Memutar Turbin Intelektual HMI

gupy15

Mod
Selasa, 06 Februari 2007

Memutar Turbin Intelektual HMI



Anas Urbaningrum
Ketua Umum PB HMI 1997-1999

Menjelang Kongres HMI di Yogyakarta tahun 1997, saya mengatakan bahwa jika HMI ingin mengembangkan tradisi intelektualisme, salah satu jalannya adalah tidak terjebak pada 'Nurcholishme'. Cak Nur yang memang menjadi ikon intelektual HMI, dan bahkan cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia, harus ditempatkan sebagai inspirator pengembangan intelektualisme tersebut. Bukan dijadikan 'berhala' dan kemudian justru melahirkan kejumudan baru, karena semua terpaku pada pemikiran Cak Nur.

Apa yang saya sampaikan tidaklah hebat, melainkan sekadar kalimat penggugah. Yang hebat adalah tanggapan Cak Nur terhadap apa yang saya lontarkan. Beliau menghubungi saya, dan menyatakan setuju dan apresiasi. Cak Nur menyatakan bahwa pengembangan tradisi intelektual tidak bisa dinisbatkan pada orang per orang. Pengembangan tradisi intelektual haruslah berbasis pada kebebasan berpikir.

Rekaman serpih sejarah ini sengaja diangkat untuk menggambarkan betapa tidak mudah mengembangkan tradisi intelektual. Namun demikian, sisi yang lain melukiskan betapa penting tradisi tersebut dijaga, dirawat, dikembangkan, dan dibangkitkan secara terus-menerus dalam dinamika kehidupan HMI. Sejarah mencatat bahwa HMI pernah melahirkan cendekiawan besar Nurcholish Madjid, juga banyak tokoh lainnya, dan sebaliknya kehadiran sosok Nurcholish Madjid telah memberikan warna dan nafas intelektual dalam sejarah HMI. Intelektualitas dan intelektualisme adalah pertanda hidup dari organisasi mahasiswa dan komunitas-komunitas terdidik.

Membangun kantong-kantong

Dalam hal tradisi intelektualisme, khususnya yang terkait dengan isu modernisasi Islam, HMI Cabang Ciputat dapat dikatakan paling menonjol. Bukan saja lantaran kehadiran sosok Nurcholish Madjid, tetapi juga karena ditopang oleh institusi perguruan tinggi Islam yang cukup berwibawa, IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN). HMI Cabang Ciputat juga berhasil melanjutkan tradisi tersebut pada generasi-generasi setelah Cak Nur. Ada lapisan Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dan sebagainya, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi Saiful Mujani, Ihsan Ali Fauzi, M Wahyuni Nafis dan generasinya.

Ini bukan berarti bahwa intelektualisme HMI hanya berkembang di Ciputat. Dalam banyak hal juga berkembang di tempat-tempat yang lain, seperti Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Makassar, Bogor, Medan, Semarang, untuk menyebut beberapa contoh. Lahirnya tokoh-tokoh intelektual di berbagai bidang, juga berkat intensitas perkaderan dan kebebasan berpikir yang dikembangkan HMI. Oleh karena itu, salah satu jalan untuk mengangkat dan membangkitkan kembali intelektualisme HMI adalah dengan membangun kantong-kantong, sesuai dengan pusat-pusat keunggulan pada perguruan tinggi dan sumberdaya alumni yang menjadi basis HMI cabang masing-masing.

Pengembangan kantong-kantong intelektualisme HMI yang berpusat pada cabang-cabang tertentu akan berpotensi menciptakan pusat-pusat keunggulan. Konsentrasi juga akan melahirkan keseriusan dan kerja keras. Agaknya tidak mungkin membangun kantong-kantong intelelektual secara khusus dan pusat-pusat keunggulan itu bisa berjalan tanpa adanya basis perguruan tinggi dan sumberdaya alumni yang memadai.

Pengembangan kantong-kantong khusus ini bukan bermakna bahwa intelektulisme HMI hanya dikembangkan di cabang-cabang tertentu. Justru harus dikembangkan di seluruh Indonesia. Sama halnya dengan Kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan pemerintah di daerah-daerah tertentu, jelas tidak bermakna bahwa daerah-daerah lain (pada umumnya) tidak boleh mengembangkan ekonominya. Justru kantong-kantong khusus inilah yang secara bertahap akan menjadi energi motivatif bagi cabang-cabang yang lain.

Arah baru intelektualisme
Acapkali tradisi intelektualisme dihadapkan dengan orientasi politik. Intelektualisme dinilai sebagai anak kandung idealisme, sementara orientasi politik dinilai sebagai bentuk telanjang dari pragmatisme. Cara pandang dikhotomis seperti ini tidak selalu tepat dan menguntungkan. Yang kurang baik adalah implikasi jangka panjangnya, di mana wilayah politik dijauhkan dengan warna, tradisi, dan komitmen intelektual. Inilah yang menjadi faktor penyebab mengapa kehidupan politik masing kering dari warna dan pengaruh intelektual.

Arah intelektualisme yang dikembangkan di HMI justru bertugas untuk mendamaikan wilayah akademis-intelektual dengan wilayah perjuangan politik praktis. Keduanya bukan saja harus direlasikan secara positif, tetapi bahkan wilayah perjuangan politik layak ditempatkan sebagai (bagian) kelanjutan proses pematangan intelektual di HMI, termasuk organisasi-organisasi mahasiswa yang lain.

Dalam kaitan itu, yang harus dikembangkan dalam rangka memajukan intelektualisme HMI bukanlah antiorientasi politik, melainkan kemampuan untuk menjaga independensi, 'bersabar' dan mencari waktu yang tepat untuk berkiprah di jalur perjuangan politik, setelah menjadi alumni. Justru intelektualisme kemudian menjadi salah satu modal berharga bagi para alumni HMI yang berkiprah di dunia politik, di samping kemahiran berorganisasi dan keterampilan komunikasi sosial.

Dengan demikian, secara organisatoris, HMI berwarna intelektualisme Islam dan berwawasan nasional, yang ditandai oleh kantong-kantong atau pusat-pusat keunggulan. Juga ditandai oleh tetap terjaganya independensi organisatoris dan etis, tidak menjadi 'jongos politik', dan selalu berada pada jalur membela kebenaran.

Pada jangka panjang, pengembangan intelektualisme di HMI dengan model demikian, akan memproduksi kader-kader intelektual yang pantas untuk memenuhi kebutuhan rekrutmen peran-peran keummatan dan kebangsaan. Artinya, apapun panggilan pribadi masing-masing untuk memilih kiprah dan perannya, bekal intelektulitas serta kharakter dan komitmen intelektual akan tetap menjadi warna pemikiran, sikap dan perilakunya. Mengapa ini penting? Faktanya, semua bidang kehidupan bangsa, sangat membutuhkan hadirnya kaum intelektual.
( )
 
Back
Top