JAKARTA Hakim di pengadilan agama (PA) mestinya tidak terlalu mudah menjatuhkan putusan terhadap pengajuan cerai oleh pasangan suami istri (pasutri). Proses mediasi harus ditempuh oleh hakim untuk mendamaikan pasutri yang ingin bercerai.
Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Khalilurrahman. “Putusan hakim bukan main-main,” ujarnya kepada Republika, Rabu (10/8).
Sebelumnya, Dirjen dimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Nasaruddin Umar menilai, meningkatnya angka perceraian salah satunya dipicu oleh terlalu cepatnya para hakim di PA mengambil kçputusan. Selama ini, menurutnya, hakim PA terkesan mengejar target bahwa makin banyak kasus yang cepat diputuskan kinerjanya dinilai makin baik.
Padahal, dalam pandangan Nasaruddin, mestinya mereka tidak bertindak demikian. Sebab, hakim pada PA harus meneliti kasusnya dengan baik.
Khalilunrahman mengatakan, mediasi bersifat wajib bagi para pemohon cerai. Tanpa proses itu, putusan hakim bisa dianggap batal. mediasi harus dilakukan secara ketat dengan melibatkan lembaga mediasi independen yang ditunjuk Mah kamah Agung. Para mediator adalah sosok yang terlatih dan profesional. “Proses tidak berhenti di situ. Jika mediasi gagal akan diulang lagi ketika masuk di peradilan,” katanya.
Dalam pandangan psikiater Dadang Hawani, gagalnya proses mediasi sering kali disebabkan oleh ketidak hancuran salah satu pihak dan pasutri. Adapun penyebab utama ketidak hadiran itu adalah egoisme salah satu atau kedua pihak dari pasutri , Dalam hal ini, mereka sama-sama merasa benar Dalam kondisi seperti, ia menyarankan, pasutri yang ingin bercerai tersebut ditenangkan terlebih dahulu untuk meredam emosi mereka. “Kalau perlu dikasih obat.”
Untuk mendukung upaya mediasi, menurut Dadang, kedua belah pihak disarankan menunjuk figur pendamping Berikan advokasi
Ketua Majelis ulama Indonesia (MUI) Bidang Pemberdayaan Perempuan, Tutty Alawiyah, memandang perlu adanya advokasi bagi kedua belah pihak. Langkah ini dinilai positif untuk memberikan dukungan moril dan motivasi rujuk bagi pasutri yang berada di bibir jurang perceraian.
Tuty menambahkan, tingginya angka perceraian tak lepas dari dampak media dan kemajuan informasi. Pernikahan tak lagi dianggap sebagai sebuah ikatan suci. Sebaliknya, muncul anggapan bahwa perkawinan sebatas hubungan kontrak biasa. Menyikapi pandangan itu, semestinya perlu ditanamkan pemahaman bagi calon mempelai ataupun para pasutri akan pentingnya anti pernikahan. “Pernikahan adalah perjanjian yang kuat,” ujar tutty.
Sumber : republika
Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Khalilurrahman. “Putusan hakim bukan main-main,” ujarnya kepada Republika, Rabu (10/8).
Sebelumnya, Dirjen dimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Nasaruddin Umar menilai, meningkatnya angka perceraian salah satunya dipicu oleh terlalu cepatnya para hakim di PA mengambil kçputusan. Selama ini, menurutnya, hakim PA terkesan mengejar target bahwa makin banyak kasus yang cepat diputuskan kinerjanya dinilai makin baik.
Padahal, dalam pandangan Nasaruddin, mestinya mereka tidak bertindak demikian. Sebab, hakim pada PA harus meneliti kasusnya dengan baik.
Khalilunrahman mengatakan, mediasi bersifat wajib bagi para pemohon cerai. Tanpa proses itu, putusan hakim bisa dianggap batal. mediasi harus dilakukan secara ketat dengan melibatkan lembaga mediasi independen yang ditunjuk Mah kamah Agung. Para mediator adalah sosok yang terlatih dan profesional. “Proses tidak berhenti di situ. Jika mediasi gagal akan diulang lagi ketika masuk di peradilan,” katanya.
Dalam pandangan psikiater Dadang Hawani, gagalnya proses mediasi sering kali disebabkan oleh ketidak hancuran salah satu pihak dan pasutri. Adapun penyebab utama ketidak hadiran itu adalah egoisme salah satu atau kedua pihak dari pasutri , Dalam hal ini, mereka sama-sama merasa benar Dalam kondisi seperti, ia menyarankan, pasutri yang ingin bercerai tersebut ditenangkan terlebih dahulu untuk meredam emosi mereka. “Kalau perlu dikasih obat.”
Untuk mendukung upaya mediasi, menurut Dadang, kedua belah pihak disarankan menunjuk figur pendamping Berikan advokasi
Ketua Majelis ulama Indonesia (MUI) Bidang Pemberdayaan Perempuan, Tutty Alawiyah, memandang perlu adanya advokasi bagi kedua belah pihak. Langkah ini dinilai positif untuk memberikan dukungan moril dan motivasi rujuk bagi pasutri yang berada di bibir jurang perceraian.
Tuty menambahkan, tingginya angka perceraian tak lepas dari dampak media dan kemajuan informasi. Pernikahan tak lagi dianggap sebagai sebuah ikatan suci. Sebaliknya, muncul anggapan bahwa perkawinan sebatas hubungan kontrak biasa. Menyikapi pandangan itu, semestinya perlu ditanamkan pemahaman bagi calon mempelai ataupun para pasutri akan pentingnya anti pernikahan. “Pernikahan adalah perjanjian yang kuat,” ujar tutty.
Sumber : republika