Mari kita kenali para sastrawan terkenal

Re: Mari kita kenali para penulis terkenal

Dorothea Ros Herliany (Penyair)

image003.jpg


Dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, tanggal 20 Oktober 1963. Sejak kecil Rosa (panggilan akrabnya) suka membaca, meski ia bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku. Ayahnya, A. Wim Sugito, ayahnya, seorang pegawai negeri sipil di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Ibunya, A. Louisye, seorang ibu rumah tangga. Kebiasaan membaca itu timbul karena ia sering main ke rumah tetangganya yang mempunyai banyak buku dan majalah.

“Dari sering membaca kemudian muncullah kemampuan untuk membuat cerita atau puisi,” ujar Rosa. Tulisan pertamanya yang berbentuk opini, dimuat di majalah Hai, ketika ia masih SMP. “Sejak saat itu semangat saya untuk menulis terus menggebu,” kenangnya. Bahkan cita-citanya menjadi psikolog ia tinggalkan.

Tamat dari SMA Stella Duce, Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (Universitas Sanata Dharma). Sewaktu kuliah keinginannya untuk menjadi penulis semakin mantap, apalagi di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, tempat Rosa kuliah, sering dilangsungkan berbagai lomba penulisan, latihan mengarang atau melakukan jenis kegiatan yang bersifat pengemukaan ekspresi. Hal ini membuat Rosa semakin terpacu menulis di media, puisi-puisinya muncul di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. “Waktu itu senangnya bukan main, karena itu bagi saya hal yang luar biasa,” tutur pengagum penyair dan penulis Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini.

Setelah tamat dari IKIP Sanata Dharma tahun 1987, ia sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.

Bersama suaminya, Andreas Dharmanto (damtoz) yang juga bergelut di bidang penulisan, sejak 1997, mengelola IndonesiaTera, yayasan yang bergerak di bidang penelitian, penerbitan, dan dokumentasi kebudayaan. Pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.

Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Kumpulan sajaknya yang memuat sajak Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.

Karya tulis ibu dari Regina Redaning dan Sabina Kencana Arimanin tan ini, telah dimuat di Heat (Australia, 1999), Secret Needs Words (Amerika Serikat), Archipel (Belanda, 2002), Generation Asia (Australia, 2002) Building A New Road (bahasa Jepang 2003 dan bahasa Korea 2004), Van Hoc Nuoc Ngoai (bahasa Vietnam 2004), The Seattle Review (Amerika Serikat, 2005) dan ASIA, Magazine of Asian Literature (Korea Selatan, 2007).


(Dari berbagai sumber)
 
Re: Mari kita kenali para penulis terkenal

Ali Akbar Navis atau A.A Navis (Cerpenis)

Aa_navis.jpg


Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih.

Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Kehidupan Pribadi

Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

Sebelum dikebumikan, sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademikus, dan masyarakat umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya; Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta penyair Rusli Marzuki Saria.

Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal, Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.


Buah Karya

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati
Si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Cerita Rakyat Sumbar (1994)
Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.



Pandangan-Pandangan A.A Navis

Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.

Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".


Karya Tulis

Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
Gerhana: novel (2004)
Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
Dermaga Lima Sekoci (2000)
Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
Surat dan Kenangan Haji (1994)
Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
Di Lintasan Mendung (1983)
Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
Kemarau (1967)
Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
Hudjan Panas (1963)
Robohnya Surau Kami (1955)


Sumber :
id.wikipedia.org
tokohindonesia.com
 
Last edited:
Re: Mari kita kenali para penulis terkenal

Akmal Nasery Basral

200px-Akmal_Nasery_Basral.JPG


Akmal Nasery Basral adalah wartawan dan sastrawan Indonesia. Kumpulan cerpen pertamanya Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (2006) yang terdiri dari 13 cerpen termasuk long-list Khatulistiwa Literary Award 2007. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Saat ini tinggal di Cibubur, Bekasi, bersama istri, Sylvia, dan ketiga putri mereka, Jihan, Aurora, Ayla.


Jurnalistik

Sebagai wartawan ia pernah bekerja untuk majalah berita mingguan Gatra (1994-1998), Gamma (1999), sebelum bekerja di majalah Tempo (2004-sekarang). Ia juga pendiri dan pemimpin redaksi majalah tren digital @-ha (2000-2001), serta MTV Trax (2002) yang kini menjadi Trax setelah kerjasama MRA Media Group, penerbit majalah itu, dengan MTV selesai.


Sastra

Sebagai sastrawan ia termasuk terlambat menerbitkan karya. Baru pada usia 37 tahun, novel pertamanya Imperia (2005) terbit, dilanjutkan dengan Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (2006), serta Naga Bonar (Jadi) 2 (2007), novel dari film box-office berjudul sama yang disutradarai aktor kawakan Deddy Mizwar. Berdasarkan informasi di sampul belakang Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku, saat ini Akmal sedang menyelesaikan novel Las Palabras de Amor, sebuah judul yang diambil dari salah satu lagu kelompok Queen, grup musik favoritnya.


Bibliografi

Seputar Pembaruan Tentang Islam, co-editor (non-fiksi, 1990).
Andai Ia Tahu: Kupas Tuntas Proses Pembuatan Film, penyunting pendamping (co-editor) (non-fiksi, 2003)
Kisah Kasih Negeri Pengantin, co-writer (non-fiksi, 2005)
Imperia, novel (2005)
Ada Seseorang di Kepalaku Yang Bukan Aku, kumpulan cerpen (2006)
Melodi Tanpa Do, skenario Film Televisi (FTV), ditayangkan Indosiar (2006)
Selasar Kenangan, penyunting penyelia, kumpulan cerpen mailing list Apresiasi Sastra (2006)
Nagabonar Jadi 2, novel adaptasi (2007)
Sang Pencerah, novel adaptasi (2010)



Karya Terjemahan

Million $$$ Baby (F.X. Toole), penyunting pendamping (co-editor) edisi Indonesia (2006)
The Sea (John Banville), penyunting edisi Indonesia (2007)
Akhenaten Adventure (P.B. Kerr), penyunting edisi Indonesia (2008)


Lain-lain

Di luar minatnya pada bidang jurnalistik dan sastra, Akmal Nasery Basral juga dikenal sebagai pengamat musik dan film Indonesia. Ia termasuk anggota awal tim sosialisasi Anugerah Musik Indonesia, sebuah penghargaan musik yang mengacu pada piala Grammy Award di Amerika Serikat. Ketika sosialisasi terhadap penghargaan utama bagi insan musik Indonesia ini dilakukan pada 1997, kalangan jurnalis diwakili oleh Akmal dan Bens Leo. Pada pergelaran AMI ke-10 (2006), Akmal ditunjuk sebagai ketua Tim Kategorisasi yang memformat ulang seluruh kategorisasi penghargaan.
Di bidang perfilman Akmal menjadi satu dari lima juri inti Festival Film Jakarta ke-2 (2007), bersama Alberthiene Endah, Ami Wahyu, Mayong Suryo Laksono, dan Yan Widjaya. Festival Film Jakarta adalah sebuah penghargaan yang sepenuhnya melibatkan wartawan film nasional sebagai pemilih awal. Sistem festival mengacu pada Golden Globe Award.
 
Acep ZamZam Noor

Acep-zam-zam-noor.gif


Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960; umur 51 tahun) adalah sastrawan Indonesia.


Keluarga

Acep adalah putra tertua dari K. H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatis dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. menikahi seorang santri bernama Euis Nurhayati dan dikaruniai 5 orang anak bernama Rebana Adawiyah, Imana Tahira, Diwan Masnawi, dan Abraham Kindi.


Karier

Acep menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya.


Karya

Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
The Poets Chant (antologi, 1995)
Aseano (antologi, 1995)
A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)
Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)



Penghargaan

Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000)
South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
Khatulistiwa Literary Award (2007)
 
Ahmadun Yosi Herfanda

AhmadunHerfanda.JPG


Ahmadun Yosi Herfanda atau juga ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH (lahir di Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1958; umur 53 tahun), adalah seorang penulis puisi, cerpen, dan esei dari Indonesia.
Ahmadun dikenal sebagai sastrawan Indonesia yang banyak menulis esei sastra dan sajak sufistik. Namun, penyair Indonesia dari generasi 1980-an ini juga banyak menulis sajak-sajak sosial-religius. Sementara, cerpen-cerpennya bergaya karikatural dengan tema-tema kritik sosial. Ia juga banyak menulis esei sastra.

Sejak menjadi mahasiswa, Ahmadun telah aktif sebagai editor dan jurnalis. Dimulai dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (1983-1999), lalu di Harian Yogya Post (1999-1992), Majalah Sarinah (bersama Korrie Layun Rampan, 1992-1993), dan terakhir di Harian Republika Jakarta (1993-2010). Di Republika ia lebih banyak dipercaya sebagai Redaktur Sastra, namun sempat juga menjadi Koordinator Desk Opini dan Budaya, serta Asisten Redaktur Pelaksana. Karier strukturalnya tidak begitu ia perhatikan, karena kesibukannya dalam menulis karya kreatif, mengelola acara-acara sastra, dan mengisi berbagai workshop, diskusi, pentas baca puisi, serta seminar sastra di berbagai kota di tanah air dan mancanegara. Dalam perjalanan karier terakhirnya (di Republika), aktivitas sastra memang lebih banyak menyedot kecintaannya daripada kerja jurnalistik.

Setelah sekitar 17 tahun menjadi wartawan (dengan inisial ayh) dan redaktur sastra Harian Republika, sejak Maret 2010 Ahmadun lebih aktif sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk periode 2010-2013. Ini adalah untuk kedua kalinya ia menjadi anggota DKJ. Tahun 2006 ia pernah terpilih menjadi anggota DKJ (untuk periode 2006-2010) namun hanya dijalaninya beberapa bulan dan mengundurkan diri. Sebagai sastrawan (penyair), ia sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya maupun menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan sastrawan serta diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasional.

Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, ia mendirikan Creative Writing Institute (CWI). Tahun 2007 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2010).

Tahun 2008 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Ahmadun juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat dan anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2010, bersama sejumlah sastrawan Jakarta, mendirikan Yayasan Sastra Indonesia -- Yayasan Cinta Sastra -- dan diamanati menjadi ketuanya. Saat ini ia juga sedang mengembangkan usaha jasa percetakan dan penerbitan buku dengan bendera Jakarta Publishing House -- PT Media Cipta Mandiri (MCM).


karya


Karya-karya Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Inggris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).

Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman" (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Beberapa buku karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain:

Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),
Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986),
Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990),
Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997),
Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997),
Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997),
Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),
Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004),
Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),
The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),
Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006),
Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).



Referensi

(Inggris) Curriculum Vitae Ahmadun Yosi Herfanda di situs Australia Indonesia Arts Alliance.
(Inggris) Amirrachman, Alpha Untirta tries to break 'literature deadlock'. The Jakarta Post, 5 Februari 2006.
(Inggris) Aveling, Harry, 2001, Secrets Need Words, USA, Ohio University.
(Inggris) Rampan, Korrie Layun, 2001, Angkatan 2000, Jakarta, PT Gramedia.
(Inggris) Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, 2004, Jakarta, Bening Publishing.
(Inggris) Herfanda, Ahmadun Yosi, The Warshipping Grass, 2004, Jakarta, Bening Publishing.
 
Amir Hamzah

Amir_hamzah_duke_of_langkat.jpg


Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.

Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).

Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.

Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
 
Back
Top