nurcahyo
New member
MANUSIA, KEBEBASAN, DAN PEMBANGUNAN
Mengingat masa kelam Orde Baru yang se-ring disebut ?orde pembangunan?, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?
Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ?suci? sehingga atas namanya menjadi ?sahih? merampas hak-hak asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ?pembangunan?. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ?tumbal? (jer basuki mawa bea)?
Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah se-suatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.
Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ?kesalahan? besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.
Dengan demikian, masyarakat telah ?menyerahkan? kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ?melumpuhkan? diri sendiri.
Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ?intelektual tukang? maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.
Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ?ditujukan? untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.
Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ?kedigdayaan? rakyat.
Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.
Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ?Investasi ekonomi rakyat? (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.
***
Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).
Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.
Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.
Agenda ke Depan
Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).
Dan perlu disadari, akibat adanya ?dualisme ekonomi? sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan.
Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.
(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)
Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.
Mengingat masa kelam Orde Baru yang se-ring disebut ?orde pembangunan?, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?
Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ?suci? sehingga atas namanya menjadi ?sahih? merampas hak-hak asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ?pembangunan?. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ?tumbal? (jer basuki mawa bea)?
Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah se-suatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).
Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.
Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).
Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.
Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ?kesalahan? besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.
Dengan demikian, masyarakat telah ?menyerahkan? kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ?melumpuhkan? diri sendiri.
Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ?intelektual tukang? maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.
Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ?ditujukan? untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.
Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ?kedigdayaan? rakyat.
Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.
Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ?Investasi ekonomi rakyat? (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.
***
Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).
Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.
Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.
Agenda ke Depan
Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).
Dan perlu disadari, akibat adanya ?dualisme ekonomi? sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan.
Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.
Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.
(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)
Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.