nurcahyo
New member
Sajogyo
APAKAH PERTUMBUHAN EKONOMI (YANG KITA DAMBAKAN) JUGA BERARTI BAHWA ANAK-ANAK KITA JUGA TUMBUH BAIK?
Jika mendapat undangan hadir dalam ?International Experts Seminar on Child Growth and Poverty? (di Hotel Hilton, Jakarta, 10-13 Nopember 2002), apakah itu berarti kita in ?pakar? (?expert?), paling tidak di bidang kemiskinan? Sebagai sosiolog yang mengamati pedesaan, karena ada ?koneksi? dengan Departemen Kesehatan (pernah mengajar di Akademi Gizi di Bogor), tahun 1972 kami sempat ditugasi oleh Menteri Kesehatan untuk melakukan studi evaluasi Program UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga atau ANP: Applied Nutrition Program). Kajian dan buku yang dihasilkan dibiayai oleh UNICEF, Jakarta dengan tugas lapang tahun 1972/73 di 8 propinsi di waktu musim kemarau panjang (waktu itu belum disebut El-Nino), melibatkan peneliti 5 kampus, di dua kampus melibatkan rekan dari kedokteran. Dan dalam survei atas k.l. 1000 rumah tangga, sempat diukur ?status pertumbuhan? si-anak (di bawah 5 tahun), memakai pita plastik, mengukur lingkar lengan atas (sebagai pengganti timbangan).
Setelah kajian itu menyusul kegiatan ber-eksperimen dalam lembaga baru: "taman gizi? di pedesaan, mendahului lembaga ?posyandu? beberapa Repelita kemudian. Dengan dikelola oleh suatu Panitia Pemuka ibu-ibu di desa, sejumlah ibu yang ada anak gizi kurang (di bawah 5 tahun) diminta berkumpul, berkala selama 3 bulan, disertai ?kursus? perihal ?anak sehat?, anatara lain dalam hal memilih makanan yang cukup dan baik mutunya. Untuk itu kami siapkan naskah Buku Pedoman Kader bersama dua dosen dari "Ilmu Kesejahteraan Keluarga?, nama lama di Fakultas Pertanian, IPB. Pada tiap pertemuan selalu ada contoh memasak suatu hidangan, lagi pula kami membagikan ?tepung kedele?, hasil proses pemanasan suhu tinggi, agar tepung kedele itu mudah dicernakan anak kecil. Tak lupa pula kami membagikan bibit kelapa asal Nias yang tumbuh cepat, ?genjah? untuk ditanam di pekarangan para ibu itu. Hampir 1000 bibit yang disebarkan, selama 3 tahun untuk sejumlah terbatas desa di sejumlah 5 kabupaten (empat di Jawa Barat). Jadi, memang hal ?pertumbuhan anak? pernah menjadi perhatian khusus di dalam kami mengkaji kemiskinan.
Kecuali ?koneksi? UNICEF di masa lalu itu, ada pula koneksi Bank Dunia, artinya perkenalan dengan Alan Berg dari Bank Dunia, ekonom, penulis buku berjudul ?Faktor Gizi? yang terjemahannya kami beri Kata Pengantar, disamping Kata Pengantar khusus oleh penulisnya. Waktu itu kami Ketua PERGIZI-PANGAN. Selanjutnya, perhatian (spesialisasi) hal gizi di IPB berkembang di Jurusan GMSK (Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga): ada dana berasal dari Proyek Bank Dunia yang dipakai membangun gedung Jurusan itu di kampus IPB, Darmaga.
Dari sejumlah selusin makalah di Hotel Hilton, 10-13 Nopember 2002 itu kasus-kasus pengukuran status gizi anak (umur-dini), yang dapat dibanding yaitu dari Indonesia (3), Honduras (Amerika Tengah), Thailand dan Afrika Selatan. Hanya ada dua makalah yang disumbang oleh ekonom, yaitu pada sesi awal dari Mubyarto (UGM) dan Tabor (pakar dari suatu lembaga internasional di Belanda), bersama 2 penulis Indonesia tapi tak hadir (HS Dillon dan H. Sawit). Dalam makalah singkat hal kemiskinan Mubyarto memberi gambaran hal kebijakan menanggulangi kemiskinan yang di Indonesia seakan-akan ?tak pernah serius dan konsisten? dari zaman ke zaman, selama masa Orde Baru. Dan dalam masa Krismon terakhir lebih banyak mengikuti anjuran dari pihak lembaga donor (hutang) berupa model ?JPS (Jaringan Pengaman Sosial)?. Ulasan itu berisi upaya memperkenalkan arti ?ekonomi rakyat? tapi karena di dalam ulasan bahasa Inggris istilah bukan terjemahan (?ekonomi rakyat?) dipakai sampai 5 kali (sekali menyebut ?ekonomi rakyat sector?), pembaca boleh bertanya apakah maksud penulis tercapai di kalangan pakar di luar ekonomi.
Makalah Tabor dkk berjudul ?Child growth, food insecurity and poverty in Indonesia? merupakan sumbangan pemikiran 3 ekonom yang sudah biasa mengupas masalah ketahanan pangan dari segi ekonomi. Secara singkat isi makalah itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
?Kemiskinan itu jauh lebih kompleks dari (yang diukur oleh) pendapatan rendah. Pertumbuhan ekonomi bisa sangat menentukan, tapi tak selalu dapat diandalkan dalam mengurangi kemiskinan. Bagaimana hasil pertumbuhan ekonomi itu terbagi di antara golongan si-miskin sangat tergantung dari cara si-miskin itu (khususnya perempuan miskin) dapat dilibatkan dan diberdayakan di dalam proses pertumbuhan (pembangunan) itu.
Dari satu bagan berjudul ?keterkaitan antara Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Pertumbuhan Si-Bayi? kita dapat baca:
1.
Disatu sisi ?serba-kaitan Ketahanan Pangan? (dari segi satuan rumahtangga) mencakup Keterjangkauan, Ketersediaan, Kecukupan dan Keberlanjutan Pangan yang bersama-sama menentukan ketersediaan dan distribusi pangan dalam rumahtangga
2.
Sisi lain ?serba Keterkaitan Kemiskinan? mencakup ?(peluang) membangun sumber pendapatan? yang terkait Distribusi Asset dan Akses Pasar dan menentukan Distribusi Pendapatan (segi ?ekonomi?) dan di lain pihak keterkaitan dengan ?Hubungan Kepemerintahan? yang terkait dengan Pemberdayaan dan dengan Akses pada Sumberdaya Publik. Keterkaitan Kemiskinan itu juga menentukan Ketersediaan dan Distribusi Pangan didalam rumahtangga. Dan kondisi inilah yang menentukan Status Pertumbuhan Si-Bayi dan anak-umur-dini, yang dapat menjadi sasaran suatu sistem Pemantauan Pertumbuhan Si-Bayi. Hasil pemantauan itu bermanfaat baik dalam memantau Kebijakan/Program Ketahanan Pangan maupun Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan.
Bagan ini lebih merujuk ke kondisi-kondisi yang lebih konkret dibanding satu bagan lain (asal dari Unicef, juga dirujuk oleh Tabor dkk) dimana gizi-salah dan kematian penyebab langsungnya adalah ?asupan pangan/diet tak cukup? dan ?terkena penyakit? dan di balik itu ada 3 hal penentu yaitu ?akses pada pangan tak cukup? dan ?pelayanan kesehatan kurang dan lingkungan tak sehat?, ditambah ?kurang pelayanan pada ibu dan anak?, terutama karena ?kurang pendidikan?. Di balik hal-hal ?penyebab? itu ada sejumlah 4 hal lain berlapis-lapis yang menjadi sumber penyebab dengan istilah-istilah yang umum sekali, yaitu ?kelembagaan formal dan non-formal?, ?superstruktur politik dan idiologi?, ?struktur ekonomi? dan ?sumberdaya potensial? pada ?akar?nya.
Masih ada bagan ketiga yang diacu Tabor dkk, berjudul ?gizikurang di dalam siklus Kehidupan?, dimulai dari kondisi Perempuan/Ibu Mengandung ke Bayi yang lahir dan dibesarkan, jadi Anak dan Remaja, ditambah catatan kondisi Perempuan Lanjut-usia, masing-masing serba gizi-kurang/buruk. Perempuan yang gizikurang/buruk jika mengandung ditandai oleh pertambahan berat yang kurang dan kurang mampu dalam menyediakan gizi-dalam-kandungan pada Bayi yang dikandung, maka Bayi lahir dengan berat badan kurang (berisiko kematian-masih bayi, perkembangan mental terganggu dan jika mencapai usia dewasa berisiko penyakit kronis). Dari Bayi tumbuh menjadi Anak (umur-dini) pertumbuhan badan kurang, karena pola sapihan yang salah, terkena infeksi sedang pangan dan pelayanan kesehatan tak mencukupi, maka Anak tumbuh kerdil, selanjutnya kurang pangan, kesehatan dan asuhan menjadikan Remaja tumbuh kerdil pula. Selanjutnya dalam hal Perempuan, menjurus ke kondisi Perempuan Dewasa yang gizikurang dan di dalam mengalami kehamilan disertai risiko serba negatif itu (antara lain kematian didalam melahirkan). Dalam usia lanjut Perempuan gizikurang itu akan berkurang pula kemampuannya dalam mengasuh anak.
Bagaimana kita dapat bertindak dalam upaya memutuskan ?lingkaran setan? serba gizikurang itu? Dapat dicatat bahwa pernah Amartya Sen merujuk hal lingkaran malang antar-generasi itu dalam kaitan dengan sejumlah ?ke-bebas-an? yang diperlukan si-miskin agar dapat mengatasi kemiskinan mereka .
Dapat dicatat bahwa Seminar Pakar itu (undangan Bank Dunia dan UNICEF) memilih kebijakan agar kita lebih ?mendahulukan golongan Bayi? (umur kurang dari dua tahun), artinya bertindak lebih dini, berdasar ukuran pertumbuhan (tambahan berat badan yang mencukupi, sesuai umur dari bulan ke bulan). Hal itu berarti memperhatikan jumlah (populasi kasus) anak yang jauh lebih kecil dibanding jika memperhatikan total jumlah anak di bawah 5 tahun. Dalam hal Bayi-kurang dua tahun, makanan tambahan itu bisa disebut Makanan Pendamping ASI (Air Susu Ibu). Hanya yang kami persoalkan: bagaimana suatu keluarga miskin dapat kita dorong (didik) dan bantu dalam memperhatikan si-Bayi itu saja, jika juga mengasuh anak lain, gizikurang (dibawah 5 tahun) bahkan mungkin juga masih ada anak lewat umur 5 tahun yang tergolong tumbuh kerdil?
Mungkinkah ada ?peluang jawaban? dari pihak Komite Penanggulangan Kemiskinan yang telah bekerja selama setahun? Dari Buku Pedoman yang diterbitkan, hanya dibedakan antara (a) upaya menyediakan tambahan modal pada usaha si-miskin (tapi golongan ?pengusaha kecil dan menengah? juga tercakup!) (b) upaya lewat program lain yang bermaksud mengurangi ?beban rumahtangga? dalam hal pengeluaran yang belum dapat terjangkau si-miskin.
Apakah hal mengatasi gizi-kurang Bayi berarti satu peran besar bagi Pemerintah/ Negara? Di dalam era Otonomi Daerah ada peluang membagi tugas dan beban itu dibagi antara beragam aras Otonomi, dimana di aras terbawah adalah Komunitas Desa yang dilengkapi Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan, yang juga membuka peluang tumbuhnya beragam lembaga/organisasi yang dibentuk oleh warga desa untuk berbagai tujuan khusus. Jika data hal tinggi berat badan anak sekolah yang baru masuk SD di desa dapat menjadi ukuran ?Kemiskinan se-Desa? (dibanding desa lain), dalam hal pengukuran pertumbuhan berat badan si-Bayi (sampai umur 24 bulan) masyarakat se-Desa akan dapat menemukan siapa-siapa rumahtangga yang paling dulu perlu bantuan dan didikan dalam mengatasi gejala ?tumbuh kurang? si-Bayi (sesuai patokan). Paling tidak mencontoh kasus Kesehatan Masyarakat Pedesaan di Thailand, upaya mengukur tumbuhnya (berat badan) Si-Bayi itu sebaiknya berdasar tanggung-jawab masyarakat se-Desa, Otonomi Desa dalam bahasa kita. Dan inilah sedikit dari saran kami di seminar itu; didalam CBGMP (Community Based Growth Monitoring Promotion) penting kita memakai metode PLA (Participatory Learning and Action), untuk mencapai keputusan bersama oleh masyarakat desa itu. Hal ini menjadi dasar dari ?kontrak sosial? antara Otonomi Desa dan Otonomi Kabupaten/Kota, khususnya yang terkait pelayanan oleh PusKesMas, yang melakukan supervisi.
Di desa para ibu pengasuh Bayi Sehat dapat diajak dalam memberi konsultasi kepada ibu-ibu lain, pengasuh Bayi gizikurang. Pada umumnya juga diperlukan sejumlah kader (sukarelawati) dalam proses itu. Hal ini sekaligus peluang peningkatan peranan Perempuan di Desa, sampai ke aras Kabupaten/Kota.
Prof. Dr. Sajogyo, Guru Besar Sosiologi Perdesaan IPB, Peneliti Senior Pusat P3R-YAE
APAKAH PERTUMBUHAN EKONOMI (YANG KITA DAMBAKAN) JUGA BERARTI BAHWA ANAK-ANAK KITA JUGA TUMBUH BAIK?
Jika mendapat undangan hadir dalam ?International Experts Seminar on Child Growth and Poverty? (di Hotel Hilton, Jakarta, 10-13 Nopember 2002), apakah itu berarti kita in ?pakar? (?expert?), paling tidak di bidang kemiskinan? Sebagai sosiolog yang mengamati pedesaan, karena ada ?koneksi? dengan Departemen Kesehatan (pernah mengajar di Akademi Gizi di Bogor), tahun 1972 kami sempat ditugasi oleh Menteri Kesehatan untuk melakukan studi evaluasi Program UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga atau ANP: Applied Nutrition Program). Kajian dan buku yang dihasilkan dibiayai oleh UNICEF, Jakarta dengan tugas lapang tahun 1972/73 di 8 propinsi di waktu musim kemarau panjang (waktu itu belum disebut El-Nino), melibatkan peneliti 5 kampus, di dua kampus melibatkan rekan dari kedokteran. Dan dalam survei atas k.l. 1000 rumah tangga, sempat diukur ?status pertumbuhan? si-anak (di bawah 5 tahun), memakai pita plastik, mengukur lingkar lengan atas (sebagai pengganti timbangan).
Setelah kajian itu menyusul kegiatan ber-eksperimen dalam lembaga baru: "taman gizi? di pedesaan, mendahului lembaga ?posyandu? beberapa Repelita kemudian. Dengan dikelola oleh suatu Panitia Pemuka ibu-ibu di desa, sejumlah ibu yang ada anak gizi kurang (di bawah 5 tahun) diminta berkumpul, berkala selama 3 bulan, disertai ?kursus? perihal ?anak sehat?, anatara lain dalam hal memilih makanan yang cukup dan baik mutunya. Untuk itu kami siapkan naskah Buku Pedoman Kader bersama dua dosen dari "Ilmu Kesejahteraan Keluarga?, nama lama di Fakultas Pertanian, IPB. Pada tiap pertemuan selalu ada contoh memasak suatu hidangan, lagi pula kami membagikan ?tepung kedele?, hasil proses pemanasan suhu tinggi, agar tepung kedele itu mudah dicernakan anak kecil. Tak lupa pula kami membagikan bibit kelapa asal Nias yang tumbuh cepat, ?genjah? untuk ditanam di pekarangan para ibu itu. Hampir 1000 bibit yang disebarkan, selama 3 tahun untuk sejumlah terbatas desa di sejumlah 5 kabupaten (empat di Jawa Barat). Jadi, memang hal ?pertumbuhan anak? pernah menjadi perhatian khusus di dalam kami mengkaji kemiskinan.
Kecuali ?koneksi? UNICEF di masa lalu itu, ada pula koneksi Bank Dunia, artinya perkenalan dengan Alan Berg dari Bank Dunia, ekonom, penulis buku berjudul ?Faktor Gizi? yang terjemahannya kami beri Kata Pengantar, disamping Kata Pengantar khusus oleh penulisnya. Waktu itu kami Ketua PERGIZI-PANGAN. Selanjutnya, perhatian (spesialisasi) hal gizi di IPB berkembang di Jurusan GMSK (Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga): ada dana berasal dari Proyek Bank Dunia yang dipakai membangun gedung Jurusan itu di kampus IPB, Darmaga.
Dari sejumlah selusin makalah di Hotel Hilton, 10-13 Nopember 2002 itu kasus-kasus pengukuran status gizi anak (umur-dini), yang dapat dibanding yaitu dari Indonesia (3), Honduras (Amerika Tengah), Thailand dan Afrika Selatan. Hanya ada dua makalah yang disumbang oleh ekonom, yaitu pada sesi awal dari Mubyarto (UGM) dan Tabor (pakar dari suatu lembaga internasional di Belanda), bersama 2 penulis Indonesia tapi tak hadir (HS Dillon dan H. Sawit). Dalam makalah singkat hal kemiskinan Mubyarto memberi gambaran hal kebijakan menanggulangi kemiskinan yang di Indonesia seakan-akan ?tak pernah serius dan konsisten? dari zaman ke zaman, selama masa Orde Baru. Dan dalam masa Krismon terakhir lebih banyak mengikuti anjuran dari pihak lembaga donor (hutang) berupa model ?JPS (Jaringan Pengaman Sosial)?. Ulasan itu berisi upaya memperkenalkan arti ?ekonomi rakyat? tapi karena di dalam ulasan bahasa Inggris istilah bukan terjemahan (?ekonomi rakyat?) dipakai sampai 5 kali (sekali menyebut ?ekonomi rakyat sector?), pembaca boleh bertanya apakah maksud penulis tercapai di kalangan pakar di luar ekonomi.
Makalah Tabor dkk berjudul ?Child growth, food insecurity and poverty in Indonesia? merupakan sumbangan pemikiran 3 ekonom yang sudah biasa mengupas masalah ketahanan pangan dari segi ekonomi. Secara singkat isi makalah itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
?Kemiskinan itu jauh lebih kompleks dari (yang diukur oleh) pendapatan rendah. Pertumbuhan ekonomi bisa sangat menentukan, tapi tak selalu dapat diandalkan dalam mengurangi kemiskinan. Bagaimana hasil pertumbuhan ekonomi itu terbagi di antara golongan si-miskin sangat tergantung dari cara si-miskin itu (khususnya perempuan miskin) dapat dilibatkan dan diberdayakan di dalam proses pertumbuhan (pembangunan) itu.
Dari satu bagan berjudul ?keterkaitan antara Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Pertumbuhan Si-Bayi? kita dapat baca:
1.
Disatu sisi ?serba-kaitan Ketahanan Pangan? (dari segi satuan rumahtangga) mencakup Keterjangkauan, Ketersediaan, Kecukupan dan Keberlanjutan Pangan yang bersama-sama menentukan ketersediaan dan distribusi pangan dalam rumahtangga
2.
Sisi lain ?serba Keterkaitan Kemiskinan? mencakup ?(peluang) membangun sumber pendapatan? yang terkait Distribusi Asset dan Akses Pasar dan menentukan Distribusi Pendapatan (segi ?ekonomi?) dan di lain pihak keterkaitan dengan ?Hubungan Kepemerintahan? yang terkait dengan Pemberdayaan dan dengan Akses pada Sumberdaya Publik. Keterkaitan Kemiskinan itu juga menentukan Ketersediaan dan Distribusi Pangan didalam rumahtangga. Dan kondisi inilah yang menentukan Status Pertumbuhan Si-Bayi dan anak-umur-dini, yang dapat menjadi sasaran suatu sistem Pemantauan Pertumbuhan Si-Bayi. Hasil pemantauan itu bermanfaat baik dalam memantau Kebijakan/Program Ketahanan Pangan maupun Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan.
Bagan ini lebih merujuk ke kondisi-kondisi yang lebih konkret dibanding satu bagan lain (asal dari Unicef, juga dirujuk oleh Tabor dkk) dimana gizi-salah dan kematian penyebab langsungnya adalah ?asupan pangan/diet tak cukup? dan ?terkena penyakit? dan di balik itu ada 3 hal penentu yaitu ?akses pada pangan tak cukup? dan ?pelayanan kesehatan kurang dan lingkungan tak sehat?, ditambah ?kurang pelayanan pada ibu dan anak?, terutama karena ?kurang pendidikan?. Di balik hal-hal ?penyebab? itu ada sejumlah 4 hal lain berlapis-lapis yang menjadi sumber penyebab dengan istilah-istilah yang umum sekali, yaitu ?kelembagaan formal dan non-formal?, ?superstruktur politik dan idiologi?, ?struktur ekonomi? dan ?sumberdaya potensial? pada ?akar?nya.
Masih ada bagan ketiga yang diacu Tabor dkk, berjudul ?gizikurang di dalam siklus Kehidupan?, dimulai dari kondisi Perempuan/Ibu Mengandung ke Bayi yang lahir dan dibesarkan, jadi Anak dan Remaja, ditambah catatan kondisi Perempuan Lanjut-usia, masing-masing serba gizi-kurang/buruk. Perempuan yang gizikurang/buruk jika mengandung ditandai oleh pertambahan berat yang kurang dan kurang mampu dalam menyediakan gizi-dalam-kandungan pada Bayi yang dikandung, maka Bayi lahir dengan berat badan kurang (berisiko kematian-masih bayi, perkembangan mental terganggu dan jika mencapai usia dewasa berisiko penyakit kronis). Dari Bayi tumbuh menjadi Anak (umur-dini) pertumbuhan badan kurang, karena pola sapihan yang salah, terkena infeksi sedang pangan dan pelayanan kesehatan tak mencukupi, maka Anak tumbuh kerdil, selanjutnya kurang pangan, kesehatan dan asuhan menjadikan Remaja tumbuh kerdil pula. Selanjutnya dalam hal Perempuan, menjurus ke kondisi Perempuan Dewasa yang gizikurang dan di dalam mengalami kehamilan disertai risiko serba negatif itu (antara lain kematian didalam melahirkan). Dalam usia lanjut Perempuan gizikurang itu akan berkurang pula kemampuannya dalam mengasuh anak.
Bagaimana kita dapat bertindak dalam upaya memutuskan ?lingkaran setan? serba gizikurang itu? Dapat dicatat bahwa pernah Amartya Sen merujuk hal lingkaran malang antar-generasi itu dalam kaitan dengan sejumlah ?ke-bebas-an? yang diperlukan si-miskin agar dapat mengatasi kemiskinan mereka .
Dapat dicatat bahwa Seminar Pakar itu (undangan Bank Dunia dan UNICEF) memilih kebijakan agar kita lebih ?mendahulukan golongan Bayi? (umur kurang dari dua tahun), artinya bertindak lebih dini, berdasar ukuran pertumbuhan (tambahan berat badan yang mencukupi, sesuai umur dari bulan ke bulan). Hal itu berarti memperhatikan jumlah (populasi kasus) anak yang jauh lebih kecil dibanding jika memperhatikan total jumlah anak di bawah 5 tahun. Dalam hal Bayi-kurang dua tahun, makanan tambahan itu bisa disebut Makanan Pendamping ASI (Air Susu Ibu). Hanya yang kami persoalkan: bagaimana suatu keluarga miskin dapat kita dorong (didik) dan bantu dalam memperhatikan si-Bayi itu saja, jika juga mengasuh anak lain, gizikurang (dibawah 5 tahun) bahkan mungkin juga masih ada anak lewat umur 5 tahun yang tergolong tumbuh kerdil?
Mungkinkah ada ?peluang jawaban? dari pihak Komite Penanggulangan Kemiskinan yang telah bekerja selama setahun? Dari Buku Pedoman yang diterbitkan, hanya dibedakan antara (a) upaya menyediakan tambahan modal pada usaha si-miskin (tapi golongan ?pengusaha kecil dan menengah? juga tercakup!) (b) upaya lewat program lain yang bermaksud mengurangi ?beban rumahtangga? dalam hal pengeluaran yang belum dapat terjangkau si-miskin.
Apakah hal mengatasi gizi-kurang Bayi berarti satu peran besar bagi Pemerintah/ Negara? Di dalam era Otonomi Daerah ada peluang membagi tugas dan beban itu dibagi antara beragam aras Otonomi, dimana di aras terbawah adalah Komunitas Desa yang dilengkapi Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan, yang juga membuka peluang tumbuhnya beragam lembaga/organisasi yang dibentuk oleh warga desa untuk berbagai tujuan khusus. Jika data hal tinggi berat badan anak sekolah yang baru masuk SD di desa dapat menjadi ukuran ?Kemiskinan se-Desa? (dibanding desa lain), dalam hal pengukuran pertumbuhan berat badan si-Bayi (sampai umur 24 bulan) masyarakat se-Desa akan dapat menemukan siapa-siapa rumahtangga yang paling dulu perlu bantuan dan didikan dalam mengatasi gejala ?tumbuh kurang? si-Bayi (sesuai patokan). Paling tidak mencontoh kasus Kesehatan Masyarakat Pedesaan di Thailand, upaya mengukur tumbuhnya (berat badan) Si-Bayi itu sebaiknya berdasar tanggung-jawab masyarakat se-Desa, Otonomi Desa dalam bahasa kita. Dan inilah sedikit dari saran kami di seminar itu; didalam CBGMP (Community Based Growth Monitoring Promotion) penting kita memakai metode PLA (Participatory Learning and Action), untuk mencapai keputusan bersama oleh masyarakat desa itu. Hal ini menjadi dasar dari ?kontrak sosial? antara Otonomi Desa dan Otonomi Kabupaten/Kota, khususnya yang terkait pelayanan oleh PusKesMas, yang melakukan supervisi.
Di desa para ibu pengasuh Bayi Sehat dapat diajak dalam memberi konsultasi kepada ibu-ibu lain, pengasuh Bayi gizikurang. Pada umumnya juga diperlukan sejumlah kader (sukarelawati) dalam proses itu. Hal ini sekaligus peluang peningkatan peranan Perempuan di Desa, sampai ke aras Kabupaten/Kota.
Prof. Dr. Sajogyo, Guru Besar Sosiologi Perdesaan IPB, Peneliti Senior Pusat P3R-YAE