Re: [Cerbung] Serial Silat: Pendekar Hina Kelana by Jin Yong
Hina Kelana
Bab 3. Keajaiban di Kebun Sayur
Oleh Jin Yong
Cerita-cerita dan contoh yang dikemukakan ayahnya itu selalu dijadikan pedoman dan senantiasa berlaku waspada. Sebab itulah Cin-lam telah mengadakan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik dan tingkah laku para Piausu yang dia terima.
Begitulah, sesudah agak lama kemudian, dua tukang kawal tampak masuk dengan tergesa-gesa, mereka lantas melapor, “Congpiauthau, Su-piauthau juga ti … tidak diketemukan di tempat … di tempat yang sering dikunjunginya.”
Begitulah Cin-lam menjadi curiga, “Jangan-jangan Su-piauthau adalah mata-mata musuh yang sengaja diselundupkan ke sini, karena urusan sudah mulai menjalar, dia lantas meloloskan diri? Atau mungkin juga dia yang telah membunuh Pek Ji dan The-piauthau? Kalau tidak, buat apa mendadak dia menghilang?”
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar Tan-jit lagi berteriak, “Celaka! Wah, celaka! Su-piauthau tentu juga telah direnggut nyawanya oleh setan Sucwan yang jahat itu! Ai, sel … selanjutnya tentu akan menjadi giliranku! O, Congpiauthau, mohon … mohon engkau berdaya menyelamatkan jiwa hamba ini!”
Dengan muka pucat dan mewek-mewek, segera Tan Jit mendekati Cin-lam dan kembali akan berlutut lagi ke hadapan sang majikan.
Memangnya Cin-lam lagi kesal, ia menjadi dongkol melihat kelakuan Tan Jit, ia dorong orang yang menyebalkan itu, rupanya dorongannya agak keras sehingga Tan Jit menjerit kaget sampai sempoyongan ke belakang, “bluk”, akhirnya ia jatuh terduduk.
“Tan Jit, jangan ngaco-belo lagi sehingga membikin marah ayah saja,” bentak Peng-ci.
Dalam pada itu Cin-lam sendiri lagi jalan mondar-mandir di tengah ruangan sambil berunding pada dirinya sendiri, “Jikalau depakan ke belakang itu memang Pek-pian-yu-tui adanya, maka … maka naga-naganya orang itu sekalipun bukan anak murid Ih-koancu, tentu juga ada hubungannya dengan Jing-sia-pay.”
Setelah berpikir sejenak, diam-diam ia ambil keputusan. Katanya segera, “Coba panggil Cui-piausu dan Ki-piausu kemari!”
Kedua Piausu yang disebut itu adalah orang kepercayaan Cin-lam, pengalaman mereka luas, cara bekerjanya rajin. Ketika mengetahui Su-piauthau menghilang dan The-piauthau tewas mendadak, diam-diam mereka sudah tahu telah terjadi sesuatu, maka sebelumnya sudah siap di luar ruangan. Ketika mendengar panggilan Cin-lam, dengan segera mereka masuk ke dalam.
Kata Cui-piauthau, “Congpiauthau, mungkin ada sesuatu yang tak beres tentang menghilangnya Su-piauthau secara mendadak. Siokhe sudah pergi memeriksa kamarnya, dia tidak membawa sesuatu barang, bahkan di bawah bantalnya juga masih terdapat 29 tahil perak. Hal ini benar-benar rada aneh. Bukanlah aku sengaja mengusik urusan orang, tapi biasanya aku sudah menaruh perhatian pada tingkah laku Su-piauthau yang suka main sembunyi-sembunyi, hanya saja Siokhe belum mendapatkan sesuatu kesalahannya.”
“Cui-piausu, coba silakan memanggil Tio-piauthau, Ciu-piauthau dan Ciang-piauthau, suruh mereka sekarang juga lekas menuju ke pintu utara untuk mengejar Su-piauthau, jika ketemu hendaklah menasihatkan dia supaya pulang saja, katakanlah betapa pun besar adanya urusan tentu akan kubereskan baginya.”
“Dan kalau dia berkeras tak mau pulang, apakah harus menggunakan kekerasan?” tanya Cui-piauthau.
“Su-piauthau adalah orang cerdik dan bisa melihat gelagat, jika dia melihat kita telah mengutus empat orang untuk mengejar dia, sepasang tangannya susah melawan delapan lengan, biarpun tidak suka, mau tak mau terpaksa ia akan ikut pulang dan dengan sendirinya tidak perlu menggunakan kekerasan lagi,” ujar Cin-lam. “Sebaliknya kalau kalian tidak menemukan dia, bolehlah kalian terus mampir di kantor-kantor cabang di Ciatkang, Kangsay dan lain-lain untuk menyampaikan pesanku agar mereka bantu mencegatnya di tengah jalan. Suruh mereka masing-masing mengambil persekot 100 tahil perak kepada kasir untuk biaya perjalanan.”
Cui-piauthau mengiakan dan segera pergi melaksanakan tugasnya. Biasanya dia tidak cocok dengan Su-piauthau, sudah tentu ia sangat senang melihat sang pemimpin sedemikian keras menguber Su-piauthau.
Cin-lam sendiri lantas menimbang-nimbang, “Orang Sucwan yang terbunuh ini sebenarnya siapa? Rasanya aku harus pergi memeriksanya sendiri.”
Ia tunggu setelah Cui-piauthau sudah kembali, lalu berkata, “Marilah kita pergi mengerjakan sesuatu. Cui dan Ki-piauthau, anak Peng dan Tan Jit boleh ikut sekalian.”
Mereka berlima lantas keluar pintu utara dengan berkuda, untung pintu gerbang kota itu belum ditutup.
“Warung arak yang mana, coba anak Peng menunjukkan jalannya di depan,” kata Cin-lam kemudian.
Segera Peng-ci mengeprak kudanya mendahului ke depan. Sebaliknya kaget Tan Jit tak terlukiskan, hampir-hampir ia terperosot jatuh dari atas kuda. Serunya, “He, kita hendak ke warung arak itu? Wah, Cong … Congpiauthau, betapa pun tempat setan itu jangan didatangi lagi. Setan … setan Sucwan itu tentu sudah menunggu di sana, lebih baik kita jangan … jangan mengantarkan nyawa!”
Cin-lam sangat mendongkol. Katanya, “Ki-piauthau, jika Tan Jit berani menyebut ‘setan’ lagi, kontan kau boleh mencambuk dia satu kali biar otaknya sedikit terang!”
Dengan tersenyum, Ki-piausu mengiakan. Ia angkat pecutnya dan menoleh ke arah Tan Jit, Katanya, “Nah, kau dengar tidak, Tan Jit?”
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di depan warung arak kecil itu. Tapi pintu warung ternyata tertutup rapat. Segera Peng-ci melangkah maju untuk mengetok pintu sambil berseru, “Sat-lothau! Sat-lothau! Lekas buka pintu!”
Meski sudah diketok sampai sekian lamanya, tenyata tidak ada suara jawaban sedikit pun dari dalam warung.
“Wah, kakek sial dan nona belang itu tentu … tentu juga sudah direnggut oleh setan ….” baru saja Tan Jit mengucapkan kata-kata terakhir itu, “tarr”, kontan cambuk Ki-piauthau sudah mampir di atas pundaknya.
“Biarpun kau menghajar aku juga tiada gunanya, aku … aku akan pulang duluan saja,” kata Tan Jit. “Lebih baik aku tidak bekerja daripada mengantarkan nyawa.”
Nyata dia lebih suka dipecat dari pekerjaan Piaukiok daripada merasa ketakutan dan ada kemungkinan akan terbinasa pula setiap saat.
Akan tetapi Ki-piauthau sudah lantas berkata padanya dengan suara tertahan, “Kau boleh pulang sendiri saja jika tidak takut setan gentayangan itu mencegat kau di tengah jalan.”
Keruan Tan Jit menjadi takut dan gusar pula, omelnya, “Dalam urusan begini juga kau masih bergurau padaku?”
Namun demikian ia menjadi tidak berani lagi pulang sendiri.
Karena pintu warung itu masih belum dibuka juga, Cui-piauthau memandang ke arah Lim Cin-lam sambil memberikan gerakan tangan mendobrak pintu.
Cin-lam mengangguk-angguk. Maka kedua tangan Cui-piauthau lantas menolak ke depan. “Krak”, palang pintu patah seketika, kedua daun pintu lantas terpentang ke belakang, tapi segera merapat kembali dengan cepat, kemudian terbuka lagi dan begitu seterusnya, membuka dan menutup sampai beberapa kali dengan mengeluarkan suara keriang-keriut yang menyeramkan di malam nan sunyi.
Begitu pintu terpentang, Cui-piauthau lantas menarik Peng-ci menyingkir ke samping. Sesudah tiada sesuatu yang mencurigakan, barulah mereka melangkah masuk mengetik api untuk menyulut pelita minyak yang berada di atas meja.
Luar-dalam warung itu mereka periksa semua, tapi tidak tampak seorang pun, segala perabotan di dalam rumah masih lengkap, tiada yang diboyong pergi.
“Mungkin kakek itu khawatir tersangkut perkara jiwa ini, apalagi mayat dikubur di kebun sayurnya, maka lekas-lekas ia telah kabur pergi,” kata Cin-lam. “Coba ambil cangkul, Tan Jit! Galilah mayat itu, ingin kuperiksanya.”
Coba kalau Tan Jit tidak menghormat dan segan kepada sang Congpiauthau, tentu dia sudah mengacir saja daripada tinggal di situ dan disuruh menggali mayat. Namun tidak urung ia ambilkan cangkul yang diminta setelah ragu-ragu sejenak.
“Cui-piauthau, Ki-piauthau, harap kalian bermurah hati, berdirilah di sisiku sini lebih dekat, semoga Buddha memberkahi istri-istri kalian melahirkan seorang anak laki-laki yang putih lagi gemuk,” demikian pinta Tan Jit.
“Kurang ajar!” semprot Cui-piauthau dengan tertawa. “Kau ini benar-benar sontoloyo, ucapanmu itu bukankah menganggap istri kami bergendak dengan orang lain? Sudah tiga tahun aku dan Ki-piausu tidak pernah pulang rumah, dari mana istriku dapat melahirkan anak laki-laki yang gemuk?”
“Ya, tapi … tapi ….” jika pada hari-hari biasa, tentu Tan Jit akan bicara panjang lebar lagi. Tapi sekarang karena hatinya berkebat-kebit, terpaksa ia angkat cangkul dan mulai menggali tempat yang siangnya baru saja dibuat mengubur mayat itu.
Lantaran merasa takut, maka belum berapa kali dia mencangkul, kaki dan tangannya sudah terasa lemas tak bertenaga seakan-akan terkulai lumpuh.
“Tak berguna!” omel Ki-piausu. “Begini saja ingin makan nasi pengawalan.”
Segera ia ambil cangkul itu dari tangan Tan Jit dan menyodorkan lampu kerudung padanya. Segera ia menggantikan mencangkul.
Tenaga Ki-piausu memang lebih kuat daripada Tan Jit, pula bekerja dengan sungguh-sungguh, maka tidak antara lama liang itu sudah dicangkul cukup dalam sehingga mulai kelihatan baju jenazah di dalam liang itu. Setelah mencangkul beberapa kali lagi, akhirnya ia gunakan cangkulnya untuk mencungkil mayat itu sehingga terangkat ke atas.
Cepat Tan Jit menoleh ke jurusan lain, ia tidak berani memandang mayat itu. Tapi lantas terdengar seruan kaget keempat orang. Saking takutnya, lampu kerudung di tangannya itu sampai jatuh sehingga kebun sayur itu seketika gelap gulita.
“Yang ditanam di sini sudah terang adalah orang Sucwan itu, mengapa … mengapa ….” demikian terdengar Peng-ci berkata dengan terputus-putus.
“Rupanya aku telah keliru menyalahkan dia!” kata Cin-lam. “Lekas sulut kembali lampu itu.”
Setelah Cui-piauthau mengetik api pula dan menyalakan lampu kerudung itu, lalu Cin-lam berjongkok untuk memeriksa jenazah. Selang sejenak berkatalah dia, “Badannya tiada terdapat tanda-tanda luka, kematiannya ternyata serupa.”
Tan Jit coba beranikan diri memandang ke arah mayat, tapi mendadak ia menjerit kaget, “Su-piauthau! Su-piauthau!”
Kiranya yang tergali itu adalah mayatnya Su-piauthau, sedangkan mayat orang Sucwan itu sudah menghilang entah ke mana.
“Kakek she Sat itu tentu ada sesuatu yang tidak beres,” kata Cin-lam. Segera ia sambar lampu kerudung terus lari ke dalam rumah untuk memeriksa pula. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja kursi, semuanya tidak terkecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan teliti. Tapi tetap tiada menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Sementara itu Cui dan Ki-piauthau bersama Peng-ci juga ikut memeriksa tempat lain. Sekonyong-konyong Peng-ci berseru, “He, ayah, coba lihat ini!”
Waktu Cin-lam menuju ke tempat arah suara, ternyata putranya berada di dalam kamar si gadis penjual arak, tangannya memegang sehelai saputangan warna hijau.
“Yah, hanya seorang nona dari keluarga miskin dari mana bisa memiliki benda begini?” kata Peng-ci.
Cin-lam coba mengambil saputangan itu, sayup-sayup terendus olehnya bau harum dari saputangan yang sangat halus dan terasa agak antap pula bobotnya. Nyata saputangan itu terbuat dari bahan sutera pilihan. Ketika diperiksa lebih cermat, tertampak tepi saputangan itu berlingkaran tiga garis benang hijau, pada suatu ujungnya tersulam setangkai bunga mawar kuning, rajin dan indah sekali sulaman itu.
“Dari mana datangnya saputangan ini?” tanya Cin-lam.
“Diketemukan di pojok kolong ranjang,” sahut Peng-ci. “Besar kemungkinan mereka pergi dengan tergesa-gesa dan waktu berbenah tidak melihat saputangan yang jatuh ini.”
Dengan membawa lampu kerudung Cin-lam lantas berjongkok untuk memeriksa kolong ranjang kalau-kalau ada barang lain lagi. Dan baru saja ia hendak berdiri kembali, sekilas tertampak dekat di pojok dinding sana ada sesuatu benda yang sangat kecil dan bersinar.
“Itu seperti ada sebutir mutiara, coba kau menjemputnya,” katanya kepada Peng-ci.
Segera Peng-ci merangkak ke bawah ranjang dan menjemput benda itu. “Ya, memang sebutir mutiara,” katanya sambil meletakkan benda kecil itu di tangan sang ayah.
Mutiara itu hanya sebesar kacang hijau saja, tapi bentuknya bulat licin dan mengeluarkan sinar yang mengilap. Sebagai seorang pengusaha Piaukiok yang telah sering mengawal benda-benda berharga, begitu lihat Cin-lam lantas tahu mutiara kecil ini tentu terlepas dari perhiasan sebangsa anting-anting atau kalung. Kalau melulu sebutir mutiara demikian sih tidak terlalu berharga, tapi kalau sebentuk perhiasan yang dirangkai dengan mutiara-mutiara berkualitas tinggi sebagai ini, maka nilainya tentu sukar diukur.
Sambil menggerakkan tangannya perlahan sehingga mutiara itu bergelindingan di telapak tangannya, Cin-lam merenung sejenak lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek, maka pakaiannya tentu juga tidak begitu bagus. Tapi dandanannya apakah sangat rajin dan bersih?”
“Waktu itu aku pun tidak memerhatikan dia,” sahut Peng-ci. “Tapi rasanya tidaklah buruk, sebab kalau sangat kotor tentu aku akan merasakannya waktu dia menuangkan arak bagiku.”
“Bagaimana pendapatmu, Lau Cui?” tanya Cin-lam kepada Cui-piauthau.
“Kukira kematian Su-piauthau dan The-piauthau tentu ada sangkut pautnya dengan kedua orang tua dan muda ini, besar kemungkinan merekalah yang mengganas,” sahut Cui-piauthau.
“Dan kedua orang Sucwan itu boleh jadi sekomplotan dengan mereka,” demikian Ki-piauthau ikut bicara. “Kalau tidak, buat apa mereka memindahkan mayat?”
“Tapi orang she Ih sudah terang main gila dan menggoda nona itu, kalau tidak, tentu aku pun takkan bertengkar dengan dia,” ujar Peng-ci. “Maka kukira mereka tidak mungkin adalah sekomplotan.”
“Dalam hal ini Siaupiauthau memang kurang berpengalaman, hati orang Kangouw kebanyakan palsu dan jahat, mereka sering pasang perangkap untuk menjerat lawannya,” demikian kata Cui-piauthau. “Misalnya dua orang sering pura-pura berkelahi agar pihak ketiga melerai mereka, tapi mendadak kedua orang yang berkelahi itu bisa berbalik mengerubut orang yang melerai mereka. Tapi biarlah kita tanya lebih jelas lagi kepada Tan Jit. He, Tan Jit! Ke mana kau? Lekas ke sini!”
Meski Ki-piauthau mengulangi lagi teriakannya, namun Tan Jit tetap tidak menjawab dan juga tidak muncul. “Kurang ajar! Sontoloyo Tan Jit ini, besar kemungkinan telah kelengar saking ketakutan.”
Ia coba menuju ke ruangan depan, bayangan Tan Jit tidak kelihatan, ia mencari lagi ke dapur, tetap tidak kelihatan batang hidung Tan Jit. Mau tak mau Cin-lam dan Peng-ci menjadi curiga juga, segera mereka pun keluar mencarinya.
“Mungkin dia takut setan, maka sudah pulang lebih dahulu,” kata Peng-ci.
“Jika demikian, besok juga kita suruh dia gulung tikar dan lekas enyah saja,” kata Cui-piauthau. “He, Tan Jit! Keparat, di mana kau? Tan Jit!”
Begitulah sambil berteriak dan memaki ia terus mencari ke kebun sayur. Sekonyong-konyong ia berteriak terlebih keras, “He, di … di manakah Su-piauthau?”
Cepat Cin-lam berlari ke kebun sayur sambil menjinjing lampu. Ternyata mayat Su-piauthau yang menggeletak di tepi liang kubur tadi sekarang sudah lenyap. Keruan kagetnya tak terkatakan, waktu ia menerangi sekitar situ, namun tiada tampak sesuatu jejak apa-apa.
“He, ayah, coba li … lihat itu!” tiba-tiba Peng-ci berteriak.
Waktu Cin-lam memandang ke arah yang ditunjuk, yaitu liang yang baru saja digali keluar mayat Su-piauthau, sekarang liang itu sudah teruruk rata lagi.
“Ya, ini benar-benar sangat aneh, apa barangkali si Tan Jit telah mengubur lagi mayat Su-piauthau ke dalam liang ini?” ujar Cin-lam dengan ragu-ragu.
Ia taruh lampu kerudung itu di samping, lalu ia pegang cangkul terus menggali dengan cepat. Tidak lama kemudian cangkulnya lantas menyentuh sesosok tubuh manusia yang masih lemas. Cepat ia mengeluarkan tanahnya sehingga tertampaklah baju mayat itu. Tapi ia lantas terkesiap. Ia ingat betul baju yang dipakai Su-piauthau berwarna biru, mengapa baju yang kelihatan ini berwarna hitam?
Lekas-lekas ia membersihkan tanah yang masih menutupi muka mayat itu. Tapi serentak keempat orang lantas menjerit kaget semua sambil melompat mundur.
Kiranya yang menggeletak di dalam liang kubur itu bukannya mayat Su-piauthau, tetapi adalah Tan Jit!
Sesudah tenangkan diri, segera Cin-lam menjambret baju dada Tan Jit terus diangkat ke atas. Ia coba meraba pipinya, terasa masih sedikit hangat. Waktu periksa napasnya, ternyata sudah putus. Dipegang nadinya, denyut jantungnya juga sudah berhenti.
Tanpa bicara lagi Cin-lam terus lolos pedang dari pinggangnya, sekali lompat ia lantas melayang lewat pagar kebun sayur yang tidak tinggi itu.
Walaupun sudah cukup lama Cui dan Ki-piausu bekerja pada Hok-wi-piaukiok, tapi belum pernah mereka menyaksikan Cin-lam menggunakan senjata. Sekali melihat gerakan Congpiauthau mereka yang gesit laksana kucing itu, diam-diam mereka terkejut dan kagum sekali.
Segera Cui-piauthau mengeluarkan juga senjatanya yang berbentuk tombak pendek berantai dan berkata kepada Peng-ci, “Siaupiauthau, musuh berada di sekitar sini saja, lekas siapkan pedangmu.”
Peng-ci mengangguk dan segera melolos pedang terus menerobos keluar melalui pintu depan. Di bawah cahaya bintang kelap-kelip yang remang-remang tertampak di atas kuda putihnya yang tertambat di patok kayu di depan warung itu seperti ada satu orang sedang menunggang binatang itu.
Cepat ia memburu maju sambil membentak, “Siapa kau?” berbareng dengan jurus “Liu-siang-kan-goat” (bintang meluncur memburu rembulan), pedangnya terus menusuk ke arah orang itu. Tapi aneh, orang itu ternyata tidak bergerak sedikit pun.
Sementara itu ujung pedang Peng-ci sudah hampir mengenai dada orang itu, lekas ia mengerem senjatanya itu dan dengan batang pedang ia terus menyampuk saja, “plok”, kontan orang itu tersampuk jatuh dan terguling ke bawah kuda. Remang-remang kelihatan wajah orang itu kekuning-kuningan dan berkumis tikus, ternyata bukan lain dari mayat Su-piauthau.
Keruan Peng-ci terkejut dan cepat berseru, “Ayah, lekas kemari, ayah!”
Mendengar suaranya, cepat sekali Cin-lam dan kedua Piausu lantas memburu ke situ. “Sungguh kurang ajar sekali kaum pengecut itu!” jengek Cin-lam dengan tertawa dingin. Lalu ia berseru dengan suara lantang, “Orang kosen dari manakah yang berkunjung ke kota Hokciu ini? Jika seorang kesatria sejati, hayolah tampil ke muka, kenapa mesti main sembunyi-sembunyi dan berkelakar seperti ini?”
Berulang-ulang Cin-lam berseru dua-tiga kali, tapi tiada sesuatu jawaban apa-apa.
“Gerakan orang ini cepat sekali, kita hanya tinggal sebentar saja di dalam dan dia sudah sempat melakukan hal-hal sebanyak ini,” ujar Cui-piauthau dengan suara bisik-bisik.
“Mungkin lebih dari satu orang,” kata Cin-lam.
Tiba-tiba hatinya tergerak, segera ia jinjing lampu ke rumah dan memeriksa kembali kebun sayur tadi. Namun tanah di sekitar liang tadi sudah digali dan diuruk berulang kali, juga sudah kian kemari dibuat jalan orang, maka sukar untuk membedakan tapak kaki.
“Bagaimana pandangan Congpiauthau atas urusan ini?” tanya Cui-piauthau kemudian dengan suara tertahan.
“Sasaran yang dituju atas kedatangan si kakek dan si nona penjual arak ini tentulah diri kita,” sahut Cin-lam. “Cuma tidak tahu apakah mereka berdua pun sekomplotan dengan kedua orang Sucwan itu atau bukan?”
Tiba-tiba Peng-ci menimbrung, “Ayah, katamu Ih-koancu dari Siang-hong-koan telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari, sekarang mereka … mereka kan juga empat orang?”
Ucapan ini menyadarkan Lim Cin-lam. Untuk sejenak ia terkesima dan termenung, kemudian berkata, “Hok-wi-piaukiok selamanya sangat menghormati Jing-sia-pay dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik pada mereka. Lalu sebab apakah Ih-koancu sengaja mengirim orang-orangnya ke sini untuk mencari perkara padaku?”
Begitulah mereka berempat hanya saling pandang dengan bingung dan tidak dapat bersuara. Sampai agak lama barulah Cin-lam berkata pula, “Coba pindahkan dahulu jenazah Su-piauthau ke dalam rumah. Tentang kejadian ini hendaklah jangan disiarkan kalau pulang di rumah supaya tidak diketahui pihak yang berwajib dan menimbulkan kesukaran lain lagi.”
“Prak”, dengan suara keras Cin-lam masukkan pedangnya ke sarungnya, lalu berkata, “Orang she Lim biasanya terlalu sungkan-sungkan kepada orang, tapi juga bukan kaum pengecut yang terima dihina dan dipukul sebelah kanan segera diberikan pula sebelah kiri.”
Cui dan Ki-piauthau saling pandang saja, mereka pikir peristiwa ini benar-benar telah menimbulkan kemarahan sang Congpiauthau. Segera Ki-piauthau berkata, “Harap Congpiauthau maklum, sekalipun musuh cukup lihai, namun Hok-wi-piaukiok kita juga bukan kaum lemah yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Kami sudah cukup menerima budi kebaikan Congpiauthau, bila ada kesukaran biarlah kita menghadapi bersama-sama, masakah kita dapat membiarkan nama baik Hok-wi-piaukiok kita dihancurkan orang dengan cara begini?”
“Ya, terima kasih pada maksud baikmu,” sahut Cin-lam sambil mengangguk.
Mereka lantas pulang ke dalam kota. Ketika sudah dekat dengan gedung perusahaan, dari jauh tertampaklah cahaya obor terang benderang, di depan pintu gedung itu berkerumun sejumlah orang.
Hati Cin-lam tergetar, cepat ia keprak kudanya ke depan. Didengarnya beberapa orang lantas berseru, “Itu dia, Congpiauthau sudah pulang!”
Dengan gesit Cin-lam melompat turun dari kudanya, dilihatnya sang istri dengan muka merah padam lantas memapak kedatangannya sambil berkata, “Coba kau lihat! Hm, sedemikian kurang ajar orang telah menghina kita!”
Ternyata di atas tanah melintang dua batang tiang bendera dengan dua helai bendera bersulam, terang adalah panji tanda perusahaan yang terpancang di depan Piaukiok itu, sekarang berikut setengah potong tiang benderanya telah dipatahkan orang.
Dari tempat patahnya tiang bendera yang tidak rajin itu Cin-lam yakin tentu bukan ditebas dengan senjata tajam, tetapi telah dipukul patah oleh tenaga pukulan. Padahal bulat tengah tiang bendera itu ada belasan senti besarnya, sekarang pihak musuh mampu mematahkannya dengan getaran tenaga pukulan, maka ilmu silatnya dapatlah dibayangkan dan benar-benar sangat mengejutkan.
Ia lihat sisa tiang bendera yang masih menegak di tempatnya itu masih dua-tiga meter tingginya, ia menduga untuk mematahkan tiang bendera itu orangnya harus memanjat ke atas. Dalam keadaan demikian sesungguhnya tidaklah mudah untuk mengerahkan tenaga.
Ong-hujin, istri Cin-lam itu tidak membawa senjata, segera ia melolos pedang dari pinggang sang suami, “sret-sret”, dua kali, ia potong kedua helai bendera itu dari tiangnya, digulung terus dibawa masuk ke dalam rumah.
“Cui-piauthau,” Cin-lam memberi perintah, “sisa kedua potong tiang bendera yang patah itu boleh dipenggal saja sekalian. Hm, tidaklah gampang jika ingin meruntuhkan Hok-wi-piaukiok!”
Cui-piauthau mengiakan dan pergi melakukan tugasnya.
Sedangkan Ki-piauthau lantas memaki, “Keparat! Kawanan bangsat itu adalah pengecut semua, di kala Congpiauthau tidak di rumah barulah mereka berani melakukan perbuatan yang rendah ini.”
Cin-lam lantas menggapai putranya, kedua orang sama-sama masuk ke dalam rumah. Di luar masih terdengar caci maki Ki-piauthau yang tak berhenti-henti.
Sampai di kamar sebelah timur, tertampak Ong-hujin telah membentang kedua helai panji bersulam itu di atas meja. Seketika Cin-lam menjadi murka demi melihat keadaan panji-panji itu. Ternyata lukisan singa pada sehelai panji itu kedua matanya telah dicungkil orang sehingga tinggal dua lubang kosong saja. Panji lain yang bertuliskan Hok-wi-piaukiok, huruf “Wi” juga telah dihapus oleh orang.
Melihat itu, betapa pun sabarnya Cin-lam juga tidak tahan lagi, mendadak ia menggebrak meja, “krak”, sebelah kaki meja itu sampai patah.
Selamanya Peng-ci tidak pernah menyaksikan ayahnya mengumbar marah, ia menjadi takut, katanya dengan suara gemetar, “Semuanya ga … gara-garaku, ayah! Akulah yang telah menimbulkan onar ini!”
Dengan suara keras Cin-lam menjawab, “Orang she Lim biarpun membunuh orang, habis mau apa? Manusia rendah macam itu andaikan kebentur di tangan ayahmu juga pasti sudah kubunuh juga!”
“Macam apa orang yang terbunuh?” tanya Ong-hujin.
“Coba ceritakan pada ibumu, anak Peng,” kata Cin-lam.
Maka Peng-ci lantas menguraikan apa yang sudah terjadi, tentang terbunuhnya orang Sucwan, menyusul Su-piauthau dan Tan Jit berturut-turut juga binasa secara aneh.
Tentang matinya The-piauthau dan Pek Ji secara mendadak itu sudah diketahui Ong-hujin, sekarang mendengar orang Piaukiok mati lagi dua orang, tidak kaget berbalik Ong-hujin malah gusar, ia gebrak meja sambil berbangkit, katanya, “Toako, masakah Hok-wi-piaukiok boleh sembarangan dihina orang? Marilah kita kumpulkan orang, besok juga kita lantas berangkat ke Sucwan untuk menuntut keadilan dan kebenaran pada pihak Jing-sia-pay. Sekalian kita nanti mengajak pula ayahku, para paman dan kakek untuk ikut serta.”
Kiranya watak Ong-hujin itu sejak kecil memang berangasan. Pada waktu gadisnya sedikit-sedikit ia pun suka berkelahi. Lantaran ilmu silat Kim-to-bun mereka memang terkenal, pengaruhnya juga besar, maka semua orang segan kepada ayahnya, yaitu Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa, dan suka mengalah padanya. Sekarang usianya sudah lanjut, putranya juga sudah dewasa, tapi sifat berangasannya ternyata masih belum hilang.
“Siapakah pihak lawan kita sementara ini masih belum pasti, juga belum tentu adalah Jing-sia-pay,” ujar Cin-lam. “Kukira mereka takkan berhenti sampai di sini saja dengan cuma mematahkan dua batang tiang bendera dan membunuh dua orang Piausu dan habis perkara ….”
“Memangnya mereka mau apa lagi?” sela Ong-hujin.
Cin-lam tidak menjawab lebih jauh, ia hanya memandang sekejap ke arah Peng-ci. Ong-hujin lantas paham maksud sang suami, seketika hatinya berdebar-debar, mukanya menjadi pucat pasi.
“Urusan ini adalah gara-gara perbuatan anak, seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, anak se … sedikit pun tidak gentar,” demikian Peng-ci ikut bicara.
Walaupun mulutnya bilang tidak gentar, tapi usianya masih terlalu muda, pula tidak berpengalaman apa-apa, mau tak mau hatinya merasa takut juga sehingga suaranya menjadi agak gemetar.
“Hm, boleh coba mereka mengganggu seujung rambutmu, kecuali mereka membunuh dahulu ibumu ini,” kata Ong-hujin. “Sudah tiga keturunan Hok-wi-piaukiok berdiri dan selamanya belum pernah tunduk pada siapa pun.”
Sampai di sini ia lantas berpaling kepada Lim Cin-lam dan berkata pula, “Jika dendam ini tidak dibalas, untuk seterusnya kita pun tidak dapat menjadi manusia lagi.”
Cin-lam mengangguk, jawabnya, “Ya, aku akan kirim orang untuk menyelidiki keluar dan di dalam kota apakah terdapat orang Kangouw yang tak dikenal, akan kutambahi pula penjagaan di sekitar perusahaan. Sementara ini kau dan anak Peng boleh tunggu di sini saja, jangan membiarkan dia sembarangan keluar.”
“Ya, aku tahu,” sahut Ong-hujin.
Mereka suami istri cukup paham bahwa langkah musuh selanjutnya adalah putra mereka yang akan dijadikan sasaran. Sekarang musuh dalam keadaan gelap dan pihak sendiri di tempat yang terang, asal Peng-ci melangkah keluar Hok-wi-piaukiok setindak saja pasti akan mendatangkan malapetaka baginya.
Begitulah Cin-lam lantas mengumpulkan para Piausu di ruangan tengah, ia membagi tugas kepada mereka untuk menyelidiki dan menjaga tempat-tempat yang penting.
Sementara itu para Piausu sudah mendapat berita, bahwasanya tiang bendera Hok-wi-piaukiok telah dipatahkan orang, ini benar-benar merupakan suatu tamparan keras bagi mereka. Karena rasa tanggung jawab menghadapi musuh bersama itulah, maka sejak tadi-tadi mereka sudah berdandan ringkas dan siapkan senjata, asalkan mendapat perintah sang pemimpin serentak mereka akan bergerak semua.
Hati Cin-lam rada lega melihat persatuan di antara para anak buahnya untuk menghadapi musuh bersama. Setelah masuk ke ruangan dalam, katanya kepada putranya, “Anak Peng, badan ibumu beberapa hari terakhir ini kurang sehat, sekarang sedang menghadapi musuh pula, maka boleh kau tidur pada dipan di luar kamarku ini untuk melindungi ibumu.”
“Hah, masakah aku perlu ….” baru sekian Ong-hujin bicara, mendadak ia sadar maksud sang suami itu sebenarnya cuma pura-pura saja, yang betul justru mereka suami istri dapat melindungi putranya setiap saat. Sebab watak putranya itu diketahui angkuh dan tinggi hati, kalau terang-terangan suruh dia bernaung di bawah perlindungan ayah-bundanya, bukan mustahil dia malah merasa penasaran dan keluar untuk menantang pihak musuh, dan hal ini tentu akan sangat berbahaya. Dari itu cepat Ong-hujin lantas ganti suara, “Ya, betul juga. Anak Peng, kesehatan ibu beberapa hari terakhir ini memang terganggu, kaki dan tangan terasa lemas, mungkin penyakit encok kambuh lagi. Ayahmu sendiri perlu memimpin keadaan di luar dan tidak dapat mendampingi aku senantiasa, jika ada musuh menerobos ke dalam sini mungkin ibu tidak sanggup melawannya.”
“Baiklah, aku akan mengawani ibu di sini,” kata Peng-ci.
Begitulah malamnya Peng-ci lantas tidur di luar kamar ayah-bundanya. Cin-lam sengaja membuka pintu kamar dan menaruh senjata di samping bantal, sampai baju pun tidak dilepas, begitu pula sepatunya. Asalkan ada sesuatu tanda bahaya, segera juga dia akan melompat bangun untuk melabrak musuh.
Tapi malam itu ternyata lalu dengan aman tenteram tanpa terjadi sesuatu.
Besoknya pagi-pagi sekali sudah ada orang memanggil-manggil di luar jendela dengan suara tertahan, “Siaupiauthau! Siaupiauthau!”
Rupanya semalaman Peng-ci tak bisa tidur nyenyak, sewaktu fajar menyingsing dia baru saja pulas sehingga suara orang itu tidak dapat membangunkan dia.
Segera Cin-lam menanya, “Ada urusan apa itu?”
“Kuda … kuda putih Siaupiauthau itu sudah … sudah mati,” sahut orang yang di luar.
Sebenarnya kalau cuma kematian seekor kuda saja bagi perusahaan Piaukiok mereka adalah soal kecil. Tapi kuda putih itu adalah binatang tunggangan kesayangan Peng-ci. Maka begitu melihat bangkai kuda itu, cepat-cepat tukang piara kuda yang biasanya merawat kuda putih itu lantas datang melapor.
Dalam keadaan sadar tak sadar dan mata sepat, saat itu Peng-ci juga sudah mendusin, segera ia bangun sambil kucek-kucek matanya dan berseru, “Biar kupergi melihatnya.”
Cin-lam merasa kejadian ini pun agak ganjil, segera ia pun menyusul ke kandang kuda. Maka tertampaklah kuda putih itu sudah menggeletak tak bernyawa lagi di situ. Di atas badan binatang itu pun tiada terdapat sesuatu tanda luka apa-apa.
“Apakah semalam ada yang mendengar suara ringkikan kuda atau suara lain?” tanya Cin-lam.
“Tidak, tidak ada,” sahut si tukang kuda.
Cin-lam pegang tangan putranya dan berkata, “Tak perlu menyesal, biarlah ayah nanti suruh orang membelikan seekor kuda bagus yang lain bagimu.”
Sambil meraba-raba bangkai kuda, Peng-ci termangu-mangu sekian lamanya sambil meneteskan air mata.
Sekonyong-konyong seorang tukang kawal berlari masuk dengan napas terengah-engah, serunya terputus-putus, “Wah, celaka, Cong … Congpiauthau! Para … para Piauthau yang pergi itu ji … jiwanya telah direnggut semua oleh … oleh setan maut.”
“Apa katamu?!” tanya Cin-lam dan Peng-ci berbarengan dengan terkejut.
“Mati, mati semua!” demikian tukang kawal itu berteriak-teriak.
“Mati semua apa?” bentak Peng-ci dengan gusar, berbareng ia jambret baju leher orang itu sambil dientak-entakkan.
“Ya, Siaupiauthau, sudah mati!” kata pula si tukang kawal.
Mendengar ucapan “Siaupiauthau sudah mati” itu, Cin-lam merasa kata-kata itu membawa alamat tidak baik dan menyebalkan. Tapi kalau dia mendampratnya lantaran kata-kata itu saja rasanya terlalu dicari-cari.
Dalam pada itu terdengar suara riuh ramai pula di luar, ada yang sedang berseru, “Di manakah Congpiauthau? Lekas melaporkan kepada beliau!”
Dan ada juga yang berkata, “Wah, arwah jahat ini benar-benar sangat lihai, apa … apa daya kita sekarang?”
“Aku berada di sini! Ada urusan apa?” teriak Cin-lam.
Segera ada dua orang Piauthau dan tiga tukang kawal berlari masuk. Seorang di antara Piauthau itu lantas berkata, “Congpiauthau, kawan kita yang dikirim pergi itu tiada seorang pun yang pulang kembali.”
-dipi-