Bls: Pengajian Majlis Dzikir Al-Hasany
Rabu, 28 Juli, perkumpulan Muballighin yang tergabung dalam satu wadah organisasi PEMTAS (Persatuan Muballighin Tangerang Selatan) dengan rutin mengadakan pengajian mingguan tiap hari rabu yang menghadirkan para muballighin dari berbagai aliran Islam yang ada di Ciputat, Tangsel.
Pengajian yang dihadiri oleh 16 orang muballigh kali ini membahas seputar tata pelaksanaan terhadap jenazah. Diharapkan dari pembahasan tersebut agar suatu saat jika mengalami atau menyaksikan penyelenggaraan jenazah dapat memberikan informasi dan menyikapi dengan kesepakatan yang dibahas hari ini. Dan tentu diskusi tersebut tidak terlepas dari rujukan kitab kuning yang menjadi telah menjadi pedoman ulama pada umumnya.
kitab kuning yang menjadi sumber pedoman dan rujukan dalam pembahasan
Muballighin hendaknya dapat menjadi imam dalam shalat jenazah. Disampaikan juga dalam pelafazan niat dalam shalat jenazah agar disuarakan agar dapat didengar oleh makmum yang masih awam. Selain itu juga pengucapan salam di akhir agar sampai tuntas (assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh).
Yang tidak kalah pentingnya adalah posisi imam terhadap jenazah. Beberapa pendapat yang ikhtilaf tentang posisi imam dihadapan jenazah, diantaranya adalah:
1. Imam di bagian kepala jenazah almarhum
2. Imam di bagian tengah jenazah almarhumah
3. Imam di bagian mana saja boleh
Pak H. Hasan Basry mengilustrasikan gelas air mineral sebagai posisi imam dan jenazah
Kesimpulan diambil, boleh dan dibenarkan cara apapun dengan patokan shalat ghaib dengan posisi dimanapun jenazah berada tetap boleh dishalatkan. Artinya, masalah posisi tidak dipersoalkan.
Ada pengalaman ketika Pak H. Hasan Basry pernah menshalatkan jenazah, ketika itu posisi beliau menurut beliau sudah benar, yaitu di bagian kepala jenazah yang terselimut keranda. Namun, tiba-tiba tubuh beliau diangkat oleh seorang sepuh dipindahkan posisinya ke bagian ujung keranda. Menurut pendapat beliau justru itu memposisikan jauh diatas kepala mayit, karena ujung keranda bukan posisi yang tepat untuk menentukan posisi kepala mayit.
Topik kemudian beralih lagi kepada persoalan penutup keranda, menurut Pak Hasan Basry, dulu jaman rasulullah ketika umat Islam masih sedikit jenazah dikerudungi dengan keranda, tapi untuk tradisi Islam di Makkah saat ini yang setiap waktu selalu ada prosesi shalat jenazah sudah tidak lagi menggunakan penutup keranda. Bahkan, untuk perlakuan terhadap jenazah non Muslim di Makkah tidak diperlakukan demikian, mayit dibuang ke gunung dan dibiarkan terjemur lalu dimakan binatang buas.
Selanjutnya ada laporan dari salah seorang muballigh yang menyampaikan bahwa penutup keranda tidak sebaiknya menggunakan asma Allah, karena tulisan tersebut terlalu suci untuk diletakkan diatas mayit (bangkai). Namun hal itu disanggah dan tidak terlarang oleh muballigh lain dengan catatan tidak untuk diinjak-injak sebagaimana perlakuan terhadap surat undangan yang berlaku di zaman kini, dimana tertuliskan ayat Al-Quraan kemudian dibuang tanpa ada rasa hormat.
Pembahasan yang merujuk pada kitab sunnat kunci dari penyelesaian masalah
Pembahasan juga berlanjut tentang bentuk pekuburan, sebaiknya kuburan tidak dibangun dengan keramik, karena akan menghapuskan sunnah. Yang dianjurkan adalah dengan memberikan sedikit gundukan bertujuan agar orang dapat berziarah.
Lantas ada yang menanyakan tentang pemberian amplop dari keluarga duka, apakah diperbolehkan menerima atau tidak. Jawaban dan kesepakatannya adalah tidak mengapa dan jangan melarang atau menolak orang bersedekah. Adapun yang dilarang adalah bila untuk penyelenggaraan tersebut dapat menyebabkan habisnya hak waris. Sebab, umumnya orang memberikan amplop dan acara makan pada saat berduka dikarenakan adanya kiriman dari warga yang melayat dan untuk memberikan sekadarnya shodaqoh lil mayit. Maka dari itu bagi para muballighin yang hadir dianjurkan untuk tidak memberikan amplop kepada pengurus, pelayat atau yang menshalatkan jenazah agar tidak dijadikan pedoman yang memberatkan masyarakat.
Dalam menyikapi perbedaan ketika mengalami atau menghadapi situasi shalat jenazah, dipesankan agar tidak mengeluarkan pendapat yang menyinggung perihal tata cara penyelenggaraan shalat jenazah yang berbeda-beda. Karena, semua cara itu memang ada contohnya dari rasulullah Saw.
Takbir dalam shalat jenazah disepakati dari yang dibuka dalam kitab kuning adalah arba’a, atau empat kali takbir. Takbir pertama adalah takbiratul ihrom dan kemudian takbir yang disusul dengan do’a bagi mayit. Takbir adalah rukun sedangkan mengangkat tangan adalah sunah, boleh dilakukan boleh tidak.