengapa, Matematika SMA rasanya sulit sekali untuk
Ia mengerti, apalagi karena diterangkan dalam Bahasa Inggris dan fully sesuai kurikulum
internasional. Dan Diazlah yang lebih pintar daripada Ebiet di pelajaran ini, apalagi
cowok itu juga mengambil kelas IB di bidang yang sama.

Tutoring. Suatu hal yang tidak Ia dapat melalui Langge. Bersama Langge, Ebiet
tidak pernah belajar. Ia hanya bisa tertawa, bahagia dan bersenang-senang bersama
cowok itu.

Ebiet menahan nafasnya ketika Diaz merapatkan posisi duduknya ke arah Ebiet di
kursi yang mereka duduki berdua itu. "“Yaz, where are you going for college?"” tanya
Ebiet, sekedar berbasa-basi belaka. Sekaligus ingin tahu, apakah ada kemungkinan Diaz
akan bersama di college yang sama dengannya atau tidak.

Yang dipanggil segera menengok. "“Hmmm. I dunno. Tokyo?"” Kemudian Ia
tertawa sendiri. "“Nah, ikut Papa saja. Bisa di NTU atau NUS, itu pun kalau keterima.
Atau di Universitas Indonesia juga tidak apa,"” sambung laki-laki itu kemudian. "“Kalau
kamu, mau di mana?”"

“"Aku juga belum tahu. Inginnya di NAFA, tetapi aku juga ingin sekali pulang ke
Indonesia,"” tukas Ebiet, dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Sedetik kemudian, Ia teringat Langgenya lagi.

“"Biet?”"

“"Yup?”"

“"Aishiteru...”"

Ebiet tidak menjawabnya. Ia tidak mau menjawabnya.
* * *​
 
"“Hi-Chan, I’m confused"...” Ebiet mengutarakan kegalauan hatinya pada
sahabatnya, Hitomi, yang lebih sering Ia panggil Hi-Chan. Malam ini, Hitomi sedang
berkunjung ke kondonya. Sejam yang lalu, tiba-tiba Ia datang sambil membawa beberapa
pak instant ramen untuk dimasak dan dimakan bersama di kondo. Selain Ebiet, Hitomi
juga mengenal teman-teman gadis itu di kondo, semisal Arnet dan lainnya.

“"What’s up? I bet it’s about Diaz, or ‘'your boyfriend'’ in Indonesia,"” tukas
Hitomi, sembari browsing di Facebook melalui laptop Ebiet. Di window lainnya, Ia
membuka situs astrologi, Hitomi memang rutin membaca daily horoscopes di sana. Tidak
untuk sepenuhnya dipercayai, hanya sekedar iseng-iseng saja.

What if... both?”"

“"Hahaha, as I guessed. Doshite"?” Ia mulai membuka-buka love horoscopes di
situs yang Ia kunjungi tersebut.

"“Diaz confessed his feeling, he said he loves me. It was even said in Japanese
language
!"” Ebiet bingung bukan main hari ini. Ia menyukai Diaz, tetapi tidak ingin jatuh
cinta pada cowok itu. Bagaimanapun juga, keimanan mereka berbeda. Lagipula, ada
Langge...

So what is the barrier?"” tembak Hitomi.

"“Hmmm... He’'s a Christian, we must not fall in love".”

“"Well, I’m an atheist. Faith definitely will never be a barrier in our friendship,
right
?"” jawab Hitomi. Ebiet mengangguk setuju, tapi...

"“But it’s different. I will never marry you, I will never need to break up with you. I
hate break-ups, goodbyes, farewells. I hate being in love...… It hurts you much
".”

I see something emotional there. What is the barrier? Is it faith, religion, or
simply... some boy in
Indonesia who'’s waiting for you?"” Hitomi lupa siapa nama pacar
Ebiet di Indonesia, tetapi Ia selalu mengerti bahwa sebenarnya Ebiet masih menyimpan
banyak perasaan terhadap cowok itu. Sangat banyak, sampai-sampai Hitomi bingung
mengapa Ebiet sempat-sempatnya membuka hatinya untuk Diaz.

Uhm... Yah... I still love him, but...”"

“"But? Why did you open your heart for someone else?”"

“"Because... Because... Because,"

“"I’m lonely",” jawab Ebiet, akhirnya. Jujur dari dalam hatinya. Ia memang sedikit
demi sedikit memberi harapan pada Diaz karena Ia kesepian, sementara Diaz selalu
memberinya kasih sayang yang penuh dan intens. Tidak seperti Langge yang sekarang
tidak ada bersamanya di Singapura.

Sebenarnya Ia tidak boleh mempersalahkan Langge, namun tetap saja,
sepeninggal Langge mengurus Jingga, sebenarnya Ebiet merasa begitu sendirian...

"“Kesepian bukan alasan yang tepat untuk mencoba mencintai seseorang. Sebentar
lagi kita lulus, dan kau akan kembali ke Indonesia. "You will meet him again, I believe
he’s still waiting for you. You just need to be patient, just like him... What’s his zodiac
sign anyway
? Ayo kita lihat love horoscopes-nya. Untuk iseng-iseng saja...”"

Ebiet menelaah saran dari Hitomi tersebut, sambil memberitahu bahwa zodiak
Langge adalah Cancer. Ebiet jarang membaca zodiak, Ia lebih senang membaca realita,
situasi yang sedang Ia alami, bukannya ramalan maupun khayalan. Karena itulah Ia
senang melukis, bukannya menulis. Ia selalu mau menggambarkan apa yang ada, apa
yang terjadi, apa yang Ia rasakan.

Langge sekarang tidak ada bersamanya, tetapi setiap mereka bersama, Ebiet
merasa benar-benar bahagia sepenuhnya. Ebiet merasa disayang, dimiliki, mendapat
pancaran pengertian yang tiada habis-habisnya dari cowok itu. Sayangnya, sekarang
Langge dan dirinya terpisah jarak yang relatif jauh.

“"Okay, Pisces with Cancer... Love horoscopes. You should read this before you
make your decision, although I know you will choose the right one
... Hmmm...”" Hitomi
memutar laptop tersebut agar Ebiet bisa membaca tulisan di dalamnya dengan mudah.

Pisces and Cancer – Compatibility Rank = 8 (10 is best).
They are both romantic, needs to love and be loved and can probably
communicate to each other without speaking or making facial gestures.
In fact they probably didn’t even read this because they already knew
they were meant to be together.

"See? No wonder you had never read love horoscopes, you both don’t talk much
over the phone, you love one another although you’re currently apart
. Masih mau
menghilangkan kesepian dengan Diaz atau menunggu satu semester lagi untuk bertemu
orang yang benar-benar mencintaimu? Kusarankan kau memilih yang kedua...”"
 
Last edited:
Back
Top