[1]. Jika pelakunya muhshan (pernah berjima dengan nikah yang sah),
mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak
diperkosa), maka dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan
keumuman ayat 2 surat An-Nur, dan berdasarkan perbuatan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Atau cukup dirajam, tanpa didera, dan ini
lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu dan Umar bin
Al-Khtthab Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian
diasingkan selama setahun [1].
Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Caranya : orangnya ditanam
berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.
Berikut ini diantara dalil tentang hukum dera (cambuk) dan rajam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman” [An-Nur : 2]
. Yang Melaksanakan Rajam
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi
pezina) ialah penguasa kaum muslimin. Penguasa yang mampu menegakkan
syari’at Allah. Karena hukum tersebut hudud. Hudud jama’ dari had,
yaitu : hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syari’at dalam perkara
kemaksiatan-kemaksiatan, untuk mencegah terulangnya
kemaksiatan-kemaksiatan tersebut. Seperti had zina, mabuk, tuduhan,
pencurian dan lainnya, yang merupakan kewajiban penguasa. Jadi bukan
hak sembarang orang.
Oleh karena itu, mengomentari perkataan yang diriwayatkan Al-Qaffal
yang berbunyi : “Tiap-tiap orang boleh melakukan hudud”, maka Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini tidak ada apa-apanya” [9]