Aku dan Lily sama-sama menyukai Romeo and Juliet.
Novel karangan Shakespeare tersebut adalah topik pertama yang mendekatkan kami sehingga kami menyadari adanya perasaan yang lain…
Dan cinta pada pandangan pertama Lily… Gadis itu tahu pada awalnya aku hanya memanfaatkannya untuk bersenang-senang.
Tapi dia tidak peduli.
Dia memang begitu. Begitulah dia. Khas-nya.
Dia hanya tahu, Ia menyukaiku, Membutuhkanku, Menginginkanku melebihi yang ia sendiri duga.
Bahkan sekarangpun, Lily tidak peduli,
‘Siapapun kamu, Darimana kamu berasal, Apapun yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli, Selama kamu mencintaiku…’ Katanya mengutip lirik lagu boyband yang popular di era 90-an.
Lily entah sejak kapan menjadi sangat cemburuan.
Ia mengontrol setiap langkahku, Mempertanyakan kemana arah kepergianku,
Dengan siapa, Ada dimana,
Aku tahu ia menjadi semakin gila akan cintanya kepadaku. Sekarang ia tidak segan marah, Berteriak, Bahkan tidak bicara denganku berhari-hari –hal yang kutahu bagaimanapun malah akan menyakiti dirinya sendiri– mengacuhkan semua pesan dan telepon dariku.
Dengan segera aturan merebak disekitarku, Tidak boleh bicara tentang mantan. Tidak boleh bersikap ramah dengan gadis asing, Tidak boleh melakukan kegiatan ‘Have Fun’ tanpa kehadirannya disisiku.
Kadang sikap manjanya melewati batas akal sehat.
Memenjarakanku dalam ikatan yang manis yang tidak pernah ditunjukkannya kepada orang lain selain diriku.
Membuang semua imej gadis cantik, pintar dan dewasa yang melekat pada dirinya selama ini.
Dan aku ? Aku lebih gila lagi tentu saja.
Ya, Aku tidak merasa terbebani sedikitpun dengan sikap posesif Lily,
Aku menikmatinya, Berharap ia lebih terikat lagi padaku,
Karena hanya dengan perasaan inilah kami terhubung. Cara kami berkomunikasi.
“Kamu adalah milikku…”
Sehingga tidak ada lagi ‘Aku’. Tidak ada lagi ‘Kamu’. Yang ada hanya ‘Kita’.
Ia mengambil sesuatu, Kemudian ia memberikan lebih banyak lagi padaku.
Aku tidak masalah tidak bergaul, Tidak keberatan tidak punya teman.
Berbincang dengan Lily lebih mengasyikkan daripada ketika aku berbincang dengan sepuluh orang teman sebayaku.
Bahkan ditengah keramaian sekalipun, Aku merasa sepi tanpanya.
Tidak ada kekasih yang lebih sempurna daripadanya.
Tidak akan pernah ada.
Maka dari itu segala halangan didepan mata terasa begitu menyakitkan.
“Kemarin orang tuaku memanggilku,”
Aku berhenti mengunyah donatku untuk menyimaknya bicara,
Kami sedang berada diteras rumahku, Ketika ia datang, ia tidak mengucapkan sepatah katapun,
Tidak menanggapi canda ringanku seperti biasa,
Sehingga aku bertanya-tanya sendiri apakah ada yang salah.
“Tahun depan, Katanya aku hanya diberikan satu tahun kesempatan lagi,” Lily menggenggam erat tangannya sendiri. Terlihat gelisah.
“Setelah itu aku harus segera menikah…”
Tenggorokanku tercekat.
“Apa?”
Lily mengulangi kalimatnya.
Aku tidak tuli, Aku menyadari apa yang ia katakan, Mengerti maksud dari setiap kalimatnya.
Hanya aku tidak bisa mengerti…
Aku tidak mau mengerti…
Kupegang tangannya, Kuremas lembut,
“Maukah berjuang bersamaku?” Pintaku padanya.
Lily meneteskan air mata.
“Aku mau…” Lirihnya. Lagi. Menyembunyikan wajah dalam pelukanku seperti biasa.
Pelukanku, Rumahnya, Tempatnya pulang.
“Temanku pernah bertanya… Sampai kapan aku mau seperti ini…?”
Air mata Lily semakin deras.
“Jangan…tinggalkan aku” Ia mendekapku erat-erat seperti takut aku akan menghilang,
“Apa tidak bisa kita terus bersama apapun yang terjadi? Aku serakah, Yah, Karena aku memang serakah…”
Kupandangi wajah penuh ketakutan yang kumengerti itu,
“Hiduplah denganku…, Aku bersumpah akan membahagiakanmu, Aku akan memastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang membuatmu menderita, Aku akan melindungi Lily, Setiap hari akan bahagia…”
“Aku tidak akan bahagia…” Lily mencengkeram lenganku.”Jika aku harus membuang Ayah, Ibu, Saudara-saudaraku selamanya… Aku tidak akan pernah bisa bahagia dengan mengorbankan kebahagiaan mereka…”
Tidak, Tidak, Tidak,
Ayo, Otak pintarku, Pikirkan sesuatu,
Berpikirlah, Bodoh !
Dengan segenap perasaanku, Kudekap Lily erat-erat.
“Sudah sejauh apa?” Tanyaku berusaha tetap tenang.
Lily kelihatan ragu-ragu. “Orang tuaku… Orang tua kami sudah bertemu, Aku tidak… Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi… Aku…”
“Berapa lama lagi waktuku tersisa?” Potongku cepat. Enggan mendengar alasan bertele-tele.
“…Tahun depan…”
Aku mengerang nyaris tanpa suara.
“Aku juga berpikir suatu saat, Cepat atau lambat, Tunanganmu yang brengsek akan mengambilmu dariku,” Desahku penuh emosi. “Tapi pada saat itu, Aku akan sangat bangga, Memilikimu sepenuhnya dibelakangnya, Aku pasti akan datang dan datang lagi dalam kehidupanmu, Menggodamu, Walau itu artinya aku harus menjadi seorang lelaki jalang yang merusak rumah tangga orang lain…”
Lily menengadahkan kepalanya menatapku,
Menyentuh pipiku, Kedua matanya berkaca-kaca, Saat ia menggeleng kuat-kuat bulir-bulir bening di matanya jatuh.
Seakan setengah tidak mengizinkan, Seakan menyadarkanku bahwa aku sudah cukup menderita.
Aku sadar apa yang kuucapkan, Akupun tahu aku takkan sanggup…
Aku tidak akan sanggup. Tapi aku dengan bodohnya mau mencoba, Semakin lama semakin menyakiti diriku sendiri. Terjatuh kedalam lautan cinta yang tidak jelas mau membawaku kemana. Kapalku tersesat dan aku sendiri tahu tidak akan pernah ada pelabuhan. Selamanya.
Kubalas tatapannya dengan tatapan kekhawatiran yang sama.
Aku sendiri tidak tahu kapan aku akan lelah.
Selama ini, Aku tidak pernah merasa lelah…
Hey,
Aku dan Lily…
Kami sama-sama mengagumi kisah cinta terlarang yang diperjuangkan sepenuh hati hingga maut menjemput.
Dan yang mengejutkan adalah, Diantara kami, Sama sekali tidak pernah sekalipun mengucapkan gagasan ‘Berpisah’ Seperti seharusnya.
Aku dan Lily sama-sama menyukai cerita Romeo and Juliet.
Tapi kami tidak ingin berakhir sama seperti mereka.