Sebelum daku bahas soal Cina-AFTA, kita lihat dulu secara G to G nya dulu.
Ekspor China ke Indonesia itu nilainya surplus, yang berarti dalam perdagangan G to G nya kita mengalami defisit terhadap China. Arti lebih lanjutnya, barang-barang produksi dari China lebih banyak masuk ke Indonesia daripada barang produksi Indonesia masuk ke China. Itu yang jadi perhatian pertama.
Perhatian yang kedua adalah soal waktu perjanjian ASEAN - China ini dibuat. Agreement ini ditandatangani sekitar 10 tahun yang lalu pada tahun 2001, dan pelaksanaannya baru tahun 2010. Dan ini berarti ada spare waktu sekitar 9 tahun lebih. Ketika hal ini dilakukan dengan "benar" free trade semacam ini akan sangat menguntungkan bagi kedua pihak. Apalagi dengan spare waktu yang sengaja dibuat. Jika pemerintah mengantisipasinya dengan baik, tentu nggak akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan banyak kalangan. Apa antisipasi itu? Pembangunan infrastruktur, deregulasi, debirokratisasi, penambahan nilai kredit, perubahan regulasi perpajakan dll. Tapi apa yang terjadi selama 9-10 tahun ini? Nothing special.
Yang ketiga adalah soal "lawan" kita, yaitu China. Di dalam negerinya sana investasi digenjot habis-habisan. Regulasi dibikin sangat mudah, birokrasi dipangkas dan pembangunan infrastruktur berlangsung gila-gilaan. Hasilnya adalah produk-produk masal bisa dihasilkan secara masive dengan ongkos produksi yang jauh sangat murah, dan itu berarti punya daya saing dari segi harga karena harga jualnyapun bisa ditekan habis.
Kondisi itu terbalik dengan yang terjadi pada kita. Ongkos produksi terlalu tinggi, karena banyak faktor. Infrastruktur yang belum memadai, proses regulasi yang bisa bikin penambangan biaya, belum lagi soal pungli dll. Daku sengaja nggak menyoroti soal upah buruh karena kita equal dengan China kalau dalam hal ini. Dan itu semua bikin harga jual juga nggak bisa ditekan.
Sekarang dengan berlangsungnya ACFTA ini, apa yang bisa kita tarik?
Produk China sudah sedari awal sangat bersaing dalam hal harga jual, ditambah dengan terbukanya pasar dan zero tarif, itu akan bisa mematikan produsen-produsen dalam negeri yang didominasi oleh usaha kecil dan menengah.
Itu dulu.