pratama_adi2001
New member
Asing Angkat Peringkat RI
Fitch Ratings Puji Stabilitas Ekonomi
JAKARTA - Dunia internasional mulai mengakui membaiknya kondisi ekonomi Indonesia. Fitch Ratings, lembaga pemeringkat internasional yang berpusat di AS, meningkatkan outlook mata uang asing dan lokal, yang disebut IDRs (Issuer Default Ratings) RI, dari stabil menjadi positif. Ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan disiplin fiskal.
"Revisi ini juga menunjukkan hasil kebijakan menyeluruh pemerintah melaksanakan agenda reformasi struktural untuk memperbaiki iklim investasi," kata Direktur Sovereign Fitch Ratings Ai Ling Ngiam dalam keterangan resminya dari Singapura kemarin.
Fitch juga menilai, upaya pemerintah mengatasi kekhawatiran investor terhadap korupsi, birokrasi, dan hambatan regulasi sudah mulai membuahkan hasil. Terutama hambatan di bidang perpajakan dan cukai.
"Budaya takut korupsi secara terbuka telah muncul. Investigasi-investigasi antikorupsi mengarah ke beberapa tuntutan hukum yang berprofil tinggi, pemulihan aset, dan peningkatan pengaduan," kata Ngiam.
Sistem pengadaan dengan tender terbuka elektronik juga telah memperbaiki transparansi. Indonesia juga dinilai telah memperbaiki peringkatnya di Indeks Daya Saing Global dari World Economic Forum, naik menjadi ke-50 pada 2006 dari ke-69 pada 2005.
Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menyambut baik penilaian Fitch tersebut. "Mudah-mudahan kalau positif, arahnya menjadi lebih baik," ujar Rahmat kemarin.
Di sisi lain Fitch juga menilai keuangan publik dan perbaikan pengawasan risiko fiskal secara luas adalah kekuatan fundamental peringkat Indonesia. Fitch memproyeksikan defisit fiskal dapat dipertahankan 1,1 persen dari PDB tahun ini. Rasio utang pemerintah terhadap PDB akan turun ke sekitar 38 persen tahun ini. Rasio tersebut hanya bisa disamai dengan rasio utang sebelum krisis dan lebih baik daripada median rasio 41 persen untuk kategori peringkat "BB".
Namun, rasio utang terhadap pendapatan yang mencapai 212 persen pada 2006 tidak sebaik median BB sebesar 162 persen. Fitch menyarankan pengupayaan pajak lebih lanjut untuk meningkatkan pendapatan.
Di sisi eksternal peningkatan cadangan devisa, terutama karena kenaikan harga komoditas, tekanan pada impor oleh sektor manufaktur yang lebih tinggi daripada perkiraan, dan masuknya dana portofolio, telah menjadi peredam untuk menghadapi kejutan-kejutan sistemik. Fitch memperkirakan kebutuhan pendanaan bruto Indonesia, termasuk utang jangka pendek, diperkirakan turun menjadi 66 persen dari cadangan resmi.
Namun, Fitch menilai risiko neraca eksternal tetap ada. Sebab, peningkatan penghindaran risiko pada pasar berkembang bisa mengakibatkan outflow investasi portofolio ekuitas dan utang yang disruptif. Pada neraca transaksi berjalan, tingkat impor manufaktur dan konsumen yang lebih tinggi akibat rencana pertumbuhan ekonomi 5,9 persen tahun ini dari 5,6 persen pada 2006 akan mengakibatkan tekanan karena permintaan dolar.
Rencana pemerintah Indonesia untuk tetap membentuk lembaga konsultasi kreditor pasca pembubaran CGI (Consultative Group on Indonesia) itu ditentang berbagai pihak. Lembaga yang nanti akan berisi organisasi keuangan internasional -ADB (Asian Development Bank), Bank Dunia, dan JBIC (Japan Bank for International Coorporation)- tersebut dinilai hanya akan melanggengkan rezim utang yang berkuasa di Indonesia saat ini.
Direktur Eksekutif INFID (International NGO?s Forum on Indonesia Development) Donatus K. Marut mengemukakan bahwa sebenarnya berbagai pihak mendukung upaya pemerintah membubarkan wadah kreditor multilateral tersebut.
"Dalam sidang CGI tahun lalu, kami (INFID) juga sudah menyampaikan hal ini. Bahwa sebenarnya CGI itu tidak ada gunanya," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Menurut Donatus, rezim utang selalu beranggapan bahwa pembiayaan pembangunan harus bergantung kepada utang luar negeri. "Ini paradigma yang dikembangkan Bank Dunia dan IMF," katanya.
Dia mengemukakan, dari tiga lembaga yang ada tersebut, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mengenai utang luar negeri selalu konservatif. "Jadi, mereka (pejabat tiga lembaga) itu tidak pernah memikirkan dampak sosial maupun lingkungan terhadap negara yang mengambil utang dari mereka," paparnya.
Selain itu, kekhawatiran lainnya adalah menyangkut keberadaan JBIC sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang berbasis negara. "Porsi utang luar negeri kita di Jepang sangat besar. Dengan kehadiran lembaga itu, bisa jadi ketergantungan terhadap Jepang bertambah," ungkapnya.
Padahal, Jepang dikenal berkiblat kepada Amerika Serikat dalam banyak kebijakan politiknya. "AS memiliki kepentingan besar di Jepang sehingga sering memengaruhi kebijakan-kebijakan negara itu," terangnya.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Aviliani mengemukakan bahwa negosiasi jauh lebih mudah dan fleksibel bila dilakukan dengan negara tertentu dalam perjanjian bilateral. Namun, Avi juga mengingatkan agar pemerintah tidak hanya bergantung ke salah satu negara.
"Komposisinya harus dilihat, jangan menumpuk di Jepang saja. Akhirnya, kalau Jepang ada apa-apa, kita juga akan terimbas getahnya. Kalau bisa, di berbagai negara," tuturnya.
Selain itu, komisaris independen BRI itu juga mengemukakan pentingnya pemerintah beralih dari pembiayaan melalui utang luar negeri menjadi pembiayaan melalui investasi. "Sebaiknya pemerintah fokus untuk SUN (surat utang negara) saja biar lebih mudah," jelasnya.
Hingga kini, RI masih memiliki utang USD 24,816 miliar kepada Jepang. Berikutnya, ADB USD 10,177 miliar, Bank Dunia USD 7,463 miliar, dan Amerika Serikat USD 3,979 miliar. Lalu, Jerman USD 3,450 miliar, Prancis USD 1,313 miliar, Inggris USD 2,194 miliar, dan lainnya USD 7,986 miliar. Dengan demikian, utang Indonesia saat ini mencapai USD 61,3 miliar. USD 10 miliar di antaranya merupakan utang on going atau yang proyeknya sedang berjalan.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pembubaran CGI tidak akan memengaruhi penarikan utang, baik tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Karena itu, pembiayaan defisit APBN dipastikan tidak akan bermasalah. Pada 2007, pemerintah tetap akan menarik utang baru senilai Rp 40,2 triliun seperti yang direncanakan dalam APBN 2007. Sedangkan pembayaran utang luar negeri tetap direncanakan Rp 54,8 triliun. (sof/iw)
Fitch Ratings Puji Stabilitas Ekonomi
JAKARTA - Dunia internasional mulai mengakui membaiknya kondisi ekonomi Indonesia. Fitch Ratings, lembaga pemeringkat internasional yang berpusat di AS, meningkatkan outlook mata uang asing dan lokal, yang disebut IDRs (Issuer Default Ratings) RI, dari stabil menjadi positif. Ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan disiplin fiskal.
"Revisi ini juga menunjukkan hasil kebijakan menyeluruh pemerintah melaksanakan agenda reformasi struktural untuk memperbaiki iklim investasi," kata Direktur Sovereign Fitch Ratings Ai Ling Ngiam dalam keterangan resminya dari Singapura kemarin.
Fitch juga menilai, upaya pemerintah mengatasi kekhawatiran investor terhadap korupsi, birokrasi, dan hambatan regulasi sudah mulai membuahkan hasil. Terutama hambatan di bidang perpajakan dan cukai.
"Budaya takut korupsi secara terbuka telah muncul. Investigasi-investigasi antikorupsi mengarah ke beberapa tuntutan hukum yang berprofil tinggi, pemulihan aset, dan peningkatan pengaduan," kata Ngiam.
Sistem pengadaan dengan tender terbuka elektronik juga telah memperbaiki transparansi. Indonesia juga dinilai telah memperbaiki peringkatnya di Indeks Daya Saing Global dari World Economic Forum, naik menjadi ke-50 pada 2006 dari ke-69 pada 2005.
Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menyambut baik penilaian Fitch tersebut. "Mudah-mudahan kalau positif, arahnya menjadi lebih baik," ujar Rahmat kemarin.
Di sisi lain Fitch juga menilai keuangan publik dan perbaikan pengawasan risiko fiskal secara luas adalah kekuatan fundamental peringkat Indonesia. Fitch memproyeksikan defisit fiskal dapat dipertahankan 1,1 persen dari PDB tahun ini. Rasio utang pemerintah terhadap PDB akan turun ke sekitar 38 persen tahun ini. Rasio tersebut hanya bisa disamai dengan rasio utang sebelum krisis dan lebih baik daripada median rasio 41 persen untuk kategori peringkat "BB".
Namun, rasio utang terhadap pendapatan yang mencapai 212 persen pada 2006 tidak sebaik median BB sebesar 162 persen. Fitch menyarankan pengupayaan pajak lebih lanjut untuk meningkatkan pendapatan.
Di sisi eksternal peningkatan cadangan devisa, terutama karena kenaikan harga komoditas, tekanan pada impor oleh sektor manufaktur yang lebih tinggi daripada perkiraan, dan masuknya dana portofolio, telah menjadi peredam untuk menghadapi kejutan-kejutan sistemik. Fitch memperkirakan kebutuhan pendanaan bruto Indonesia, termasuk utang jangka pendek, diperkirakan turun menjadi 66 persen dari cadangan resmi.
Namun, Fitch menilai risiko neraca eksternal tetap ada. Sebab, peningkatan penghindaran risiko pada pasar berkembang bisa mengakibatkan outflow investasi portofolio ekuitas dan utang yang disruptif. Pada neraca transaksi berjalan, tingkat impor manufaktur dan konsumen yang lebih tinggi akibat rencana pertumbuhan ekonomi 5,9 persen tahun ini dari 5,6 persen pada 2006 akan mengakibatkan tekanan karena permintaan dolar.
Rencana pemerintah Indonesia untuk tetap membentuk lembaga konsultasi kreditor pasca pembubaran CGI (Consultative Group on Indonesia) itu ditentang berbagai pihak. Lembaga yang nanti akan berisi organisasi keuangan internasional -ADB (Asian Development Bank), Bank Dunia, dan JBIC (Japan Bank for International Coorporation)- tersebut dinilai hanya akan melanggengkan rezim utang yang berkuasa di Indonesia saat ini.
Direktur Eksekutif INFID (International NGO?s Forum on Indonesia Development) Donatus K. Marut mengemukakan bahwa sebenarnya berbagai pihak mendukung upaya pemerintah membubarkan wadah kreditor multilateral tersebut.
"Dalam sidang CGI tahun lalu, kami (INFID) juga sudah menyampaikan hal ini. Bahwa sebenarnya CGI itu tidak ada gunanya," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Menurut Donatus, rezim utang selalu beranggapan bahwa pembiayaan pembangunan harus bergantung kepada utang luar negeri. "Ini paradigma yang dikembangkan Bank Dunia dan IMF," katanya.
Dia mengemukakan, dari tiga lembaga yang ada tersebut, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mengenai utang luar negeri selalu konservatif. "Jadi, mereka (pejabat tiga lembaga) itu tidak pernah memikirkan dampak sosial maupun lingkungan terhadap negara yang mengambil utang dari mereka," paparnya.
Selain itu, kekhawatiran lainnya adalah menyangkut keberadaan JBIC sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang berbasis negara. "Porsi utang luar negeri kita di Jepang sangat besar. Dengan kehadiran lembaga itu, bisa jadi ketergantungan terhadap Jepang bertambah," ungkapnya.
Padahal, Jepang dikenal berkiblat kepada Amerika Serikat dalam banyak kebijakan politiknya. "AS memiliki kepentingan besar di Jepang sehingga sering memengaruhi kebijakan-kebijakan negara itu," terangnya.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Aviliani mengemukakan bahwa negosiasi jauh lebih mudah dan fleksibel bila dilakukan dengan negara tertentu dalam perjanjian bilateral. Namun, Avi juga mengingatkan agar pemerintah tidak hanya bergantung ke salah satu negara.
"Komposisinya harus dilihat, jangan menumpuk di Jepang saja. Akhirnya, kalau Jepang ada apa-apa, kita juga akan terimbas getahnya. Kalau bisa, di berbagai negara," tuturnya.
Selain itu, komisaris independen BRI itu juga mengemukakan pentingnya pemerintah beralih dari pembiayaan melalui utang luar negeri menjadi pembiayaan melalui investasi. "Sebaiknya pemerintah fokus untuk SUN (surat utang negara) saja biar lebih mudah," jelasnya.
Hingga kini, RI masih memiliki utang USD 24,816 miliar kepada Jepang. Berikutnya, ADB USD 10,177 miliar, Bank Dunia USD 7,463 miliar, dan Amerika Serikat USD 3,979 miliar. Lalu, Jerman USD 3,450 miliar, Prancis USD 1,313 miliar, Inggris USD 2,194 miliar, dan lainnya USD 7,986 miliar. Dengan demikian, utang Indonesia saat ini mencapai USD 61,3 miliar. USD 10 miliar di antaranya merupakan utang on going atau yang proyeknya sedang berjalan.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pembubaran CGI tidak akan memengaruhi penarikan utang, baik tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Karena itu, pembiayaan defisit APBN dipastikan tidak akan bermasalah. Pada 2007, pemerintah tetap akan menarik utang baru senilai Rp 40,2 triliun seperti yang direncanakan dalam APBN 2007. Sedangkan pembayaran utang luar negeri tetap direncanakan Rp 54,8 triliun. (sof/iw)