Kultur dan Sejarah Masjid

Dipi76

New member
Banda_Aceh%27s_Grand_Mosque%2C_Indonesia.jpg

Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Etimologi

Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".

Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata mezquita dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam bahasa Inggris secara luas.

Sejarah

Menara-menara, serta kubah masjid yang besar, seakan menjadi saksi betapa jayanya Islam pada kurun abad pertengahan. Masjid telah melalui serangkaian tahun-tahun terpanjang di sejarah hingga sekarang. Mulai dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Selama lebih dari 1000 tahun pula, arsitektur Masjid perlahan-lahan mulai menyesuaikan bangunan masjid dengan arsitektur modern.

Masjid pertama

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin.

Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia.

Penyebaran masjid

Masjid kemudian dibangun di daerah luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, Ibukota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid. Maka dari itu, Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara. Beberapa masjid di Kairo berfungsi sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan sebagai rumah sakit. Masjid di Sisilia dan Spanyol tidak menirukan desain arsitektur Visigoth, tetapi menirukan arsitektur bangsa Moor. Para ilmuwan kemudian memperkirakan bahwa bentuk bangunan pra-Islam kemudian diubah menjadi bentuk arsitektur Islam ala Andalus dan Magribi, seperti contoh lengkung tapal kuda di pintu-pintu masjid.

Masjid pertama di Cina berdiri pada abad ke 8 Masehi di Xi'an. Masjid Raya Xi'an, yang terakhir kali di rekonstruksi pada abad ke 18 Masehi, mengikuti arsitektur Cina. Masjid di bagian barat Cina seperti di daerah Xinjiang, mengikuti arsitektur Arab, dimana di masjid terdapat kubah dan menara. Sedangkan, di timur Cina, seperti di daerah Beijing, mengandung arsitektur Cina.


masjid-xian.jpg

Masjid Xian​

Masjid mulai masuk di daerah India pada abad ke 16 semasa kerajaan Mugal berkuasa. Masjid di India mempunyai karakteristik arsitektur masjid yang lain, seperti kubah yang berbentuk seperti bawang. Kubah jenis ini dapat dilihat di Masjid Jama, Delhi.

Masjid pertama kali didirikan di Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke 11 Masehi, dimana pada saat itu orang-orang Turki mulai masuk agama Islam. Beberapa masjid awal di Turki adalah Aya Sofya, dimana pada zaman Bizantium, bangunan Aya Sofya merupakan sebuah katedral. Kesultanan Utsmaniyah memiliki karakteristik arsitektur masjid yang unik, terdiri dari kubah yang besar, menara dan bagian luar gedung yang lapang. Masjid di Kesultanan Usmaniyah biasanya mengkolaborasikan tiang-tiang yang tinggi, jalur-jalur kecil di antara shaf-shaf, dan langit-langit yang tinggi, juga dengan menggabungkan mihrab dalam satu masjid. Sampai saat ini, Turki merupakan rumah dari masjid yang berciri khas arsitektur Utsmaniyah.

Secara bertahap, masjid masuk ke beberapa bagian di Eropa. Perkembangan jumlah masjid secara pesat mulai terlihat seabad yang lalu, ketika banyak imigran Muslim yang masuk ke Eropa. Kota-kota besar di Eropa, seperti Munich, London dan Paris memilki masjid yang besar dengan kubah dan menara. Masjid ini biasanya terletak di daerah urban sebagai pusat komunitas dan kegiatan sosial untuk para muslim di daerah tersebut. Walaupun begitu, seseorang dapat menemukan sebuah masjid di Eropa apabila di sekitar daerah tersebut ditinggali oleh kaum Muslim dalam jumlah yang cukup banyak. Masjid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke 20. Masjid yang pertama didirikan di Amerika Serikat adalah di daerah Cedar Rapids, Iowa yang dibangun pada kurun akhir 1920an. Bagaimanapun, semakin banyak imigran Muslim yang datang ke Amerika Serikat, terutama dari Asia Selatan, jumlah masjid di Amerika Serikat bertambah secara drastis. Dimana jumlah masjid pada waktu 1950 sekitar 2% dari jumlah masjid di Amerika Serikat, pada tahun 1980, 50% jumlah masjid di Amerika Serikat didirikan.

Perubahan tempat ibadah menjadi masjid

Omayyad_mosque.jpg

Masjid Ummayah

Menurut sejarawan Muslim, sebuah kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan dari penduduknya, maka pasukan Muslim memperbolehkan penduduk untuk tetap mempergunakan gereja dan sinagog mereka. Tapi, ada beberapa gereja dan sinagog yang beralih fungsi menjadi sebuah masjid dengan persetujuan dari tokoh agama setempat. Misal pada perubahan fungsi Masjid Umayyah, dimana khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik mengambil gereja Santo Yohannes pada tahun 705 dari Umat Kristiani. Kesultanan Utsmaniyah juga melakukan alih fungsi terhadap beberapa gereja, biara dan kapel di Istanbul, termasuk gereja terbesar Ayasofya yang diubah menjadi masjid, setelah kejatuhan kota Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad al-Fatih. Beberapa masjid lainnya juga didirikan di daerah suci milik Yahudi dan Kristen, seperti di Yerusalem. Penguasa Muslim di India juga membangun masjid hanya untuk memenuhi tugas mereka di bidang agama.

Sebaliknya, masjid juga dialih fungsikan menjadi tempat ibadah yang lain, seperti gereja. Hal ini dilakukan oleh umat Kristiani di Spanyol yang mengubah fungsi masjid di selatan Spanyol menjadi katedral, mengikuti keruntuhan kekuasaan Bani Umayyah di selatan Spanyol. Masjid Agung Kordoba sekarang dialih fungsikan menjadi sebuah gereja. Beberapa masjid di kawasan Semenanjung Iberia, Eropa Selatan dan India juga dialih fungsikan menjadi gereja atau pura setelah kekuasaan Islam tidak berkuasa lagi.

Arsitektur

Bentuk

Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat di Anatolia. Negara-negara yang kaya akan minyak biasanya membangun masjid yang megah dengan biaya yang besar dan pembangunannya dipimpin oleh arsitek non-Muslim yang dibantu oleh arsitek Muslim.

Arab-plan atau hypostyle adalah bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan dipelopori oleh Bani Umayyah. Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang dibangun pada sebuah dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam. Halaman di masjid sering digunakan untuk menampung jamaah pada hari Jumat. Beberapa masjid berbentuk hypostyle ayau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap datar diatasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang. Contoh masjid yang menggunakan bentuk hypostyle adalah Masjid Kordoba, di Kordoba, yang dibangun dengan 850 tiang. Beberapa masjid bergaya hypostyle memiliki atap melengkung yang memberikan keteduhan bagi jamaah di masjid. Masjid bergaya arab-plan mulai dibangun pada masa Abbasiyah dan Umayyah, tapi masjid bergaya arab-plan tidak terlalu disenangi.

Kesultanan Utsmaniyah kemudian memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di tengah pada abad ke-15 dan memiliki kubah yang besar, dimana kubah ini melingkupi sebagian besar area salat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah. Gaya ini sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan kubah besar.

Masjid gaya Iwan juga dikenal dengan bagian masjid yang dikubah. Gaya ini diambil dari arsitektur Iran pra-Islam.

Menara

Bentuk umum dari sebuah masjid adalah keberadaan menara. Menara asal katanya dari bahasa Arab "nar" yang artinya "api"( api di atas menara/lampu) yang terlihat dari kejauhan. Menara di masjid biasanya tinggi dan berada di bagian pojok dari kompleks masjid. Menara masjid tertinggi di dunia berada di Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko.

mh1.jpg

Masjid Hassan II​

Masjid-masjid pada zaman Nabi Muhammad tidak memiliki menara, dan hal ini mulai diterapkan oleh pengikut ajaran Wahabiyyah, yang melarang pembangunan menara dan menganggap menara tidak penting dalam kompleks masjid. Menara pertama kali dibangun di Basra pada tahun 665 sewaktu pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Muawiyah I, yang mendukung pembangunan menara masjid untuk menyaingi menara-menara lonceng pada gereja. Menara bertujuan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan.

Kubah

Kubah juga merupakan salah satu ciri khas dari sebuah masjid. Seiring waktu, kubah diperluas menjadi sama luas dengan tempat ibadah di bawahnya. Walaupun kebanyakan kubah memakai bentuk setengah bulat, masjid-masjid di daerah India dan Pakistan memakai kubah berbentuk bawang.

Tempat ibadah

Tempat ibadah atau ruang salat, tidak diberikan meja, atau kursi, sehingga memungkinkan para jamaah untuk mengisi shaf atau barisan-barisan yang ada di dalam ruang salat. Bagian ruang salat biasanya diberi kaligrafi dari potongan ayat Al-Qur'an untuk memperlihatkan keindahan agama Islam serta Al-Qur'an. Ruang salat mengarah ke arah Ka'bah, sebagai kiblat umat Islam. Di masjid juga terdapat mihrab dan mimbar. Mihrab adalah tempat imam memimpin salat, sedangkan mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah.

Tempat bersuci

Dalam komplek masjid, di dekat ruang salat, tersedia ruang untuk menyucikan diri, atau biasa disebut tempat wudhu. Di beberapa masjid kecil, kamar mandi digunakan sebagai tempat untuk berwudhu. Sedangkan di masjid tradisional, tempat wudhu biasanya sedikit terpisah dari bangunan masjid.



Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate] (Foto+Artikel)
"Theoretical Issues of Islamic Architecture", Foundation for Science Technology and Civilisation.
http://www.muslimheritage.com



-dipi-
 
Last edited:
Mungkin lebih bagus lagi kalau ditambahkan sejarah-sejarah dari beberapa mesjid terkenal, cik.
Seperti Masjidil Haram, Al Aqsa, mesjid Nabawi, Hagia Sophia dll.
 
Masjidil Haram

masjidil-haram.jpg

Satu di antara bangunan suci yang bersifat artistik dan bersejarah adalah Masjidil Haram. Masjid yang terletak di tengah-tengah kota Mekah dan dikelilingi beberapa bukit ini merupakan pembentukan kembali dan ikhtisar dari keselarasan, ketertiban, kedamaian alam semesta yang telah ditetapkan Allah SWT sebagai rumah peribadatan abadi kaum Muslim.

Konon, pada masa Rasulullah saw hingga Khalifah Abu Bakar, Masjidil Haram belum memiliki dinding di sekelilingnya. Besarnya pun belum sebesar sekarang ini, dan belum diberi penerangan lampu-lampu dari bahan bakar minyak zaitun di sekitar Baitullah (Ka'bah). Keadaan ini sudah sejak Nabi Ibrahim As, sampai suatu ketika Umar bin Khathab yang menjabat sebagai khalifah kedua membeli rumah-rumah yang ada dan berserakan di sekeliling Ka'bah. Oleh Umar rumah-rumah yang telah dibelinya itu, diruntuhkan untuk memperluas Masjidil Haram tersebut. Dan dibuatnya dinding pada sekeliling masjid, dengan ketinggian lebih rendah dari manusia. Di atas dinding-dinding masjid itu, diletakan lampu-lampu oleh Atabah bin Azrak untuk menerangi Masjidil Haram tersebut.

Pelebaran dan perluasan Masjidil Haram inipun dilanjutkan pula oleh Utsman bin Affan, karena semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun orang yang melakukan shalat di masjid itu. Oleh Utsman bin Affan, Masjidil Haram itu dibuatkan kamar-kamar bilik (ruang), yang dinamakan ruak, pada sekeliling masjid, untuk digunakan sebagai asrama.

Perluasan Masjidil Haram oleh Utsman bin Affan terjadi pada tahun 26 Hijriah, dan diteruskan oleh Abdullah bin Zubair cucu dari Abu Bakar pada tahun 75 Hijriah. Kemudian oleh Abdul Malik bin Marwan ditambah ketinggian masjid tersebut dengan perhiasan emas 50 karat pada tiap-tiap tiangnya.

Oleh Al-Walid, Masjidil Haram diperindah dengan ukiran yang terjalin antara kalimah dengan motif bunga. Pada beberapa tempat diberi dinding dari batu marmer dan batu pualam yang dipahat dengan seni yang tinggi. Maka Masjidil Haram pun menjadi tempat peribadatan yang ideal laksana gambaran nuansa Surgawi, karena dalam arsitektur Islam tak terdapat ketegangan. Bahkan, bangunan suci Islam selalu meletakan ketenangan dan kemuliaan sesuai dengan sifat batin alamiahnya ketimbang sesuatu yang bertentangan dengan sifat material yang ada.

Arsitektur Islami

Arsitektur Islam memanfaatkan sepenuhnya cahaya dan bayangan, kehangatan dan kesejukannya, angin dan sirkulasinya, air dan efek penyejukannya, tanah dan ciri-ciri isolatifnya serta sifat-sifat protektifnya terhadap cuaca. Jauh dari adanya percobaan untuk melawan dan menantang alam dan irama-iramanya, arsitertur Islam selalu selaras dengan lingkungan. Arsitektur Islam senantiasa melakukan perubahan sedikit mungkin untuk menciptakan lingkungan yang manusiawi, menjauhi pengingkaran titanis dan karya-karya artistiknya.

Kota Islami berkembang secara perlahan dari bumi, mempergunakan semaksimal mungkin sumber-sumber alam itu sendiri. Dan apabila ditinggalkan biasanya secara perlahan akan kembali lagi ke perut bumi. Arsitektur Islam ini bukan hanya menyatukan diri dalam paduan harmoni dan keutuhannya. Selain itu keselarasan ekologis dalam arsitektur Islam tradisional bukanlah kebijaksanaan ekologis yang asal-asalan, dan juga tidak berdasarkan pertimbangan ekonomis dalam pengertian modern, melainkan merupakan konsekuensi dan alam spiritualitas Islam.

Pada kenyataannya, harus ditekankan bahwa arsitektur suci Islam adalah sebuah kristalisasi dari spiritualitas Islam dan kunci untuk memahami spiritualitas ini. ruang yang terdapat di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya dalam wilayah kota Islami telah diciptakan untuk memberikan perlindungan dan tempat manusia dapat menikmati, melalui ke-agungan spiritualitas itu juga. Kedamaian serta keselarasan alam yang suci sebagai refleksi surga. Yaitu, surga yang terkandung dalam lubuk dan pusat keberadaan manusia yang menggemakan kehadiran Tuhan. Ini karena hati orang yang beriman adalah singgasana yang Maha Penyayang.

Dan semua ciri serta filosofi arsitektur Islam mewujud lewat kehadiran Masjidil Haram yang dibangun secara terus menerus oleh tokoh-tokoh umat Islam dari seluruh Dunia.

Tokoh Pembangun

Bila dirunut, beberapa tokoh yang terlibat dalam pembangunan Masjidil Haram adalah :
  • Ziad bin Abdullah Al'Harasith, pada 137 Hijriah, dan dia pula-lah yang mendirikan menara Bani Sahm.
  • Abu Ja'far Al'Mansyur, pada 140 Hijriah. Dialah yang menutup kembali dengan batu marmer saat Hajar Aswad agak sedikit keluar dari tempatnya semula, yang diselesaikan dengan hanya dalam satu malam saja.
  • Al'Mahdi, pada 161-167 Hijriah. Dia-lah yang menjadikan posisi Ka'bah terletak di tengah-tengah Masjidil Haram, dan membuat masjid tersebut dalam bentuk kebudayaan Islam yang sangat indah.
  • Harun Al'Rasyid Khalifah Mu'tadhid Al'Abbasi. Dia-lah yang memasukkan gedung bersejarah (Darun Nadwah) ke dalam Masjidil Haram.
  • Khalifah Al'Muktadir Billah yang memperluas bagian sebelah barat Masjidil Haram, dan pintu Ibrahim pada 376 Hijriah.
  • An'Nasir Hasan bin Nasir Muhammad bin Khalawun pada 760 Hijriah, dialah yang membuat tempat air minum.
  • Ali bin Umar, melakukan perbaikan pintu besar yang bernama : As-Salam, dan ia pulalah yang mewakafkan kitab-kitab untuk perpustakaan Masjidil Haram, pada 781 Hijriah.
  • Amir Zainal Abidin Al'Utsmani, mengadakan pembuatan pintu masjid dan perhiasannya, pancuran air dan perbaikan atap Ka'bah. Pada tanggal 28 Syawal 802 Hijriah (malam Sabtu) Masjidil Haram terbakar api (terjadi kebakaran), api berasal dari Rubat Nazir Al'Khas, letaknya dekat pintu Azurah di sebelah barat Masjidil Haram. Api membakar seluruh bagian barat masjid, kemudian pada 803 Hijriah diperbaiki oleh Amir Bessak Az-zahiri sampai 804 Hijriah.
  • Salim Khan, pada 979 Hijriah memperbaharui loteng dan kubah-kubah yang bundar dan indah seperti sekarang ini. kemudian dilanjutkan oleh Ahmad Bey, Muallim Muhammad Al'Mis'ri dan Sultan Murad.
  • Pada 1072 Hijriah dilanjutkan oleh Sulaiman Bey, yang saat itu menjabat sebagai Wali Jeddah dengan dana yang diberikan oleh Sultan Mesir, yakni Muhammad Kizlar Agha.

Setelah itu secara terus menerus, Masjidil Haram mengalami perbaikan dan penyempurnaan dari hampir semua penguasa Muslim dunia. Hingga akhirnya ketika keluarga Ibnu Saud berkuasa di Arab Saudi, tradisi menyempurnakan masjid ini pun ditangani langsung keluarga kerajaan tersebut.


Sumber:
Era Muslim
lelakibiasa.multiply.com



-dipi-
 
Masjid Al-Aqsa

masjid-al-aqsa.jpg

Masjid Al-Aqsa, juga ditulis Al-Aqsha, arti harfiah: "masjid terjauh") adalah salah satu tempat suci agama Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem Timur). Kompleks tempat masjid ini (di dalamnya juga termasuk Kubah Batu) dikenal oleh umat Islam dengan sebutan Al-Haram Asy-Syarif atau "tanah suci yang mulia". Tempat ini oleh umat Yahudi dan Kristen dikenal pula dengan sebutan Bait Suci, suatu tempat paling suci dalam agama Yahudi yang umumnya dipercaya merupakan tempat Bait Pertama dan Bait Kedua dahulu pernah berdiri.

Masjid Al-Aqsa secara luas dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. Muslim percaya bahwa Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Kitab-kitab hadist menjelaskan bahwa Muhammad mengajarkan umat Islam berkiblat ke arah Masjid Al-Aqsa (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat salat adalah Ka'bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang. Pengertian Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra' ayat 1) meliputi seluruh kawasan Al-Haram Asy-Syarif.

Masjid Al-Aqsa pada awalnya adalah rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tetapi telah diperbaiki dan dibangun kembali oleh khalifah Umayyah Abdul Malik dan diselesaikan oleh putranya Al-Walid pada tahun 705 Masehi. Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini. Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin merebut kembali kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania. Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada di bawah pengawasan Israel, tetapi masjid ini tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf Islam pimpinan orang Palestina.

Pembakaran Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania, meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.

Etimologi

Nama Masjid al-Aqsa bila diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, maka ia berarti "masjid terjauh". Nama ini berasal dari keterangan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mi'raj. Isra Mi'raj adalah perjalanan yang dilakukan Muhammad dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsa, dan kemudian naik ke surga. Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq. Istilah "terjauh" dalam hal ini digunakan dalam konteks yang berarti "terjauh dari Mekkah".

Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsa sesungguhnya tidak hanya masjid saja, melainkan juga area di sekitar bangunan itu yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), dimana area kompleks di sekitar masjid disebut sebagai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan bangunan masjid yang didirikan oleh Umar bin Khattab disebut sebagai Jami' Al-Aqsa atau Masjid Al-Aqsa.

Sejarah

Pra konstruksi

Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa lokasi. Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit. Konstruksi tiang-tiang kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi.

Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM. Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Justinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.

Konstruksi Umayyah

Tidak diketahui secara tepat kapan Masjid Al-Aqsa pertama kali dibangun dan siapa yang memerintahkan pembangunannya, namun dapat dipastikan bahwa pembangunannya dilakukan di masa awal pemerintahan Umayyah di Palestina. Berdasarkan kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestina pada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khattab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif berkapasitas 3.000 jamaah di suatu tempat di Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci). Bagaimanapun juga, Arculf mengunjungi Palestina di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa Muawiyah lah yang memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi. Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama renovasi di tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.

Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu. Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kita yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut. Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Al-Haram Asy-Syarif ("tanah suci yang mulia"), Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya. Namun demikian, seluruh Al-Haram Asy-Syarif itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat kompleks. Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok selatan Al-Haram Asy-Syarif, sebagai akses langsung menuju masjid. Adanya akses langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Al-Haram Asy-Syarif. Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Masjid Al-Aqsa yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Bukit Bait Suci yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.

Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Masjid Al-Aqsa selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan. Masjid Al-Aqsa yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.

Gempa bumi dan rekonstruksi

Pada tahun 746, Masjid Al-Aqsa rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas As-Saffah menggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar Al-Mansur pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi di tahun 774 kemudian merusak sebagian besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan masjid. Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad Al-Mahdi membangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya. Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu. Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al-Maqdisi mencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".

Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali dan merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi dari lima belas menjadi tujuh. Azh-Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.

Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan masjid, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, mesjid mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan lainnya. Para Ksatria Templar membangun pavilyun berkubah di sisi barat dan timur bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk kaum wanita dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum Islam.

Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Masjid Al-Aqsa. Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu baru selesai setelah ia wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Shalahuddin ke masjid pada bulan November 1187. Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al-Kamil Shaban menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.

Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi atau perbaikan besar atas masjid itu, namun mereka melakukan perbaikan pada Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci) secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasha (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua pembangunan adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan. Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.

Masa modern

Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin Al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Masjid al-Aqsa dan monumen-monumen di sekitarnya. Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatan lengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton.

Renovasi tersebut juga menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga. Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya. Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, namun masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.

Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Masjid Al-Aqsa, yang memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang rusak terbakar. Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat menyalahkan Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God. Ia berharap bahwa dengan membakar Masjid Al-Aqsa, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus, dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di Bukit Bait Suci. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi. Serangan terhadap Al-Aqsa disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islam pada tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.

Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.

Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka. Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.

Arsitektur

Bangunan Masjid Al-Aqsa berbentuk persegi, dan luasnya beserta area di sekitarnya adalah 144.000 m2, sehingga dapat menampung sampai dengan 400.000 jamaah. Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki (83 m), dan lebarnya 184 kaki (56 m), dan dapat menampung sampai 5.000 jamaah.

Kubah

Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Byzantium klasik, kubah Masjid Al-Aqsa menunjukkan ciri arsitektur Islam awal. Kubah yang asli dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, namun sekarang sudah tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali Azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah. Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983, aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.

Kubah Al-Aqsa adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850). Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kabakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio, yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.

Menara masjid

Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat. Menara pertama, dikenal sebagai Al-Fakhariyyah, dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah sultan Mamluk, Lajin. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah, dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat dua deret muqarnas (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazzin. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi, yang pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.

Ghawanima_Minaret-Aqsa.JPG

Menara kedua, yang dikenal dengan nama Al-Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut Al-Haram Asy-Syarif (Bukit Bait Suci) pada tahun 1297–98 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al-Khalili, atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter dan hampir seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas balkon muazzin. Karena struktur bangunannya yang kokoh, menara Al-Ghawanimah hampir tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri dengan bentuk hiasan menyerupai stalaktit. Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkon muazzin.

Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah, pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai Bab Al-Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Masjid Al-Aqsa. Menara ini, yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari batu. Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazzin terbaik melakukan azan dari menara ini, karena seruan azan pertama untuk setiap awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.

Menara terakhir dan yang paling terkenal adalah Bab Al-Asbat. Menara ini dibangun pada tahun 1367. Menara ini berupa poros batu silinder (dibangun kemudian di masa Utsmaniyah), yang berdiri di atas landasan berbentuk persegi panjang dari masa Mamluk, dan di terdapat formasi transisi yang berbentuk segitiga. Poros bangunan menyempit pada bagian balkon muazzin, dilengkapi beberapa jendela melingkar, serta pada bagian atasnya terdapat kubah berbentuk bulat. Kubah ini dibangun kembali setelah terjadinya gempa bumi Lembah Yordan 1927.

Di bagian timur masjid tidak terdapat menara karena dalam sejarah dahulu sangat sedikit penduduk di sisi tersebut, sehingga tidak diperlukan menara tambahan untuk menyerukan azan. Namun, Raja Abdullah II dari Yordania pada tahun 2006 mengumumkan keinginannya untuk membangun menara kelima yang menghadap ke Bukit Zaitun. Menara Raja Hussein ini nantinya direncanakan menjadi struktur bangunan tertinggi di Kota Tua Yerusalem.

Fasad dan serambi

Front_of_Al-Aqsa.jpg


Bagian depan (fasad) masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir. Di bagian muka terdapat bangunan pagar langkan (balustrade) berupa lorong-lorong beratap (arkade) dengan tiang-tiang kolom kecil. Tentara Salib merusak fasad ini ketika mereka memerintah Palestina, namun Ayyubiyah memperbaiki dan membangunnya kembali. Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan ubin pada dindingnya. Bahan bekas pakai yang digunakan untuk membangun lengkungan fasad antara lain termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari bangunan-bangunan Tentara Salib di Yerusalem. Terdapat empat belas lengkungan batu di sepanjang fasad, sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain yang sama. Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah pada fasad tersebut.

Sebuah bangunan serambi (bilik) terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada masa Perang Salib Pertama, namun Al-Muazzam kemenakan Shalahuddin adalah yang memerintahkan dibangunnya bangunan serambi itu sendiri pada tahun 1217.

Interior

Masjid Al-Aqsa memiliki tujuh buah lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung (hypostyle nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur pada bangunan masjid bagian selatan. Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah, dimana seperempatnya telah selesai direstorasi pada tahun 1924.

Saladin_Minbar-Aqsa.JPG

Ruangan dalam masjid memiliki 45 tiang kolom, 33 diantaranya terbuat dari marmer putih dan 12 lainnya dari batu. Barisan tiang kolom pada lorong-lorong tengah berbentuk kokoh dan kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan tinggi 54 cm, akan tetapi empat barisan tiang kolom lainnya memiliki ukuran yang lebih lebih proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda untuk bagian kepala tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh dan berdesain primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain gaya Korintus dan terbuat dari marmer putih Italia. Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk keranjang yang besar, sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah juga berbentuk keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional. Terdapat palang penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang satu dengan yang lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong sederhana dan berlapis selubung kayu dengan ukiran seadanya.

Banyak bagian masjid yang hanya dilabur kapur putih, tetapi bagian dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat di bawahnya penuh dengan dekorasi mozaik dan marmer. Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang seniman Italia pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang dilakukan pada masjid, setelah gempa bumi tahun 1927. Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.

Mimbar masjid dibuat oleh seorang pengrajin bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo atas perintah Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar tersebut dimaksudkan sebagai hadiah untuk masjid ketika Nuruddin membebaskan Yerusalem, dan pengerjaannya memakan waktu selama enam tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal ketika Tentara Salib masih memegang kendali atas Yerusalem, namun ketika Shalahuddin berhasil merebut kota itu pada tahun 1187, mimbar tersebut lalu dipasang. Struktur mimbar terbuat dari gading dan kayu yang dipahat secara hati-hati. Kaligrafi Arab dan desain-desain berbentuk geometris dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu mimbar tersebut. Setelah hancur karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar itu digantikan oleh mimbar lain yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan Al-Hussaini, kepala lembaga wakaf Islam yang bertanggung jawab atas Al-Aqsa, pada bulan Januari 2007 menyatakan bahwa akan dibuat sebuah mimbar baru, dan pada bulan Februari 2007 mimbar baru tersebut telah selesai dipasang. Desain mimbar baru ini dibuat oleh Jamil Badran berdasarkan replika yang seksama dari mimbar Shalahuddin, dan pengerjaannya diselesaikan oleh Badran dalam waktu lima tahun. Mimbar itu dikerjakan di Yordania selama empat tahun, dan para pengrajin menggunakan "metode kuno dalam pengukiran kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan pasak dan bukan paku, namun menggunakan pencitraan komputer untuk desain mimbarnya."

Air mancur tempat wudhu

el_cas.jpg

Air mancur tempat wudhu utama, yang bernama al-Kas ("mangkuk"), terletak di bagian utara yaitu antara masjid dan Kubah Batu. Para jamaah menggunakannya untuk wudhu, yaitu ritual pencucian wajah, lengan, rambut, telinga, dan kaki yang dilakukan umat Islam sebelum beribadah, termasuk di masjid. Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 709 pada masa pemerintahan Umayyah, tetapi antara tahun 1327-1328 Gubernur Tankiz memperbesarnya untuk dapat melayani lebih banyak jamaah. Meskipun pada awalnya air berasal dari Kolam Salomo yang ada di dekat Betlehem, saat ini air berasal dari pipa yang terhubung ke sumber air kota Yerusalem. Renovasi al-Kas pada abad ke-20 telah menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk batu.

Air Mancur Qasim Pasha dibangun di masa pemerintahan Utsmaniyah tahun 1526 dan terletak di sebelah utara masjid, yaitu pada serambi Kubah Batu. Air mancur ini sebelumnya juga pernah digunakan oleh para jamaah untuk wudhu dan minum sampai dengan tahun 1940-an, namun saat ini hanya berfungsi sebagai monumen saja.


Sumber:
"Al-Aqsa Mosque, Jerusalem". Atlas Travel and Tourist Agency.
Dome of the Rock and El-Aqsa Mosque, Chiffolo, Anthony F
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]




-dipi-
 
Masjid Nabawi


masjid-nabawi+%25285%2529.jpg

Jika Anda berkesempatan shalat di Masjid Nabawi di Madinah, tentu Anda tak kan pernah mengira bahwa masjid nan megah itu pada awalnya hanya sebuah masjid sederhana yang dibangun dengan material tanah liat; bertiang pohon kurma dan beratap pelepah pohon kurma. Itu pun lantaran di lahan hadiah beberapa penduduk anshar itu terdapat banyak pohon kurma yang sudah tua. Pondasi masjid hanya berupa cetakan tanah liat yang ditumpuk-tumpuk. Nabi sendirilah yang memimpin pembangunan masjid itu sekitar tahun 622 masehi silam.

Tata letak bangunan masjid memang sengaja dibuat mirip seperti tata bangunan rumah Nabi di Makkah, yang digunakan sebagai basis dakwah perjuangannya. Rumah Nabi di Mekkah itu berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter firkan (persegi) yang dikelilingi oleh dinding-dinding tembok dengan bahan baku tanah liat. Sebagaimana kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab pada masa itu, Nabi pun membuat sebuah pelataran besar di dalam lingkungan rumahnya. Pelataran itulah yang sering digunakan untuk menggelar syuro-syuro (rapat-rapat) bersama para sahabat seperjuangan.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah bentuk seperti itu pun dijadikan sebagai pola masjid di sana. Pola itu biasanya disebut pola hypostyle. Pada sisi selatan pelataran dibuatkan portico atau serambi beratap, yang ditopang oleh tiga deret tiang dari batang pohon palm. Di sanalah Nabi sering berdiskusi membicarakan masalah-masalah keagamaan dan kenegaraan serta memimpin shalat berjamaah dengan para sahabat. Dahulu, pada sisi itu pula terdapat sebuah mimbar kayu sebagai tempat bagi nabi untuk berkhutbah. Menurut berbagai riwayat, itulah mimbar pertama yang digunakan Nabi. Malahan, mimbar itu disebut-sebut sebagai poin sentral dari Masjid Nabawi, pada masa-masa awal.

Arsitektural Masjid di Zaman Nabi

Menurut catatan para arkeolog arsitektural, masjid yang dibangun pada zaman Nabi punya beberapa karakterisrik, yakni: memiliki shahn (pelataran gedung terbuka yang dikelilingi tembok) dan portico yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab Semit, seperti yang terdapat pada sebuih kuil kuno peninggalan abad ke-2 SM. Sebagai catatan, kuil itu juga memiliki sebuah aula peribadatan berbentuk persegi panjang dengan serambi portico dan bertiang banyak.

Boleh dibilang, struktur arsitektur asli Arab (arabesque) yang digunakan Nabi dalam masjidnya itu ternyata kemudian menjadi bentuk dan struktur masjid yang disukai di dunia muslim dari masa ke masa, khususnya di kawasan Maghribi, Afrika Tengah dan Masyriqi. Elemen shahn tadi, bahkan, kemudian menjadi salah satu ciri elemen arsitektural yang cukup menonjol dalam struktur arsitektur domestik, baik bangunan-bangunan berdimensi mewah maupun sederhana dalam sejarah arsitektur dunia Islam.

Pengembangan Masjid Nabawi

Masjid Nabawi pertama kali diperluas oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab dengan penambahan sebidang tanah di bagian utara. Selanjutnya, dilanjutkan semasa Utsman Ibn al-’Affan menjadi khalifah. Pembangunan tahap kedua ini berlangsung selama satu tahun (649-650 masehi).

Kemudian, pada masa Dinasti Umayyah berkuasa, Khalifah al-Walid memerintahkan para arsitek dan insinyur Arab melakukan perluasan dan restorasi fisik bangunan Masjid Nabi, istilah lain dari Masjid Nabawi. Walaupun pembangunan ini berskala besar, tapi khalifah tetap menghendaki agar struktur asli masjid tidak diubah: memiliki lapangan terbuka ber-portiko lengkap dengan mihrabnya.

Meski bentuk dasar aslinya dipertahankan, namun mihrab pada dinding bagian selatan (arah kiblat) akhirnya dimodifikasi melalui sentuhan kreasi tangan-tangan seniman ukir pada masa itu. Selain itu, para insinyur pelaksananya juga membangun minaret yang berfungsi sebagai tempat muazin melantunkan azan. Minaret, saat itu, dianggap sebagai unsur baru dalam arsitektur masjid.

Sepertinya, dalam melakukan modifikasi dan restorasi Masjid Nabawi, Khalifah al-Walid menggabungkan struktur arabesque dengan gaya bangunan peribadatan Byzantium. Selain itu, khalifah juga menggabungkan kamar-kamar ummahat al-mu’minin (para wanita-wanita bangsawan, baca: kepuntren, dalam konteks Jawa) sebagai bagian dari kompleks masjid. Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik juga dilakukan penambahan lahan seluas 2.369 meter firkan (meter persegi).

Masjid ini jelas memiliki kharisma tersendiri di mata para dinasti penguasa Islam. Hampir semua dinasti yang sedang berkuasa mengambil prakarsa untuk melakukan pemugaran masjid, seperti Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah; Sultan Qaitabai dari Dinasti al-Mamalik (Mamluk) yang membangun kubah di atas kamar Nabi; dan Sultan Mahmud II dari Dinasti Turki Utsmani. Pada tahun 1813, Sultan Mahmud II membangun kubah yang dibalut dengan timah dan dicat dengan warna hijau menggantikan kubah yang dibangun oleh Sultan Qaitabai.

Empat puluh delapan tahun kemudian (1861), Sultan Abdul Majid I—masih dari Dinasti Turki Utsmani—memerintahkan agar semua bangunan masjid diruntuhkan, kecuali kamar Nabi. Selanjutnya masjid dibangun kembali dengan perluasan hingga mencapai 1.293 meter firkan. Inilah, perluasan terakhir sebelum akhirnya Masjid Nabawi ditangani oleh pemerintah Arab Saudi.

Masa Kerajaan Arab Saudi

Ketika Raja Abdul Aziz, sang Raja Arab Saudi, diberi kehormatan untuk mengurusi Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi ia memberikan perhatian yang sangat besar kepada kedua masjid tersebut. Tatkala Raja mendapat laporan bahwa Masjid Nabawi sudah tidak mampu lagi menampung jama’ah shalat sehingga membuat jamaah terpaksa melakukan ibadah shalat di lorong-lorong dan jalan di sekitar masjid, Raja mengeluarkan instruksi untuk kembali melakukan perluasan masjid.

Proyek perluasan pun dilakukan selama empat tahun mulai Juli 1951 (Syawal 1370) hingga tahun 1955 (1375). Perluasan itu mencapai 12.271 meter firkan, terdiri atas: 6.247 meter firkan areal pembongkaran Sultan Abdul Masjid dan 6.024 meter firkan penambahan baru. Maka, luas masjid pun menjadi menjadi 16.327 meter firkan, sedangkan sisa bangunan yang dibangun semasa Dinasti Turki Utsmani hanya 4.056 meter firkan.

Kemudian, Raja Fahd pun turut andil melakukan perluasan masjid. Pada 5 Oktober 1984, perletakan batu pertama perluasan masjid berskala besar kembali dilaksanakan. Lantai dasar sisi utara, barat dan timur diperluas hingga 82.000 meter firkan sehingga bisa menampung 127.000 jama’ah. Juga, perluasan atap seluas 67.000 meter firkan berkapasitas 90.000 jama’ah. Setelah ditambahkan perluasan-perluasan pada bagian lain, total perluasan mencapai 165.000 meter firkan dengan kapasitas menjadi 257.000 jama’ah.

Kini, Masjid Nabawi memiliki 10 minaret (menara): masing-masing setinggi 105 meter ditambah ornamen tiang bulan sabit. Tinggi lantai dasar 12,55 m dan ruang bawah tanah setinggi 4 meter. Jumlah tiang masjid selama perluasan 2.104 tiang berdiameter 64 cm dengan jarak antartiang antara 6 meter sampai 18 meter yang membentuk serambi dan pelataran.

Hebatnya, masjid ini memiliki 27 kubah berteknologi tinggi, yang dapat dibuka secara elektrik untuk pengaturan kondisi udara alami dalam masjid. Seluruh kubah itu menaungi 18 x 18 meter firkan yang membentuk pelataran terbuka dalam masjid (tipe hipostyle). Tinggi kubah itu dari lantai atap mencapai 3,5 meter. Sedangkan dari lantai dasar 16,56 meter berdiameter 2,3 meter dan jari-jari tinggi 4 meter.

Sementara itu, pada makam Rasulullah terdapat gambar-gambar dekoratif bermotif bandul, lampu, masjid dan menara. Sambungan dekorasi ukiran kayu, marmer dan logam pada jendela, pintu, tiang, dikerjakan dengan sangat teliti dengan tingkat presisi yang sangat tinggi.

Masjid Nabawi telah mengalami banyak perluasan dan pembangunan oleh banyak penguasa. Namun, bentuk dasarnya tetap tak berubah: struktur hypostyle sebagai struktur arabesque. Struktur inilah yang dipakai masjid-masjid terkenal lain di dunia.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]
majlisdzikrullahpekojan.org



-dipi-
 
Masjid Quba

masjid-quba.jpg

Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw. pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa masjid Quba adalah mesjid yang dibangun atas dasar takwa (Surat At Taubah:108).

Masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah orang pertama yang membangun menara masjid ini. Sakarang renovasi masjid ini ditangani oleh keluarga Saud. Mengutip buku berjudul Sejarah Madinah Munawarah yang ditulis Dr Muhamad Ilyas Abdul Ghani, masjid Quba ini telah direnovasi dan diperluas pada masa Raja Fahd ibn Abdul Aziz pada 1986. Renovasi dan peluasan ini menelan biaya sebesar 90 juta riyal yang membuat masjid ini memiliki daya tampung hingga 20 ribu jamaah.

Meskipun sangat sederhana, masjid Quba boleh dianggap sebagai contoh bentuk dari pada masjid-masjid yang didirikan orang di kemudian hari. Bangunan yang sangat bersahaja itu sudah memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk pendirian masjid. Ia sudah mempunyai suatu ruang yang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya.

Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat sembahyang yang bertiang pohon korma, beratap datar dari pelepah dan daun korma, bercampurkan tanah liat. Di tengah-tengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian biasa disebut sahn, terdapat sebuah sumur tempat wudhu, mengambil air sembahyang. Kebersihan terjaga, cahaya matahari dan udara dapat masuk dengan leluasa.

Masjid ini memiliki 19 pintu. Dari 19 pintu itu terdapat tiga pintu utama dan 16 pintu. Tiga pintu utama berdaun pintu besar dan ini menjadi tempat masuk para jamaah ke dalam masjid. Dua pintu diperuntukkan untuk masuk para jamaah laki-laki sedangkan satu pintu lainnya sebagai pintu masuk jamaah perempuan. Diseberang ruang utama mesjid, terdapat ruangan yang dijadikan tempat belajar mengajar.


Sumber:
sejukkan-iman.blogspot.com
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]
masjidquba.org


-dipi-
 
Masjid Istana Schwetzingen (Jerman)

masjid_schwetzingen_100823212301.jpg


Sejarah mencatat, pada zaman Turki Utsmani (1300-1922), penyebaran Islam sudah masuk ke kawasan benua Eropa saat ini. Namun, Islam sendiri baru masuk Jerman pada tahun 1700-1800, diperkenalkan oleh para imigran asal Turki. Sehingga tidak mengherankan jika komunitas Muslim di Jerman kebanyakan adalah orang-orang keturunan Turki.

Perkembangan Islam di negara ini cukup pesat. Pada 1989, sensus yang dilakukan suatu organisasi Islam mencatat sekitar 10 ribu orang Jerman asli memeluk Islam. Pada 2006, jumlah penduduk Muslim di Jerman mencapai 3,3 juta jiwa atau sekitar empat persen dari populasi penduduk Jerman.

Dengan perkembang yang cukup pesat ini, sampai sekarang terdapat sekitar 2.500 masjid di Jerman, dan hanya 160 yang dikenal luas. Kendati demikian, tren pembangunan masjid baru di negeri ini sedang meningkat. Sedikitnya ada 200 masjid yang tengah dikonstruksi saat ini.

Keberadaan bangunan masjid di Jerman sudah ada sejak akhir abad ke-18. Tepatnya di Kota Schwetzingen, masjid pertama di Jerman dibangun. Pada 1740, Raja Frederick II, pemegang kekaisaran Roma dan Raja Yerusalem dan Sicilia berkata, ''Semua agama adalah sama dan baik, jika orang-orang yang memeluknya jujur, dan bila Turki datang kemari dan ingin tinggal di negara ini, maka kita akan dirikan bagi mereka masjid-masjid.''

Bangunan masjid pertama di Jerman ini cukup unik, karena lokasinya yang berada di dalam kompleks Istana Schwetzingen. Masjid Schwetzingen dibangun untuk menghormati toleransi. Tetapi tidak sedikit isu sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Schwetzingen menyebutkan bahwa masjid ini sengaja dibangun sebagai hadiah bagi salah satu istri raja yang berasal dari Turki dan beragama Islam.

Desas-desus lain yang juga berkembang luas di tengah masyarakat adalah bahwa salah satu bangsawan yang hidup di sini pada masa itu ada yang Muslim. Sayangnya, bangunan masjid ini sekarang tidak lagi digunakan sebagai tempat shalat. Kini, Masjid Schwetzingen hanya difungsikan sebagai bangunan bersejarah dan objek wisata, seperti halnya bangunan lainnya yang berada di dalam kompleks Istana Schwetzingen. Kecuali hari Senin, bangunan Masjid Schwetzingen terbuka bagi kunjungan masyarakat umum.

Dirancang dan dibangun pada tahun 1779 oleh arsitek berkebangsaan Perancis Nicolas de Pigage (1723-1796). Proses pembangunan kompleks Masjid Schwetzingen sendiri memakan waktu lima belas tahun lamanya (1779-1796).

Masjid Schwetzingen merupakan bangunan terbesar pertama yang mengedepankan gaya arsitektur oriental di sebuah negeri berbahasa Jerman. Pigage menggabungkan elemen-elemen dari arsitektur Islam Moor dengan eksotisme dari kisah-kisah dongeng Seribu Satu Malam.

Tak hanya sebatas itu. Oleh sang arsitek, Masjid Schwetzingen juga dirancang dan dibangun dengan menggunakan konsep taman. Karenanya masjid ini menjadi masjid taman pertama yang dibangun pada abad ke-18, dan hingga kini masih berdiri megah di kawasan Eropa. Taman yang berada di sekeliling bangunan masjid mengadopsi konsep taman-taman di Turki.

Pesona arsitektur Timur secara jelas sudah bisa ditangkap manakala pengunjung melihat bagian luar dari bangunan Masjid Schwetzingen. Pengaruh arsitektur Timur ini semakin tampak jelas, saat memasuki bagian tengah masjid, yang berbentuk kubah bundar, yang diapit oleh ruangan-ruangan berbentuk persegi. Gaya oriental juga tampak kental pada interior masjid, dengan penggunaan mosaik marmer pada lantai di ruang bagian tengah.

Bagian langit-langit masjid dihiasi dengan ornamen dari bahan plesteran. Di bagian tengah bangunan masjid ini terdapat ruangan khusus bagi para imam masjid. Keberadaan ruang khusus ini semakin memperkuat kesan bahwa bangunan ini pada masa lalu pernah difungsikan sebagai tempat ibadah.

Sedangkan permukaan dinding masjid bagian dalam dihiasi dengan lukisan dan sepuhan emas. Kutipan ayat-ayat Alquran bisa kita jumpai pada permukaan dinding masjid bagian luar dan di langit-langit kubah. Untuk mencapai bagian teras depan masjid, kita harus melewati sejumlah tiang pilar yang dari kejauhan tampak terlihat seperti memainkan siluet bayangan dan cahaya secara bergantian.

Seperti bangunan masjid lainnya yang dibangun pada masa pemerintahan Turki Utsmani, Masjid Schwetzingen juga dilengkapi dengan bangunan menara. Menara tersebut menghiasi kedua sisi bangunan masjid. Namun, sayangnya menara Masjid Schwetzingen ini tertutup bagi kunjungan wisatawan. Pengunjung tidak diperbolehkan untuk menaiki anak tangga yang menuju ke puncak menara.


Sumber: Republika



-dipi-
 
ya ngakperlu harus masjid megah dan bagus den kalau mau ke masjid

masjid itu rumah allah rmah yang paling indah dan tempat yang paling suci di bumi
 
Masjid Marcani


Nas1.jpg


Masjid Marcani merupakan sebuah masjid di Kazan, Rusia, dibangun tahun 1766-1770 oleh pihak pemerintahan Katarina yang Agung dan sumbangan penduduk kota. Setelah beberapa tahun penyiksaan terhadap Muslim di Kekaisaran Rusia, Masjid Marcani menjadi masjid pertama yang dibangun di Kazan. Merupakan masjid tertua di Tatarstan dan satu-satunya masjid di Kazan yang selamat dari pengepungan selama era Soviet.

Masjid dibangun dalam gaya arsitektur pertengahan Tatar digabung dengan gaya baroque provinsial. Diketahui bahwa arsiteknya Vasily Kaftyrev. Masjid terletak di Distrik Tatar Lama (Iske Tatar Bistase) di Kazan di tepi danau Qaban.

Masjid Marcani bertingkat dua dan memiliki dua ruangan. Interiornya dirancang dalam gaya Baroque Petersburg. Tahun 1861 pedagang I. G. Yunısov menyumbang tangga tambahan, dan tahun 1863 ia menyumbang perpanjangan mihrab dan jendela baru. Pada masa itu disebut masjid Yunısovs sesuai nama keluarganya. Pada 1885 pedagang Z. Gosmanov mendanai renovasi minaret. Pada 1887 pedagang W. Gizzatullin dan M. Walisin menambah balkon di minaret.

Nama masjid ini berasal dari pelajar Tatar Sihabetdin Marcani, yang bekerja sebagai imam sejak 1850.



Sumber:
Tatar encylopedia



-dipi-
 
Masjid Sunan Ampel


ampel8.jpeg

Masjid Sunan Ampel didirikan oleh Raden Achmad Rachmatullah pada tahun 1421, di dalam wilayah kerajaan Majapahit. Masjid ini dibangun dengan arsitektur Jawa kuno, dengan nuansa Arab yang kental. Raden Achmad Rachmatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Ampel wafat pada tahun 1481. Makamnya terletak di sebelah barat masjid. Hingga tahun 1905, Masjid Ampel adalah masjid terbesar kedua di Surabaya.

Di sekeliling masjid terdapat lima gapuro (pintu gerbang) yang merupakan simbol dari Rukun Islam. Dari arah selatan, tepatnya di Jalan Sasak terdapat pintu gerbang pertama yang bernama Gapuro Munggah. Gapura Munggah adalah simbol dari Rukun Islam yang kelima, yaitu Haji. Suasana Pasar Seng di sekitar Masjidil Haram dapat dijumpai di sekitar gapura ini, dengan adanya para pedagang yang menjual barang-barang seperti di Pasar Seng.

Setelah melewati Gapuro Munggah, pengunjung akan melewati Gapuro Poso (Puasa) yang terletak di sebelah selatan masjid. Gapuro Poso memberikan suasana pada bulan Ramadhan. Setelah melewati Gapuro Poso, kita akan masuk ke halaman masjid. Dari halaman ini tampak bangunan masjid yang megah dengan menara yang menjulang tinggi. Menara ini masih asli, sebagaimana dibangun oleh Sunan Ampel pada abad ke 14.

Gapuro berikutnya adalah Gapuro Ngamal (Beramal). Gapura ini menyimbolkan Rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat. Disini orang dapat bersodaqoh, dimana hasil sodaqoh yang diperoleh dipergunakan untuk perawatan dan biaya kebersihan masjid dan makam. Gapura berikutnya adalah Gapuro Madep yang letaknya persis di sebelah barat bangunan induk masjid. Gapura ini menyimbolkan Rukun Islam yang kedua, yaitu sholat dengan mengadap (madep) ke arah kiblat.

Gapura yang ke lima adalah Gapuro Paneksen, merupakan simbol dari Rukun Islam yang pertama yaitu Syahadat. Paneksen berarti ‘kesaksian‘, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Gapuro Paneksen merupakan pintu gerbang masuk ke makam.

Masjid dan makam Sunan Ampel merupakan bangunan tua bersejarah yang masih terpelihara dengan baik. Struktur bangunan dengan tiang-tiang penyangga berukuran besar dan tinggi yang terbuat dari kayu, juga arsitektur langit-langit yang kokoh memperlihatkan kekuatan bangunan ini melintasi zaman. Masjid ini menjadi tujuan wisata dan ziarah yang tak pernah sepi dari pengunjung.


Source



-dipi-
 
Masjid Gede Kauman


4714326462_f8f7604753.jpg

Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Gede Kauman ini terletak di sebelah barat Alun- Alun Utara yang secara simbolis merupakan transendensi untuk menunjukkan keberadaan Sultan, yaitu di samping pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalaga), juga sebagai sayidin panatagama khalifatulah (wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama (panatagama) di kasultanan.

Dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I oleh seorang arsitek bernama K. Wiryokusumo, masjid ini mempunyai pengulu pertama yaitu Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat. Seperti halnya masjid-masjid lain di Jawa, masjid ini beratap tumpang tiga dengan mustoko, masjid ini berdenah bujur sangkar, mempunyai serambi, pawestren, serta kolam di tiga sisi masjid. Namun beberapa keunikan yang dimiliki oleh masjid ini adalah mempunyai gapura depan dengan bentuk semar tinandu dan sepasang bangunan pagongan di halaman depan untuk tempat gamelan sekaten.

Masjid yang pernah dipugar akibat gempa bumi besar ini merupakan masjid jammi kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beibadah, upacara kesagamaan, pusat syiar agama, dan tempat penegaan tata hukum keagamaan.

Seluruh kompleks Masjid ini dikelilingi oleh pagar tembok tinggi di mana pada bagian utara terdapat Dalem Pengulon yaitu tempat tinggal serta kantor abdi dalem pengulu, serta di sebelah barat masjid terdapat beberapa makam yang diantaranya adalah makam Nyai Ahmad Dahlan. Abdi dalem pengulu inilah yang membawahi para abdi dalem bidang keagamaan lainnya, seperti abdi dalem pamethakan, suronoto, modin,

Kawasan di sekitar masjid merupakan kawasan pemukiman para santri ataupun ulama. Pemukiman tersebut lebih dikenal dengan nama Kauman dan Suronatan. Dalam perjalanan histories Yogyakarta, kehidupan religius di kampung tersebut menjadi inspirasi dan tempat yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan keagamaan Muhammadyah pada tahun 1912 M yang dipimpin oleh K.H.A. Dahlan.


Sumber:
Gudeg.net


-dipi-
 
Masjid Qiblatain Madinah

614px-Masjid_al-Qiblatain.jpg

Masjid Qiblatain (artinya: masjid dua kiblat) adalah salah satu masjid terkenal di Madinah. Masjid ini mula-mula dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah, karena masjid ini dibangun di atas bekas rumah Bani Salamah. Letaknya di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat Istana Raja ke jurusan Wadi Aqiq atau di atas sebuah bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah.

Sejarah

Pada permulaan Islam, orang melakukan salat dengan kiblat ke arah Baitul Maqdis (nama lain Masjidil Aqsha) di Yerusalem/Palestina. Baru belakangan turun wahyu kepada Rasulullah SAW untuk memindahkan kiblat ke arah Masjidil Haram di Mekkah.

Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah hari Senin bulan Rajab waktu dhuhur di Masjid Bani Salamah ini. Ketika itu Rasulullah SAW tengah salat dengan menghadap ke arah Masjidil Aqsha. Di tengah salat, tiba-tiba turunlah wahyu surat Al Baqarah ayat 144, yang artinya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Setelah turunnya ayat tersebut di atas, beliau menghentikan sementara salatnya, kemudian meneruskannya dengan memindahkan arah kiblat menghadap ke Masjidil Haram. Merujuk pada peristiwa tersebut, lalu masjid ini dinamakan Masjid Qiblatain, yang artinya masjid berkiblat dua.

Masjid Qiblatain telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pada 1987 Pemerintah Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Fahd melakukan perluasan, renovasi dan pembangunan konstruksi baru, namun tidak menghilangkan ciri khas masjid tersebut. Sebelumnya Sultan Sulaiman telah memugarnya di tahun 893 H atau 1543 M. Masjid Qiblatain merupakan salah satu tempat ziarah yang biasa dikunjungi jamaah haji dan umrah dari seluruh dunia.



Sumber:
Era Muslim
Wikipedia



-dipi-
 
Masjid Demak


ts

Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.

Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.

Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Fatah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah barat daya.

Keistimewaan

Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.

Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah.

Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreativitas masyarakat pada saat itu. Di samping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada saat itu, seperti joglo, memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.

Masjid Agung Demak berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro. Diperkirakan, bekas Keraton Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung dan alun-alun.

Di lingkungan Masjid Agung Demak ini terdapat sejumlah benda-benda peninggalan bersejarah, seperti Saka Tatal, Dhampar Kencana, Saka Majapahit, dan Maksurah. Di samping itu, di lingkungan masjid juga terdapat komplek makam sultan-sultan Demak dan para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:
  • Makam Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).
  • Makam Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo Bagus Mukmin).
  • Makam di sebelah barat Lasepuhan dan Kaneman, yang terdiri atas makam Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh.
  • Makam lainnya, seperti makam Syekh Maulana Maghribi, Pangeran Benowo, dan Singo Yudo.


Sumber:
Demakkab.go.id




-dipi-
 
Masjid Menara Kudus


masjidil-aqsha-kudus2.jpg

Sejarah mencatat masjid menara kudus berdiri pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi dengan nama Masjid Al-Aqsa. Tempat itu dinamakan sama dengan salah satu masjid di Palestina yang kini tetap menjadi perhatian internasional itu. Sesuai kajian sejarah, Ja`far Sodiq (dikenal sebagai Sunan Kudus) yang pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang kemudian diberi nama masjid Al-Aqsa di Kudus itu.

Belakangan justru masjid tersebut populer dengan panggilan Menara Kudus. Hal ini lantaran merujuk pada menara candi di sisi timur yang memakai arsitektur bercorak Hindu Majapahit.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memang dengan bijak para penyebar Islam menghargai tradisi leluhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al Quran. Sehingga, antara agama dan budaya setempat saling menopang dan saling mengisi. Agama tak berkembang tanpa wadah budaya dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama.

Keunikan bentuk masjid ini memang sulit dilupakan. Pasalnya, bentuk ini tak ada yang menyamai di seluruh dunia. Bentuk arsitekturalnya khas dan mempesona. Menurut salah seorang pengunjung, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, warga yang bermukim di Kudus tidak menyembelih binatang sapi, mengingat binatang tersebut dalam Hindu dihormati bagi pemeluknya. Mereka taat dan masih memegang wasiat Sunan Kudus.

Menurut sebuah laman, yang ditulis Bambang Setia Budi, bangunan menara Kudus mempunyai ketinggian 18 meter, berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar. Seluruh bangunan menggambarkan budaya khas Jawa-Hindu.

Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk.

Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Karena usianya, Masjid Menara Kudus menjadi perhatian para peneliti dan pelancong manca negara. Dalam berbagai laman ditemukan cerita bahwa masjid ini selain masih mempunyai kaitan historis dengan penganut Hindu masa Majapahit, juga punya hubungan historis dengan bangsa lainnya di dunia.

Suprapto, salah seorang pemerhati masjid ini menyebutkan lewat sebuah laman bahwa para ahli sejarah, peneliti, arkeolog, dan penulis buku sejarah kepurbakalaan, umumnya terfokus pada sejarah dan keunikan bentuk bangunannya saja.

Ternyata, kata dia, pernak-pernik Masjid Menara, terutama keramiknya, justru tak kalah menariknya dengan bangunan masjid. Lantas ia menceritakan temuan dua arkeolog asal Jepang, Sakai Takashi dan Takimoto Tadashi, yang meneliti dan menelusuri asal mula berbagai keramik di Masjid Menara tersebut. Hasilnya, dua di antara sekian banyak keramik yang menjadi semacam hiasan di Masjid Menara adalah buatan pabrik keramik di Vietnam abad ke-14 hingga ke-15.

Pabrik itu sudah cukup lama hilang dari peredaran. Sebaliknya, keramik buatan China masih terus berproduksi hingga sekarang. Salah satu penyebabnya, kualitas keramik buatan China lebih bagus. Namun, bukan semata-mata masalah kualitas yang ditelusuri Sakai dan Takimoto, melainkan berhubungan dengan agama dan peradaban. Warga Vietnam secara umum beragama Hindu dan Buddha. Sedangkan Sunan Kudus, pendiri Masjid Menara, adalah salah satu Wali Songo di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelusuran sementara mereka di sejumlah tempat bersejarah dan makam Wali Songo, keramik asal Vietnam pada saat itu paling banyak ditemukan. Ini sungguh menarik untuk ditelusuri.

Dua buah keramik buatan Vietnam di masjid tersebut, satu di antaranya menempel di atas “pintu” bagian utara. Bentuknya segi empat, dengan warna dasar putih, di bagian tengah berwarna sedikit kebiruan dengan motif bunga. Ini usianya paling tua, yaitu awal abad ke-14 atau sekitar tahun 1450.

Keramik satunya lagi menempel di “pintu” sebelah selatan, dengan bentuk lebih besar, lebih menarik, dan lebih didominasi warna biru dengan motif bunga. Umurnya lebih muda, yaitu sekitar menjelang atau awal abad ke-15. Keramik ini bermotif bunga yang “berbau” Vietnam dan bentuknya “berbau” Islam. Motif dan bentuk semacam ini bisa ditemukan di Istambul.




-dipi-
 
Back
Top