BambangAja
New member
Aturan tentang tata ruang wilayah dan peruntukan lahan baru di bibir saja.
sumber : newspaper
PEMIMPIN di negeri ini berbangga karena kota-kota besar di Indonesia berkembang sangat pesat.
Sisi modern menjadi ikon dan menghiasi kehidupan di seluruh kota besar di Tanah Air.
Tidak hanya di Ibu Kota, pembangunan kota yang agresif juga menjamur hingga ke kota
madya dan ibu kota kabupaten.
Tak dapat dipungkiri, desakan ekonomi menjadi pemicu agresivitas pertumbuhan pembangunan di
kota-kota itu. ironisnya, pembangunan cenderung dilakukan tanpa mengacu pada aturan tata
ruang. Menurut pakar tata ruang dan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, sudah terlalu
banyak penetrasi dan invasi yang dilakukan pelaku usaha yang hanya mementingkan unsur
komersil. Akibatnya, seperti manusia yang terlalu banyak makan,
kota menghadapi masalah obesitas.
Hal itu dengan mudah dilihat di Kota Jakarta, antara lain ditunjukkan dengan jumlah mal
yang ada. Sebagai kota megalopolis, Jakarta mencatat rekor memiliki jumlah mal terbanyak
di dunia. Sebanyak 130 mal berdiri berdesak-desakan di kota ini.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia,
hanya memiliki pusat perbelanjaan yang tak lebih dari 100 unit.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia, hanya memiliki pusat perbelanjaan
yang tak lebih dan 100 unit. Yayat memprediksi obesitas Jakarta akan terus bertambah karena
para pengembang tak henti-hentinya membangun pusat perbelanjaan seperti proyek superblok
yang saat ini terus menjamur.
Menurut data yang dimiliki pengamat properti Panangian Simanungkalit, di luar peruntukan
jalan, terminal, masjid, dan fasilitas umum lain, sekitar 90% láhan di perkotaan digunakan
untuk bangunan seperti perkantoran dan permukiman. Dapat dibayangkan bagaimana
bangunan-bangunan itu berdiri dalam sebuah wilayah kecil yang padat.
“Tata ruang di kota besar itu sudah benar-benar berantakan. Peran regulator yang
seharusnya mengendalikan tidak berjalan.”
Regulator yang diperankan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umurn (PU), menurut dia,
tidak memfokuskan kebijakan ke penataan ruang.
Otonomi daerah
Di sisi lain, otonomi daerah juga ikut menjadi penyumbang kesemrawutan tata kota. Sesuai
dengan regulasi tentang otonomi daerah, kepala daerah dibebaskan menentukan segala hal
yang berhubungan dengan hajat hidup wilayahnya sesuai dengan selera sang pemimpin daerah.
Akibatnya, banyak kebijakan pusat yang bertabrakan dengan peraturan daerah.
Sama seperti di Jakarta, di daerah tata ruang yang berantakan juga terlihat dan banyaknya
invasi penggunaan lahan yang melanggar peruntukannya.
Seperti lahan yang seharusnya berfungsi sebagai serapan air justru dipakai untuk stasiun
pengisian BBM. Atau fasilitas umum yang malah berubah menjadi bangunan komersial.
“Solusi hanya satu, eksekutor aturan harus memperlakukan aturan tata ruang sebagai
software sebab aturan bukan hardware,” paparnya. Pemerintah mengklaim peruntukan lahan di
setiap wilayah kota sudah diatur pada rencana tata ruang. Berdasarkan aturan itu,
tiap-tiap daerah mengatur tata ruang dan peruntukan lahan sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah (RTRW). Namun, Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S Ernawi mengaku upaya
pengawasan tata ruang oleh pemerintah pusat di daerah itu baru dirintis dan saat ini tengah berjalan.
“Tengah kami coba untuk pengawasan bertingkat. Kita mulai bergerak ke provinsi.
Nanti provinsi lalu mengawasi ke bawahnya secara bertingkat. Sampai sekarang laporan
dari provinsi juga belum masuk.” Seharusnya Pemda telah menyerahkan hasil revisi RTRW
yang mencantumkan kebijakan peruntukan lahan di wilayahnya. Termasuk wilayah yang digunakan
untuk kawasan industri atau perumahan skala besar yang dilengkapi dengan fasilitas mewah.
Segala peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW yang baru akan diberikan waktu
transisi selama beberapa tahun untuk menyesuaikan dengan RTRW yang baru.
Sisi modern menjadi ikon dan menghiasi kehidupan di seluruh kota besar di Tanah Air.
Tidak hanya di Ibu Kota, pembangunan kota yang agresif juga menjamur hingga ke kota
madya dan ibu kota kabupaten.
Tak dapat dipungkiri, desakan ekonomi menjadi pemicu agresivitas pertumbuhan pembangunan di
kota-kota itu. ironisnya, pembangunan cenderung dilakukan tanpa mengacu pada aturan tata
ruang. Menurut pakar tata ruang dan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, sudah terlalu
banyak penetrasi dan invasi yang dilakukan pelaku usaha yang hanya mementingkan unsur
komersil. Akibatnya, seperti manusia yang terlalu banyak makan,
kota menghadapi masalah obesitas.
Hal itu dengan mudah dilihat di Kota Jakarta, antara lain ditunjukkan dengan jumlah mal
yang ada. Sebagai kota megalopolis, Jakarta mencatat rekor memiliki jumlah mal terbanyak
di dunia. Sebanyak 130 mal berdiri berdesak-desakan di kota ini.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia,
hanya memiliki pusat perbelanjaan yang tak lebih dari 100 unit.
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia, hanya memiliki pusat perbelanjaan
yang tak lebih dan 100 unit. Yayat memprediksi obesitas Jakarta akan terus bertambah karena
para pengembang tak henti-hentinya membangun pusat perbelanjaan seperti proyek superblok
yang saat ini terus menjamur.
Menurut data yang dimiliki pengamat properti Panangian Simanungkalit, di luar peruntukan
jalan, terminal, masjid, dan fasilitas umum lain, sekitar 90% láhan di perkotaan digunakan
untuk bangunan seperti perkantoran dan permukiman. Dapat dibayangkan bagaimana
bangunan-bangunan itu berdiri dalam sebuah wilayah kecil yang padat.
“Tata ruang di kota besar itu sudah benar-benar berantakan. Peran regulator yang
seharusnya mengendalikan tidak berjalan.”
Regulator yang diperankan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umurn (PU), menurut dia,
tidak memfokuskan kebijakan ke penataan ruang.
Otonomi daerah
Di sisi lain, otonomi daerah juga ikut menjadi penyumbang kesemrawutan tata kota. Sesuai
dengan regulasi tentang otonomi daerah, kepala daerah dibebaskan menentukan segala hal
yang berhubungan dengan hajat hidup wilayahnya sesuai dengan selera sang pemimpin daerah.
Akibatnya, banyak kebijakan pusat yang bertabrakan dengan peraturan daerah.
Sama seperti di Jakarta, di daerah tata ruang yang berantakan juga terlihat dan banyaknya
invasi penggunaan lahan yang melanggar peruntukannya.
Seperti lahan yang seharusnya berfungsi sebagai serapan air justru dipakai untuk stasiun
pengisian BBM. Atau fasilitas umum yang malah berubah menjadi bangunan komersial.
“Solusi hanya satu, eksekutor aturan harus memperlakukan aturan tata ruang sebagai
software sebab aturan bukan hardware,” paparnya. Pemerintah mengklaim peruntukan lahan di
setiap wilayah kota sudah diatur pada rencana tata ruang. Berdasarkan aturan itu,
tiap-tiap daerah mengatur tata ruang dan peruntukan lahan sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah (RTRW). Namun, Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S Ernawi mengaku upaya
pengawasan tata ruang oleh pemerintah pusat di daerah itu baru dirintis dan saat ini tengah berjalan.
“Tengah kami coba untuk pengawasan bertingkat. Kita mulai bergerak ke provinsi.
Nanti provinsi lalu mengawasi ke bawahnya secara bertingkat. Sampai sekarang laporan
dari provinsi juga belum masuk.” Seharusnya Pemda telah menyerahkan hasil revisi RTRW
yang mencantumkan kebijakan peruntukan lahan di wilayahnya. Termasuk wilayah yang digunakan
untuk kawasan industri atau perumahan skala besar yang dilengkapi dengan fasilitas mewah.
Segala peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW yang baru akan diberikan waktu
transisi selama beberapa tahun untuk menyesuaikan dengan RTRW yang baru.
sumber : newspaper