Berharap

Aan

New member
Hujan sedang turun deras saat saya membuat tulisan ini. Tampaknya hujan deras mulai sering mengguyur Jakarta yang macet dan keras ini. Selama setahun terakhir ini, terkadang saya merasa bersalah, di saat yang sama merasa beruntung. Tinggal di Jakarta dengan segudang problema dan penyakitnya, saya masih bisa mengecap hidup yang baik. Setidaknya masih bisa makan nasi dan lauk. Sekali-kali memanjakan diri mencoba makanan yang dijual di resto atau foodcourt di mal-mal.

Saat mengenang masa-masa sulit bertahun-tahun yang lalu, saat saya masih SMA hingga kuliah, kini saya seakan tidak percaya, betapa Tuhan menjawab doa-doa saya. Saat itu, saya berseru kepadanya, mau sampai kapan saya, keluarga saya, hidup mencukup-cukupi uang yang cuma beberapa lembar setiap hari. Beli beras cuma beberapa liter sehari demi sehari karena uang yang tidak mencukupi untuk membeli beras yang 50 kg itu. Belum lagi, bolak-balik pegadaian, hingga habis semua barang di rumah yang bisa digadaikan, untuk menyambung hidup seminggu lagi.

Apa yang saya miliki sekarang, semuanya itu karena anugerah dan kebaikan Tuhan. Apa yang tidak saya miliki dulu, juga adalah anugerah dan kebaikannya. Merasa cukup dalam kekurangan adalah tantangan terbesar yang saya hadapi. Satu hal penting yang saya alami, mereka yang berharap dan berserah kepada Tuhan, mereka yang berjalan dengan bercucurkan air mata, akan tiba waktunya, bersorak dan bersujud takjub akan pemeliharaan dan kasih setia-Nya.

Tadi pagi, seorang perempuan muda berparas manis berdiri di pintu gerbang di depan rumah. "Bapak butuh tenaga distributor nggak," katanya dengan suara pelan setelah melihat tumpukan majalah-majalah di teras. "Oh... nggak..," kata ayah saya singkat yang sedang mengisi oli mesin. Perempuan itu lalu melangkah pergi. Dalam pikiran saya terbersik suatu bayangan, betapa perempuan itu sangat membutuhkan pekerjaan. Mungkin untuk mencari uang demi sesuap nasi atau membantu ekonomi keluarganya sehingga rela keliling dari rumah-rumah mencari peluang kerja. Jadi pembantu pun boleh, yang penting bekerja. Pikiran itu terlintas begitu cepat sama dengan perempuan itu yang hilang di antara gang-gang sempit di samping rumah. Ibunya saya belakangan mengatakan perempuan itu sudah beberapa kali datang dan menanyakan hal yang sama.

Siangnya, saya sedang berjalan menyebrang di kolong jalan flyover di Stasiun Tebet, mendapati seorang pemuda bertelanjang dada tidur telungkup. Dimana keluarga orang ini? Mengapa dia di sini? Tanya saya dalam hati. Angin yang berhembus menerpa wajah saya, pikiran yang melayang membayangkan pemuda itu, semakin membuat saya merasa bersalah sekaligus merasa bersyukur. Betapa mudahnya saya berkeluh kesah saat keadaan sulit, di saat yang bersamaan, betapa mudahnya saya, merasa bersyukur saat keadaan senang.

Kemapanan, kesombongan atas kemapanan itu, berusaha saya buang jauh-jauh dalam hidup saya. Saya hanya ingin hidup sederhana, bisa merasa cukup di saat kekurangan, bisa berbagi di saat berkelebihan. Bukan pada seberapa banyak yang ingin kita miliki, tetapi bagaimana kita memanfaatkan sebaik mungkin sambil bersyukur terhadap apa yang Tuhan sudah berikan kepada kita.

Meski orang lain sudah mempunyai tabungan beratus-ratus juta, dan kita hanya memiliki gaji sebulan yang itu pun pasti habis di akhir bulan, sudah saatnya untuk belajar mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri. Tidak selamanya kesulitan ekonomi itu menetap, akan ada waktunya, Tuhan sendiri, berperkara, mengangkat kita menjadi pribadi yang berkelimpahan di dalam Dia. Dia yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita.

Bayangan perempuan muda dan laki-laki bertelanjang dada mewarnai pikiran saya hari ini. Saya berdoa perempuan itu mendapat pekerjaan yang baik dan halal, dan laki-laki bertelanjang dada itu, menemukan tempat berteduh dan pekerjaan yang layak. Ada ribuan orang seperti itu di Jakarta ini. Ada jutaan orang seperti itu di dunia ini, bahkan dengan kondisi yang sangat parah. Hanya satu, ajakan saya, kepada semua Sobat UF dimanapun berada. Betapapun sedikitnya harta yang kamu miliki, betapapun rendahnya jenjang pendidikan yang kamu raih, jangan menyerah dan mengutuki Tuhan. Sebab Dia yang memiliki segala sesuatu sanggup mengubah yang buruk menjadi kebaikan. Teruslah berharap, Dia akan menjawab doa-doamu.
 
Back
Top