andree_erlangga
New member
Harga berbagai kebutuhan pokok terus naik. Dan tak bisa dipungkiri, masyarakat golongan bawahlah yang paling merasakan. Penghasilan yang tak banyak berubah membuat mereka semakin kesulitan untuk hidup.
Ibu Warsih, misalnya. Perempuan yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung ini adalah gambaran kecil dari ribuan keluarga serupa yang langsung merasakan betapa sulitnya hidup di tengah kondisi saat ini. Memiliki suami sebagai tukang sol sepatu dan empat anak, Warsih harus menyiasati uang Rp 20 ribu untuk makan setiap hari.
Bila beberapa waktu sebelumnya duit sebesar itu cukup untuk memenuhi menu sarapan sekeluarga dengan ayam dan sayuran. Namun, kali ini ia harus menggantinya dengan sepotong ikan asin tanpa sayuran. Bahkan, terkadang Warsih harus membeli beras dengan kualitas rendah karena makanan pokok tersebut terus naik.
Dan masih ada ribuan Warsih yang harus menghadapi kenyataan pahit dengan beratnya beban hidup. Tentunya mereka berharap pemerintah bisa mengambil langkah praktis dan tidak hanya mengumbar janji. Kemelaratan ini sangat ironis bila dibandingkan dengan anggaran yang cukup besar bagi setiap anggota DPRD yang sekarang sedang diperdebatkan.
Kemiskinan pun terlihat di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Makan seadanya akibat melonjaknya harga beras kini dialami warga Desa Bringinsari. Rokhana, umpamanya. Sudah dua bulan ini dia terpaksa menyantap nasi aking yang dilengkapi dengan lauk cabai kukus atau ikan asin. Nasi aking ia kumpulkan dari nasi sisa yang dikeringkan, dicuci, lalu ditanak kembali.
Bukan hanya keluarga Rokhana. Kondisi serupa dialami lebih dari 200 kepala keluarga di desa yang terletak di pegunungan di Kendal. Akibat gagal panen, warga tidak mampu lagi membeli beras yang harganya melonjak dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000 per kilogram. Tak aneh, bila kemudian nasi aking yang biasanya untuk makan ternak beralih menjadi santapan sehari-hari.
Di satu sisi, mereka jelas tak menginginkan kejadian itu terulang. Namun di sisi berbeda, bantuan beras dari sejumlah pihak hanya menyelesaikan masalah sementara tanpa dapat mencabut akar kemiskinan yang dialami mereka.
Ibu Warsih, misalnya. Perempuan yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung ini adalah gambaran kecil dari ribuan keluarga serupa yang langsung merasakan betapa sulitnya hidup di tengah kondisi saat ini. Memiliki suami sebagai tukang sol sepatu dan empat anak, Warsih harus menyiasati uang Rp 20 ribu untuk makan setiap hari.
Bila beberapa waktu sebelumnya duit sebesar itu cukup untuk memenuhi menu sarapan sekeluarga dengan ayam dan sayuran. Namun, kali ini ia harus menggantinya dengan sepotong ikan asin tanpa sayuran. Bahkan, terkadang Warsih harus membeli beras dengan kualitas rendah karena makanan pokok tersebut terus naik.
Dan masih ada ribuan Warsih yang harus menghadapi kenyataan pahit dengan beratnya beban hidup. Tentunya mereka berharap pemerintah bisa mengambil langkah praktis dan tidak hanya mengumbar janji. Kemelaratan ini sangat ironis bila dibandingkan dengan anggaran yang cukup besar bagi setiap anggota DPRD yang sekarang sedang diperdebatkan.
Kemiskinan pun terlihat di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Makan seadanya akibat melonjaknya harga beras kini dialami warga Desa Bringinsari. Rokhana, umpamanya. Sudah dua bulan ini dia terpaksa menyantap nasi aking yang dilengkapi dengan lauk cabai kukus atau ikan asin. Nasi aking ia kumpulkan dari nasi sisa yang dikeringkan, dicuci, lalu ditanak kembali.
Bukan hanya keluarga Rokhana. Kondisi serupa dialami lebih dari 200 kepala keluarga di desa yang terletak di pegunungan di Kendal. Akibat gagal panen, warga tidak mampu lagi membeli beras yang harganya melonjak dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000 per kilogram. Tak aneh, bila kemudian nasi aking yang biasanya untuk makan ternak beralih menjadi santapan sehari-hari.
Di satu sisi, mereka jelas tak menginginkan kejadian itu terulang. Namun di sisi berbeda, bantuan beras dari sejumlah pihak hanya menyelesaikan masalah sementara tanpa dapat mencabut akar kemiskinan yang dialami mereka.