Patungnya memang berdasarkan cerita legenda, yang berarti belum bisa dibuktikan keberadaannya...just urban legend...
Tapi Kebo Iwa itu memang ada dalam sejarah...Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan khususnya di Bali ataupun Jawa...
Panglima muda yang bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat ibadah di Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya...
Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, memandang Kebo Iwa dan Pasung Grigis, panglima Bali yang lebih senior dan ahli strategi militer, sebagai batu sandungan politik ekspansionisnya. Untuk itu ia melakukan tipu muslihat dengan menghadap raja Bali dan menawarkan perdamaian. Ia mengundang Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit dan dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis sebagai tanda persahabatan antar kedua negara. Namun sesampai di Majapahit, Kebo Iwa kemudian dibunuh....
Gugurnya Kebo Iwa mempermudah ekspedisi penaklukan Bali yang dipimpin Adityawarman, panglima berdarah Singhasari-Dharmasraya, pada tahun 1343....
Soal Kebo Iwa ini banyak tertulis di beberapa pupuh/piagem/prasasti...
Seperti yang tertulis pada piagem dukuh gamongan, yang isinya tentang asal usul keturunan dari Kebo Iwa:
....sira Sri Jaya Katong awerdhi putra rwang siki, kang wayah, apuspa ta sira Sri Rigis, arinira apanengeran ira Sri Karang Buncing, apan pametwanira Lanang Stri pwa sira, risampun mendraguna pwa sira, Sri Rigis kadama putra pwa sira, dening sira Pasung Grigis, apan sira, anyukla Brahmacaryya, tan adwe Santana, sira Sri Rigis amuja palikrama maring Kahyangan nira Hyang Gnijaya, anisyanin, sasukuning gunung Lempuyang, sira Sri Karang Buncing, amupu maring Batahanyar, sasareng lawan yayahnira, Sri Jaya Katong, risampun Sri Taruna Jaya, angraksa rajya, sira Sri Jaya Katong, neher kagunung Hyang, nincap wanaprasta, ngastiti Hyang Widhi, nyujur patapan aguron-guron, lawan hyang hyang nira, sedaya...
Yang artinya,
...beliau Sri Jaya Katong, menurunkan dua orang putra, yang sulung diberi nama Sri Rigis dan adiknya diberi nama Sri Karang Buncing, karena beliau kelahiran laki dan perempuan (kembar buncing), setelah beliau cukup dewasa, Sri Rigis diangkat menjadi anak oleh beliau Sri Pasung Grigis, karena beliau menjalani hidup nyukla brahmcaryya (tidak kawin selamanya), tidak mempunyai keturunan, beliau Sri Rigis yang memuja dan menghaturkan persembahan umatnya ditempat suci Hyang Gnijaya, menjalani hidup suci dan mendoakan seluruh kehidupan yang ada di Gunung Lempuyang, beliau Sri Karang Buncing, yang tinggal di Batahanyar, bersama ayahnda Sri Jaya Katong, setelah Sri Taruna Jaya menjadi Raja, beliau Sri Jaya Katong pergi ke Gunung Hyang, menjalani kehidupan wanaprasta (hidup suci), memuji kebesaran Hyang Widhi, mengikuti jejak perjalanan suci dari para leluhur mereka dahulu, seterusnya...
Masih dari piagem yang sama tertulis,
...sira Sri Karang Buncing, nyakraweti, byuh bala, mwang kasung dening wong sarat maring Bangsul, ring yusaning bumi, Retu Sagara Ngaksi Ulan, risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong karesmin lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angastiti Hyang, maring Pura Gaduh, Kahyangan gagaduhan prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing, ri sampun tugtug kasmalanira, metu putra Agung apanjang, tan sasameng wong, iningu inupakaranen, dening bagawanira, sira Pasung Grigis, wetning agung apanjang pangadeg ira, ika marmanyan kasambrat, Walungsingkal, wetning teguh Katong pawakanira, dening kakyang nira, maweha puspata pwa sira Sri Jaya Katong, ri sedeng mengpeng jajaka, nira pinaka dmakdada nira prabhu Bali, sira abhiseka Sri Kbo Taruna, wetning tanana adwe stri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, makweh nama nira wetning yasa nira, sira Sri Kbo Iwa, widagda wijaksana, kukuh angadegaken sastra dresti, hasta kosala kosali, pinagehaken, mwang tan tumamah dening sarwa astra, ika marmanya sira byuh bala, rinatwaken dening sarat, apan akweh yasanira angwangunaken pura pura, mwang empelan empelan, maring desa paradesa, angapti kakertaning jagat Bangsul, arinira Sri Kbo Iwa, apasadnya sira Sri Karang Buncing, apan nira metu lakibi, sewosan ring sang kalih, Sri Karang Buncing makweh mangaji putra, wetning Bibi Jenggi, ika marmanya Sri Karang Buncing, akweh maputra hana mapalarasan maring, Seraya, Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamlang, apan Sri Karang Buncing, ambawarupa, tulya Sanghyang Semara nyalantara, sakeng Bibi papadan wang, treh nira Sri Karang Buncing hana maring desa para desa, maka hulu hulu Bandadesa sajagat Bangsul...
Yang artinya,
...beliau Sri Karang Buncing yang memerintah, banyak kekuasaan, juga terhadap rakyat yang gugur di Bali, ialah pada umur bumi, Saka 1246/1324 Masehi, setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada batara yang ada di Pura Gaduh, Tempat Suci pemerintahan Raja Bali, atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri Sri Karang Buncing, setelah cukup umur kandungannya, lahir putra, tinggi besar, tak ada orang menyamai, dirawat, diasuh dan diupacarai oleh kakek beliau Bagawan Sri Pasung Grigis, oleh karena tinggi besar berotot badan beliau, itu makanya disebut Walungsingkal, karena tegap dan perkasa badannya, oleh kakek beliau dianugrahkan nama sama Sri Jaya Katong, selagi menginjak perjaka, beliau sebagai panglima perang raja Bali, beliau disebut Sri Kebo Taruna, sebab tidak beristri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, banyak nama lain beliau, karena jasa-jasa beliau disebut Kbo Iwa, karena pandai dan bijaksana, taat menjalani aturan-aturan agama, ahli dalam ilmu pembangunan, juga tidak mempan dengan sembarang senjata, dengan demikian banyak lawan yang takut karena kekuatan beliau, karena banyak jasa membangun kembali pura pura, juga bendungan-bendungan, yang ada didesa-desa, menjaga ketentraman jagat Bali, adik beliau Sri Kbo Iwa, bernama Sri Karang Buncing, sebab bliau lahir laki dan perempuan, selain lahir mereka berdua, Sri Karang Buncing banyak mempunyai putra berasal dari istri orang biasa (selir), maka dari itu Sri Karang Buncing banyak putra-putranya bertebaran berada didaerah Seraya, Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamblang, sebab Sri Karang Buncing sangat tampan rupawan, bagaikan Dewa Asmara dan Dewi Ratih kenyataan, dari istri bangsawan, keturunan Sri Karang Buncing ada didesa-desa sebagai pucuk pimpinan di jagat Bali...
Selain itu ada juga cerita legenda dan sejarah tentang Kebo Iwa yang terdapat pada purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, yang isinya kurang lebih sbb:
....Sekarang tersebut Sanghyang Siwa Pasupati setelah terbang diangkasa membawa bongkahan gunung yang diambil dari Gunung Mahameru, selanjutnya beliau berstana di Puncak Candi Purusada yang merupakan cikal bakal adanya Pulau Bali, dimana Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang Bali juga diberi sebutan Bhagawan Mangga Puspa yang dilukiskan dengan perawakan yang amat besar dan kekar dan juga disebut Bhatara Tengahing Segara dan lama kelamaan beliau mempunyai seorang putra yang perawakanya juga tinggi kekar, yang diberi nama Dewa Gede Kebo Iwa Sinuhun Kidul, yang selanjutnya Dewa Gede Kebo Iwa menjadi raja di Pulau Bali dengan gelar Raja Pajenengan / Sanghyang Sinuhun Kidul.
Sanghyang Sinuhun Kidul/Dewa Gede Kebo Iwa yang merupakan Awatara dari Sanghyang Brahma yang mana beliau mempunyai banyak sebutan bagi orang Bali seperti misalnya:
- Tatkala masih perjaka disebut Ki Taruna Bali.
- Pada saat menjadi raja bergelar Sanghyang Sinuhun Kidul.
- Pada waktu beliau membawa Tattwa Usadha dan Tattwa Kadyatmika bergelar Ida Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat.
- Pada saat beliau berstana di Gunung Gumang, bergelar Bhatara Gede Gunung Gumang.
- Tatkala beliau bersatu dengan Bhatara Kala dan berstana di Bale Agung disebut Bhatara Gede Sakti.
- Pada saat beliau mendirikan parahyangan di Bali bergelar I Dewa Gede Kebo Iwo.
- Tatkala beliau membawa tempat tirta lengkap dengan busana seperti gelang kana serta salipet kiwa tengen disebut Ida Bhatara Guru.
Beliau juga bergelar Bhatara Amurbeng Rat, manakala menciptakan tempat-tempat air seperti, Telaga Waja, Tirtha Bima, Tirtha Wahyu, Tirtha Sudhamala, Tirtha Erbang, Tirtha Mambar-mambur, Tirtha Sapuh Jagat, dan Tirtha Pasupati, yang letaknya tersebar di pulau Bali
Sekarang tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Buddha Berawa dengan merubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini ditimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Durgha Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya beliau menuju kebarat dan akhirnya beliau tiba di Pucak Padang Dawa, dan akhirnya beliau bertemu dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra, beliau itu merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan Dewanya Taksu kesenian, beliau juga dewanya para Dukun seperti Balian Engengan, Balian Katakson, Balian Usadha, Balian Konteng diwilayah Pulau Bali.
Pada Prasasti Pura Maospahit, juga terdapat cerita mengenai Kebo Iwa...
Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup sebagai suami istri, belum juga dikarunia putra, hati beliau sanagat sedih, lalu pada hari yang baik , beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, ring Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapat kelahiran seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga, yang berperawakan tinggi besar, tidak ada orang menyamai di bumi Bali ini, apalagi tentang kesaktianya, teguh, tidak mempan oleh senjata buatan manusia, ahli dalam bidang pembangunan, beliau sidhi ucap.
Pada tahun Caka 1185/1263 Masehi, lalu beliau Kebo Waruga mendirikan pasukan Taruna Watu, yang jumlah anggotanya sebanyak 33 orang, lalu beliau membangun Pura Dalem Maya pada tahun Caka 1197/1275 Masehi. Setelah selesai membangun pura, pada saat itu tahun Caka 1198/1276 Masehi, Kebo Waruga bingung pikirannya, lalu beliau menyelusup kedesa-desa seperti, Bualu, Pecatu, Tunggaking Pering, Kali Jajuwan, beliau dijunjung di jagat Kali Jajuwan itu, soal makanan Beliau sangat rakus, itu sebabnya badannya tinggi dan besar, oleh sebab itu kesengsaran dan bingung rakyat beliau, lalu Kebo Iwa mengutuk tempat itu dan dinamakan Desa Serangan. Kebo Iwa berjalan ke utara ke jagat Badung menjadi tukang bangunan suci seperti membuat Candi Raras Maospahit yang menghadap ke barat pada tahun Caka 1200/1278 Masehi.
Lagi diceritakan yang menjadi pimpinan jagat Kapal, Bali yang bergelar Dalem Rokaranti, tempat itu bernama Pastenganan yang letaknya arah tenggara Puri ne Kawit, disebut Dalem Pura Sada (Dalem Bringkit-Kebo Iwa), disana beliau mendirikan Candi Raras yang sudah dipastu, yang beliau katakan “ Bilamana ada seorang istri yang sedang mengandung masuk ke pura itu akan gugur kandungannya”. Desa Kapal itu juga dikutuk tidak boleh membangun mamakai bahan dari batu bata sampai kini, karena beliau yang patut memerintahkan kutukan bumi ini. Beliau bagaikan dewata yang dijunjung seperti Dewata Saking Kidul (Hyang Sinuhun Kidul). Karena Ida Kebo Iwa tidak punya tempat maka beliau mendirikan bale panjang yang disebut Bale Agung, juga mendirikan dapur di desa Sri Jong, Bale Panjang ada di desa Beda, serta semua rakyat tidak berani melawannya. Lagi diceritakan yang menjadi raja di jagat Bali saat itu adalah Ida Dalem Batu Ireng (Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana, Sri Tapa Hulung, Dalem Bedahulu), mengutus para Demung yang bernama Arya Kalung Singkal di desa Taro, Arya Tunjung Biru, Arya Tunjung Tutur juga patih Kopang di Batur, arya Pasung Grigis di Tengkulak, Ida Patih Giri Gemana di Jambirana, Patih Tambyak di Jimbaran membuat pondok prajurit mau menguji kesaktianya I Kebo Iwa. Tatkala di hari yang tepat diadakan pertarungan, Ida Sang Prabu Batu Ireng diiringi oleh Mantri Gudug Basur telah naik ketempat yang telah disiapkan, lalu suara kentongan berbunyi bertalu-talu, suara gambelan, suara gemuruh rakyatnya tak henti-hentinya.
Lalu Pasung Gerigis memerintahkan patih semuanya untuk melawan I Kebo Iwa mengadu kewisesan (perang tanding), semua patih dan rakyat kalah dalam mengadu tanding tersebut. Dengan demikian Prabu Batu Ireng kagum atas kekuatan I Kebo Iwa, lalu I Kebo Iwa diangkat menjadi patih andalan, kekuatan Ida I Kebo Iwa sangat terkenal sampai diluar pulau Bali.
Pada Babad Bara Batu, prasasti Pura Dalem Maya, Blahbatuh, Gianyar, diuraikan secara acak, isinya hampir sama dengan Prasasti Pura Maospahit hanya tambahan sebagai berikut, pada tahun Isaka 1185/1263 Masehi, Prajurit Taruna Batu, anggota sebanyak 33 orang, semuanya gagah berani berbusana serba putih, memakai destar Merah api, bunga Waribang Dwikarna, bersenjata Tamyang dan keris 10 orang pengawin samlong mapontang kuningan 10 dan membawa pratoda, dan tiga orang membawa air, pasepan, tirtha suci. Diceritakan lagi tahun Isaka 1197/1275 Masehi pasukan Teruna Batu membangun Pura Dalem Maya.
Dikisahkan lagi Patih Mada bermaksud membuat daya upaya jahat terhadap Sang Kebo Waruga bersama raja Bali karena tahu para patihnya tak ada menandingi kesaktiannya. Kemudian Patih Mada bersama para patih Wilwatikta mendarat di segara rupek di Gilimanuk, menuju ke Telukan Bawang, merambas tegalan di desa Garabong (Pulaki) serta desa Pangastulan, naik perahu menuju ujung gunung Tolangkir terus ke Tianyar dan Samprangan. Ketika diketahui kedatangan para mantri Jawa oleh pasukan Taruna Batu, disambut dengan ramah dan bersalaman, karena sebelumnya sudah ada tanda persahabatan dengan mengibarkan bendera putih, dan perlengkapan upacara agama, lantas diajak kerumah orang tuanya Karang Buncing di Blahbatuh, dan ditanya maksud atas kedatangannya, yaitu menjalankan perintah Sri Aji Wilwatikta melamar Kebo Iwa akan disandingkan dengan putri dari jawa Madura. Atas ijin sang raja lalu Kebo Iwa pamitan dengan para mantri semuanya, juga menghaturkan sembah bhakti dipura Gaduh, lalu menuju ke Pura Luhur, Uluwatu, melakukan yoga semadhi seorang diri tanpa ada orang yang mengiringi.
Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju pantai Pula Ayam (bali Tegil), di Benoa, menaiki perahu layar ke tengah samudra, lalu ada tanda yang tidak baik, hujan ribut dan kilat bersahu-sahutan, perahu layar diterjang ombak, tahu dirinya akan kena bencana dan ingat akan kewajiban sebagai seorang ksatrya yaitu kesetiaan, satrya artinya tak boleh ingkar janji, lalu turun berenang ketengah lautan mengobok-obok air laut bagaikan lajunya perahu layar. Kemudian beliau tiba di pulau Jawa dan disambut oleh kedatangannya oleh orang-orang Surabaya, Madura, tak terbilang banyak menyambut kedatangan Beliau, lalu disuruh membuat sumur dilereng gunung untuk tempat pemandian Sang Dyah dikala hari pernikahan nanti. Setelah Kebo Iwa dalam menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan-bongkahan batu, lalu disangga batu itu dengan kedua belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu.
Lalu kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap, Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tak akan mati oleh batu, juga dengan segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke pulau Bali, dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin mematikan aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua, semoga dikemudian hari di bumi ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semuanya akan kesusahan, demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal didalam sumur menuju kesunyian.
Sumber:
Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, karangan I Made Saka
Srikarangbuncing.com
-dipi-