Kalina
Moderator
Kalau cerita ini berhasil bikin kalian nangis, atau menyentuh hati kalian.. Kasih Reppu, yaaa SMS bintang, gue juga gak nolak 
Ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang
pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan
orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkansang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba
kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik
hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati. Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu
mengajaknya menikah, dengan membawa sang
wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka
duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita
tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota
tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka
bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk
anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang
tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya,
apapun resikonya bagi dia. Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria
menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang
bisa memisahkan mereka. Sang pria terus
berargumen dengan orang tuanya, bahkan
membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang
belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk
pada orang tuanya). Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk
membujuk orang tuanya agar menerima calon
istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal
membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan
wanita tersebut, yang menurut mereka akan sangat
merugikan masa depannya. Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin
lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya
demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun
ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh
orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang
ortu mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar. Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat
yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut
untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut
dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka
kemudian memohon pengertian dari sang wanita,
agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial
yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan
menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi
anaknya akan tercemar, orang-orang tidak akan
menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan
diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan. Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah
banyak, dengan permohonan agar wanita tersebut
meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan
anaknya lagi, dan menggugurkan kandungannya.
Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai
hidupnya di tempat lain. Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati
kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan status sosial
yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak
kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk
meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk
menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan
hidupnya ke depan akan sangat sulit. Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita
tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada
mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih
berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir
anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak
mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah
Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang
berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”,
kata sang ibu. Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia
menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk
pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia
minta maaf karena telah melanggar janji setia
mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat
perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi
menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk
berpisah. Tetesan air mata sang wanita tampak
membasahi surat tersebut. Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak
punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan
cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu,
sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil.
Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan
membesarkan anaknya. Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut
telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki.
Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk
membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari,
ia bekerja di sebuah industri rumah tangga,
malamnya, ia menyuci pakaian-pakaian tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan.
Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini
sambil menggendong anak di punggungnya.
Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari
bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia
harus berada di sisi anaknya setiap saat. Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit
keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke
rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap
di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya
pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan
dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-
sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk
memberikan pinjaman. Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan
untuk membuat sup ramuan, untuk mempercepat
kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari
obat-obat herbal dan daging sapi untuk dikukus
bersama. Tetapi sang ibu hanya mampu membeli
obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk
meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah
berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan
belum terbayar. Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu
harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko
daging di desa tersebut telah menolak
permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat
gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia
mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau
dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur
dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad
mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar tidak
membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah
berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil
dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak
mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat.. Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan
rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para
tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya
langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang
sedang dilakukan oleh sang ibu. Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi
seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi
pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu,
mereka sering pergi ke taman di desa tersebut,
bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan
lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”). Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang
bekerja sebagai penjaga toko, karena ia sudah bisa
meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari
mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh
kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya,
agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena
perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang
seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun
ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan,
yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya
pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera
menolak setelah pemilik toko menyebutkan
harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih
banyak keperluan lain yang perlu dibiayai. Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak
jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek
pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut,
karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik
toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata
sang anak dengan serius. Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul
untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga
terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika
menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari
mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri
kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari
ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang
pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan
kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan
dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini.
Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata
sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut. Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore
hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat
pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut.
Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan
anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya.
Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut,
tidak mau menjawab. “Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam
seribu bahasa, ia tidak ingin ibu mengetahui
bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah
ditanya berkali-kali tanpa jawaban, sang ibu
menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri.
Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal
ini?” kata sang ibu.