andree_erlangga
New member
Pemerintah tak berharap banyak atas kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. Namun kunjungan itu dapat dimanfaatkan untuk menegosiasi ulang sejumlah kontrak tambang dan energi yang dinilai merugikan rakyat Indonesia seperti Freeport, Newmont, pertambangan minyak di blok Natuna, dan Cepu. Demikian disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono di Jakarta.
PT Freeport Indonesia misalnya, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup, sekitar 50 persen penduduk yang berada di sekitar daerah operasi perusahaan tambang di Kabupaten Jayawijaya, Papua ini berada di bawah garis kemiskinan. Sebesar 35 persen di antaranya adalah penduduk asli seperti warga Kampung Asmat yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan limbah tailing PT Freeport di pesisir Pantai Mimika.
Mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan bertahan hidup dengan mengandalkan hasil tangkapan di sungai dan berburu. Padahal, warga kampung ini hidup berdampingan dengan perusahaan yang membuat Papua menjadi provinsi dengan produk domestik bruto terbesar ketiga di Indonesia. Ironis.
Menurut ekonom Econit, Endri Saparini, kondisi ini disebabkan bagi hasil Freeport dan perusahaan tambang asing lain yang tak sepadan. Hal senada disampaikan Walhi terutama soal hak ulayat. Karena itu, Endri menilai kedatangan Bush bisa dijadikan momentum menegosiasi ulang kontrak karya agar kehidupan masyarakat sekitar perusahaan tambang itu bisa lebih baik.
Pihak Freeport sendiri mengklaim telah membentuk dana perwalian senilai US$ 7,5 juta bagi Suku Amungme dan Kamoro yang tinggal di lokasi operasi. Anak perusahaan Freeport McMoRan ini juga membagikan dana US$ 1 juta per tahun sebagai hak ulayat.
Biaya tersebut memang bukan biaya yang kecil. Tapi faktanya, berdasarkan indeks pembangunan manusia provinsi terutama indikator kesehatan dan pendidikan, masyarakat Papua tetap berada di ranking 27 atau lima terbawah di Indonesia
PT Freeport Indonesia misalnya, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup, sekitar 50 persen penduduk yang berada di sekitar daerah operasi perusahaan tambang di Kabupaten Jayawijaya, Papua ini berada di bawah garis kemiskinan. Sebesar 35 persen di antaranya adalah penduduk asli seperti warga Kampung Asmat yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan limbah tailing PT Freeport di pesisir Pantai Mimika.
Mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan bertahan hidup dengan mengandalkan hasil tangkapan di sungai dan berburu. Padahal, warga kampung ini hidup berdampingan dengan perusahaan yang membuat Papua menjadi provinsi dengan produk domestik bruto terbesar ketiga di Indonesia. Ironis.
Menurut ekonom Econit, Endri Saparini, kondisi ini disebabkan bagi hasil Freeport dan perusahaan tambang asing lain yang tak sepadan. Hal senada disampaikan Walhi terutama soal hak ulayat. Karena itu, Endri menilai kedatangan Bush bisa dijadikan momentum menegosiasi ulang kontrak karya agar kehidupan masyarakat sekitar perusahaan tambang itu bisa lebih baik.
Pihak Freeport sendiri mengklaim telah membentuk dana perwalian senilai US$ 7,5 juta bagi Suku Amungme dan Kamoro yang tinggal di lokasi operasi. Anak perusahaan Freeport McMoRan ini juga membagikan dana US$ 1 juta per tahun sebagai hak ulayat.
Biaya tersebut memang bukan biaya yang kecil. Tapi faktanya, berdasarkan indeks pembangunan manusia provinsi terutama indikator kesehatan dan pendidikan, masyarakat Papua tetap berada di ranking 27 atau lima terbawah di Indonesia