Budaya Kawin Tangkap di Sumba

spirit

Mod
3432753787.jpg

Harga diri kaum wanita atau perempuan Sumba sungguh luhur dan sangat dijunjung tinggi. Seorang peneliti Kodi (Sumba) Prof Janet Alison Hoskins sungguh menemukan jati diri manusia dan Masyarakat Sumba secara umum dan secara khusus kaum wanita yang dari abad ke abad selalu mendapat respek sangat tinggi. Karena itu sebetulnya praktek ‘kawin tangkap’ tidak dikategori ke dalam tataran budaya Sumba.

Alasannya, praktek kawin tangkap hanyalah sesuatu yang pragmatis, artinya sesuatu yang memang terjadi oleh karena perilaku sosial tertentu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kultural-pedagogis. Maksudnya, praktek yang sekarang ada, dan sedang viral melalui medsos (media sosial), bahkan sampai laku di mata para peneliti ilmu-ilmu sosial, hal itu sebetulnya merupakan suatu kesalahan di dalam proses menerapkan tata krama kehidupan ber-moral dan ber-etika. Itu artinya persoalan ada pada tataran pelanggaran tata krama kehidupan biasa, yang tidak berkaitan dengan panduan budaya Sumba secara umum.

Mengapa pragmatisme? Tindakan ‘kawin tangkap’ berada pada tataran konsistensi pendampingan dan pembinaan kaum muda (dalam hal ini: laki-laki dan wanita yang terangkap) belum semaksimal mungkin sesuai tata krama kehidupan bersama dalam konteks Masyarakat Sumba. Artinya fenomena kawin tangkap adalah satu masalah sosial biasa yang terjadi di hampir seluruh kawasan NTT, dan tidak saja di Pulau Sumba. Jika ada hasil penelitian yang mengklaim bahwa persoalan kawin tangkap itu semakin menjamur, hal itu harus dikembalikan pada diskursus pendidikan informal dan non-formal, yang belum menemukan jalan keluar yang memadai, dalam rangka mengentaskan praktek kawin tangkap tersebut.

Oleh karena itu hemat saya, pihak Gereja (baik Gereja Katolik, maupun Gereja Protestan) hendaknya membuka dialog budaya dengan pihak Marapu, dalam hal ini para Rato sebagai sesepuh masyarakat setempat. Bahkan strategi yang paling manusiawi dan berbudaya adalah membangun sebuah mindset pelayanan terpadu antar berbagai institusi: gereja, pemerintah, dan masyarakat secara bersama-sama. Menjaring mindset itu diawali dengan menyamakan persepsi, dan hindari sikap serta perasaan superioritas, dan perilaku mau menang sendiri serta saling mendengar dengan sikap tulus ikhlas!

Saya memiliki pengalaman ketika berdiskusi dengan para Rato dari Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya (atas kerja sama dengan Yayasan DONDERS, milik para Imam CSsR di Sumba). Selain itu pembicaraan intensif dengan Pastor Robert Ramone CSsR yang budayawan dan pakar Sumba, yang kini menghuni dan merawat rumah budaya Sumba di Tambolaka. Semua pengalaman itu terjadi dan kutimba pada tahun 2015 dan 2016. Ada keluhan dan desakan sangat signifikan dari para Rato bahwa tradisi, adat dan budaya tata krama kehidupan manusia dan masyarakat Sumba kini sepertinya terobrak-abrik. Akibatnya, selalu muncul seribu satu persoalan hidup bersama, antara lain munculnya kawin tangkap.

Untuk itu, hemat saya, baik pemerintah, maupun gereja yang mewakili institusi agama, dan juga agama dan kepercayaan lain, hendaknya dengan rendah hati menjaring kerja sama dengan para Rato. Jejaring sosial dan kerja sama yang dialogis ini diharapkan dapat menemukan akar persoalan sampai terjadinya kawin tangkap tersebut.

Selama ini menurut saya, belum ada usaha yang serius untuk mencari akar persoalan, dan terlebih seberapa jauh sesepuh masyarakat Sumba mencari jalan yang konsisten untuk mengatasi persoalan tersebut. Walau demikian, saya yakin dan percaya, kini manusia dan masyarakat Sumba sedang berupaya untuk mencari cara dan pola yang baik guna sesegera mungkin menangani sampai tuntas praktek kawin tangkap! Dinamika pembangunan Sumba haruslah melibatkan para Rato, tokoh-tokoh agama dan sesepuh masyarakat lainnya, dalam rangka menanggapi berbagai persoalan yang ada di seluruh kawasan Pulau Sumba.

Skema kerja sama yang harus diterapkan adalah menjaring sebuah pendekatan kultural, yang kami maksudkan adalah bahwa pihak Gereja harus memulai ‘dialog yang dialogis’, serta membuka pintu budaya untuk menjaring relasi dengan para Rato. Ada istilah dalam Bahasa Latin sebagai berikut: UBI SOCIETAS, IBI IUS yang berarti di mana ada masyarakat, di sana ada aturan. Masyarakat Sumba memiliki sedemikian banyak aturan sebagai panduan dan pedoman bagi manusia dan masyarakat yang mendiami Pulau tersebut.

Gereja (Katolik dan Protestan) dan agama serta kepercayaan lain juga memiliki sekian banyak aturan dan panduan untuk hidup lebih baik dan bermartabat: tinggal saja dicari kesempatan untuk duduk bersama, lalu semua aturan itu direfleksi secara bersama-sama pula untuk lebih mendalami praktek kawin tangkap dalam bingkai kehidupan masyarakat yang baik dan terpuji! Langkah berikut, dicari strategi yang handal untuk memerangi praktek kawin tangkap ini. Sekali lagi, gunakan berbagai aturan yang bernuansa ‘kultur Sumba’ untuk mengkaji serta menangkal merembesnya praktek kawin tangkap.



 
indonesia itu keren, tiap daerah punya masing - masing adat istiadat tersendiri.

maka dari itu betapa penting Bhinneka Tunggal Ika kita terapkan sebagai warga negara karena pendorong lahirnya nasionalisme. Benteng persatuan bangsa dan negara di era globalisasi.
 
Back
Top