Kisah Martin dan Howard Buten (pendiri Adam Shelton Center, Paris)
Paris, adalah kota dimana seorang ahli psikoterapi, Howard Buten (yang juga sebagai aktor Hollywood dan juga aktor pantomim), mengabdikan pekerjaannya menangani beberapa kasus autistik. Ia dan beberapa rekannya yang lain, telah menangani berbagai jenis autistik dengan beberapa yang memiliki ciri unik juga. Seperti halnya, Martin, seorang anak yang biasa dikategorikan sebagai
High-Function (kemampuan khusus) Autistik. Sebelumnya, mari kita mengetahui apa itu High-Function Autism.
Menurut Chris Williams dan Barry Wright di bukunya yang berjudul
How To Live with Autism and Asperger Syndrome,
Spoiler:
High Function Autism adalah termasuk salah satu diagnosa lanjutan dari ASD (Autism Spectrum Disorder) yang menjurus ke arah yang lebih terperinci. Yaitu, orang-orang yang memiliki kesulitan seperti pada umumnya anak yang mengidap Autism tapi memiliki tingkat intelegen rata-rata atau diatasnya.
Martin termasuk kedalamnya. Martin adalah seorang penyaru (peniru) yang sangat ulung dibandingkan daripada sebuah radio yang menyiarkan suara seseorang yang sebelumnya berada dibalik mikrofon. Martin mampu mengingat dan memproduksi ulang seluruh hal yang ia dengar.Kalau kita menginginkan untuknya mengucapkan secara terbalik atau mundur, Martin mampu melakukannya. Paradoksnya, ketika Martin mengucapkan sepatah kalimat yang memang menjadi dirinya sendiri, ia melakukannya dengan ekspresi datar, tanpa nuansa dan irama yang tidak bervariasi). Ia sungguh bisa menjadi seorang aktor hebat, kalau ia mampu menyadarinya
Suatu hari, ketika Howard (Howard Buten, Ph.D.) sedang melakukan uji coba psikoterapi "Gestalt" didalam sesi terapi-nya kepada Martin(ala Fritz Perls pada 1960-an).
Spoiler: -Psikologi gestalt bisa dibilang memiliki dua mahzab. yang satu adalah teori dari Wertheimer, Kohler, dan Koffka yang secara garis besar tertarik pada masalah pada bagaimana manusia (otak mereka, pikiran mereka) memperlakukan persepsi kelima indra (sebagai contoh: Pada saat kita melihat satu bujur sangkar. Sekalipun ada cukilan kecil yang hilang dari salah satu sisinya, atau cukilan mini disana-sini, atau bermotif totol, besar atau kecil, terputar kesana sini, bagi mata perspektif kita benda itu masih bujur sangkar.)
sedangkan Perls meminjam hal tersebut dan menerapkannya pada masalah-masalah kehidupan emosional. Menurut Perls, kita cendrung merasakan kehidupan kita (hubungan antar sesama, ingatan sadar dan bawah sadar, situasi emosi) sebagai gestalt emosi. Dan menurutnya lagi, Gestalt-gestalt emosi ini bisa "terbuka" dan "tertutup". Jika seseorang merasa tidak enak (gelisah), mungkin didalam hidupnya itu terdapat suatu hubungan, ingatan, atau situasi yang dirasakannya "terbuka" (yang seharusnya ia merasakan sebagai hal yang "tertutup").
Jadi, Perls mengatakan, agak orang itu merasa lebih baik dan mampu melanjutkan hidupnya, ia harus melibatkan hal yang "terbuka" tersebut dalam kehidupan nyata. Tidak cukup hanya dibicarakan. (Jadi ketika marah, menurut Perls seseorang harus melakukan ritual seperti memukul bantal sebagai pelampiasan amarahnya dan ritual ritual lainnya yang melibatkan seseorang dengan kehidupan nyata)
Sehingga nantinya, hal yang seharusnya "tertutup" tersebut dapat ia "tutup" dan pendam sehingga tidak dapat merisaukannya lagi.
Howard meminta Martin untuk duduk diantara dua kursi yang berhadapan (Howard mengambil jarak 1 meter diantaranya)
"Lihatlah kursi di depanmu, Martin. Dengan menggunakan gambaran-gambaran dalam otakmu (Martin selalu membicarakan "gambaran-gambaran dalam otak"-nya kepada Howard), bayangkan bahwa Martin sedang duduk di situ, di depanmu. Martin-2. Kau sendiri Martin-1. Yang duduk di depanmu adalah Martin-2."
"Orangnya tidak sama," balas Martin.
"Nanti kita lihat ..."
"Mau kembali jadi 'Martin-yang-tadi-datang'," pinta Martin lagi kepada Howard.
"Ide bagus. Lihatlah Martin-2, Martin yang duduk di depanmu. Dia akan jadi 'Martin-yang-tadi-datang'."
Martin bereaksi seolah-olah sedang mengetes salah satu dirinya yang ada dihadapannya. Lalu ia tersenyum dan mengatakan,
"Memang dia!"
"Memang. Katakan sesuatu padanya," perintah Howard.
Lalu, Martin menirukan suara ayahnya dan mulai menunjukkan bakatnya sebagai peniru ulung, "Jangan, jangan, jangan ... Kau pikir, apa yang kau ... Oh, hebat, kau menghancurkan tape recorder itu lagi ..."
"Bukan. Aku ingin yang berbicara kepada 'Martin-yang-tadi-datang adalah Martin-1," pinta Howard sekali lagi kepada Martin.
"Orangnya tidak akan sama," balas Martin.
"Biar saja ..."
"Ada Martin-1 dan Martin-2," ucap Martin.
"Tanya kepada Martin-2 apakah ia ingin tetap Autistik."
"Aku takut berhenti jadi Autistik," gumam Martin menjawab permintaan Howard.
"Tanyalah kepada Martin-2."
"Aku takut," balas Martin lagi.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Howard.
"Kau yang bilang."
Sebelum sesi terapi yang sedang dijalani Howard saat itu, Howard melakukan hipotesa bahwa Martin takut ia tidak akan menjadi autistik lagi. Melihat bahwa, ia selalu menciptakan suara-suara yang selalu ia gunakan sebagai dirinya sendiri. Sehingga, siapapun yang mempersepsikannya akan melihat bahwa ia mungkin tidak ingin sendiri sehingga ia melakukan hal-hal yang kita sebut sebagai menirukan. Tapi, hingga saat itu Martin belum mengungkapkan pendapatnya.
"Martin. Tanya Martin-2"
Martin melihat ke kursi yang ada dihadapannya. "Apa kau taku tidak menjadi autistik lagi?"
"Sekarang, duduklah dikursi satunya. (lalu Martin melakukannya). Bagus! Sekarang, Martin-2, jawablah martin-1."
Lalu Martin menirukan suara Howard yang sebelumnya pernah ia dengar, "Begini, Teman, hadapi sajalah!" Tapi itu bukanlah sebagai jawaban sebagai dirinya sendiri (menurut Howard).
Sehingga, Howard mengulangi lagi dengan mengatakan, "Martin-2, Martin-yang-tadi-datang, jawablah pertanyaan Martin-1."
Dan akhirnya sesi terapi tersebut berakhir (tidak ada cerita lebih lanjut lagi tentang terapi ini)
Dihari lainnya, Martin mulai menghancurkan dirinya sendiri. Ia mulai menghadapi yang biasa kita sebut perang batin (mungkin karena ia mulai terlihat jelas siapakah dirinya sendiri dan gambaran-gambaran lain yang ada dirinya). Ia kehilangan kendali, tak dapat mengekang diri. Ia berteriak, "ada yang salah dengan diriku!"
Ia bahkan mulai memecahkan segalanya masih dalam keadaan yang terlihat frustasi. Ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi 'martin-yang-tadi-datang'. Lalu seluruh rekan Howard berada dalam perdebatan hebat mengenai Refleksi Skematis Terakhir tentang Martin. Yang intinya, ada sesuatu yang salah mengapa Martin bersikap seperti itu. Howard mengeluarkan hipotesis seperti ini:
Spoiler:
Perilaku Martin akhir-akhir ini mencerminkan suatu keadaan rasa takut yang sebenarnya: rasa takut akan kekosongan psikologis. Kekosongan ini tercipta karena tidak adanya hubungan objek afektif yang seharusnya memberikan arti pada kehidupan: Cinta, Persahabatan, Kasih sayang, berbagi, kebanggaan, rasa malu, kedermawanan, Empati. Ketidakmampuan merasakan hal seperti ini memang bawaan autisme. Sampai saat ini, Martin menggunakan pertahanan autistik klasik untuk menangkis kekosongan nonautistik ini (streotip gerakan, stereotip suara, isolasi).
Namun, sudah beberapa lama ini kita melihat adanya penurunan yang jelas dalam perilaku dan isolasi streotipikal Martin. Sistem pertahanan autistiknya, autisme Martin sendiri, tampak mulai menghilang.
Kegelisahan yang dirasakan Martin bersifat, menurut definisi, nonautistik. (Tidak ada unsur autistik dalam merasakan kegelisahan nyata akibat adanya kekosongan yang nyata.) Tetapi, cara pertahanan apa yang sekarang dapat ia gunakan untuk melawan kegelisahan nyata yang ditimbulkan akibat kekosongan itu?
Jawab: Martin, yang memang selalu brilian, sudah menemukan cara untuk memamfaatkan kegelisahan itu sendiri sebagai pertahanan melawan kegelisan: dia "memainkan" kegelisahan itu. Begitu merasakan kegelisahan datang, dia mulai "berakting" gelisah (mengulang isakan dan teriakan diluar kepala, seperti kalimat-kalimat dalam sandiwara). Kegelisahan Martin adalah nyata sekaligus pura-pura.
Seandainya benar bahwa sistem pertahanan Martin yang lama mulai menghilang, itu pasti karena kekosongan autistiknya, entah bagaimana, mulai terisi. Kita sudah melihat tanda-tanda persahabatan, kedermawanan, kebanggaan. Ini kemajuan.
Strategi kita haruslah membantu Martin melepaskan dirinya dari sistem pertahanan yang baru, dan pada saat yang sama membantu dia mengisi kekosongan itu.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, kita harus menetapkan satu sikap umum terhadap pertahanan teatrikal Martin (kalau sedang teatrikal): hilangkan pertahanan itu dengan menghilangkan semua reaksi yang mengakui keberadaan pertahanan tersebut. Pada saat yang sama, kita harus mengajari Martin hal-hal yang memberi arti pada hidup ini ... dengan membicarakan hal-hal itu, dan di atas segalanya, dengan teladan kita sendiri.
H.B., 3 Maret
Pertanyaan: Bagaimana kita dapat memperlihatkan hal yang membuat hidup ini berharga kepada seorang autistik?
jawab: akali saja.
Lalu, Howard mencoba mengimplementasikan. Dari yang sebelumnya dalam tahap terapi mereka melakukan dengan poster dan sandiwara, takkan ada lagi poster-poster dan sandiwaranya tidak akan berjudul (sama seperti seorang guru teater menerapkan suatu emosi dengan melibatkan dirinya secara langsung, namun tetap sandiwara. Tentu untuk lebih bisa dirasakan seseorang tentang suatu hubungan emosi dengan lawan mainnya).
"Martin, kita akan mencoba melatih ide penghiburan sekarang," kata Howard.
"Tidak ada lagi poster karena apa?"
"Kita akan mencoba melatih penghiburan," jawab Howard.
Lalu, Martin menirukan lagi suara orang lain, "Oke, Martin, kau boleh dapat penghiburan, tapi kalau kau memecahkannya, hati-hatilah kau!"
"Apabila seseorang sedang sedih atau marah, dan kau mencoba bersikap baik kepada orang ini supaya dia tidak sedih atau marah lagi, itu disebut menghibur," terang Howard.
Martin lagi-lagi menirukan suara orang lain, "Hadapi saja, teman!"
"Ambil contoh ibumu ..."
Martin kembali menirukan suara seseorang, "Martin, ibumu benar-benar marah! Betulkan, sayang? Ya, betul. Ibu benar-benar marah!"
"Martin ..."
"Apa?"
"Kau cinta ibumu?" tanya Howard.
"Ya."
"Kautahukan, kadang-kadang ibumu khawatir ..."
"Aku mau TV yang berkabut ... TV yang berkabut? Tidak boleh!" kata Martin.
"Ibumu mengkhawatirkanmu, Martin."
"Aku sangat khawatir, Dr. Buten. Dia merobek-robek bajunya lagi," tiru Martin menirukan suara ibunya.
"Nah, kalau kau mencintainya, kau harus menghiburnya."
Howard mulai mengajarkan bagaimana seseorang yang khawatir kepada Martin. Martin menirukannya. Setiap ia berhasil menirukannya, Howard memberikan penghargaan kepadanya.
Lalu, Howard tiba-tiba meninggalkannya ia menaiki tangga dan Martin mengikutinya.
"Kau kelihatan marah!" katanya.
Aku mengangguk. "Lihat kan, Martin? Kau sudah ada kemajuan."
"Kenapa bilang begitu?"
"Kau mengenali kemarahan. Sebelumnya, kau tidak bisa."
"Kau marah karena apa?"
"Kau tahu kenapa," jawab Howard sambil menatapnya.
"Aku minta maaf!" kata Martin.
"Sudah terlambat."
"AKU MINTA MAAF!"
"Kau tahu kenapa aku bilang kau sudah ada kemajuan?" tanya Howard kali ini dengan ekspresi yang berbeda dari sebelumnya.
"Tidak."
"Karena kau memahami bahwa aku marah ... Yah, bahwa aku setidaknya sedang pura-pura marah ..."
"Ini kan hanya untuk bersenang-senang."
"... dan itu berarti, kau mulai merasakan dalam dirimu apa yang orang lain rasakan," kata Howard meneruskan dan tidak memperhatikan Martin.
"Tidak ..."
"Itu disebut 'empati' ..."
"Aku akan menghancurkannya," kata Martin memotong pembicaraan.
Namun Howard tidak mempedulikannya dan melanjutkan, "... perasaan orang lain."
"Itu tidak sama," kata Martin.
"Seandainya kau tahu setengahnya saja ..." Kata Howard.
Tiga bulan kemudian, Ibu Martin menelpon Howard dengan penuh haru. Malam sebelumnya, Martin pulang sangat terlambat dari klinik. Ketika Martin masuk, ibunya berkata, "Martin! Syukurlah kau disini! Ibu khawatir sekali"
Dan, menurut ibunya, Martin menjawab, "Jangan khawatir, Bu. Aku disini sekarang."
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Martin menghibur seseorang.
------------------selesai---------------------
kisah ini dikutip dari buku karya Howard Buten, Ph.D. dengan judul: dinding-dinding kaca. Terbitan Qanita. Tahun: 2005.