Mengemis = Kriminalitas

Redbastard

New member

Perda No. 8 2007 VS Pasal 34 UUD 45



1158082393pengemis.jpg


Menjelang tidur biasanya saya menyempatkan diri untuk membaca Koran yang saya beli pada pagi atau siang hari sebelumnya. Biasanya mata saya mulai terkantuk setelah beberapa menit membaca segala peristiwa yang terangkum dalam Koran. Tapi entah kenapa, ada sebuah peristiwa yang sangat menarik untuk dibahas. Sebuah fenomena massal yang kerap terulang setiap tahunnya. Tepatnya menjelang hari Raya Idul Fitri tiba. Yakni, Ekspansi besar-besaran pengemis daerah yang mendatangi kota-kota besar, Jakarta misalnya. Tentu saja hal ini membuat Pemkot setempat kelabakan untuk menertibkan mereka. Dengan senjata “Perda No. 8 tahun 2007”, aparat keamanan segera menertibkan pengemis (orang miskin-red) yang tersebar di titik-titik tertentu di ibukota seperti perempatan jalan, lampu merah, pasar, mal dan lain sebagainya.

pengemis-dalem.jpg


Pemerintah Jakarta rasanya telah kehilangan akal untuk mengatasi “fenomena massal” tahunan tersebut. Berdasarkan data yang saya dapatkan dari Koran yang saya baca ( Media Indonesia) pada tahun lalu (2008-red) jumlah gepeng (gelandangan-pengemis) yang terjaring dalam razia mencapai 14.584 orang. Menurut sumber yang sama, Dinsos DKI berterus terang tidak bisa menangani karena kewenangan bertindak ada pada kepolisian dan Depsos. Soal hukuman menjadi urusan kepolisian, sedangkan menyangkut kemiskinan merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana amanat pasal UUD 1945.

Menariknya, Dinsos DKI (sampai hati-red) meminta bantuan polisi agar mengenakan pasal pidana terhadap pemberi sedekah. (lho… orang niat memberi sedekah kok malah di tangkap?). Tahun ini saja sejak bulan Janurai-2 September 2009, sudah 8.594 gepeng terjaring termasuk 12 pemberi sedekah. Khusus bagi pemberi sedekah, Dinas Sosial DKI hanya dapat mengenakan Perda No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Ancaman hukuman sebenarnya bisa berat yakni denda maksimal Rp. 20 juta atau kurungan penjara dua bulan.

Lalu apa hubungan Perda no. 8/2007 dengan Pasal 34 UUD 1945?


Kenyataannya perda tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang menyatakan bahwa “FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA”. Sementara Perda mengenai Ketertiban Umum DKI Jakarta mencakup :

Pasal 40
Setiap orang atau badan dilarang
c. Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.

Pasal 61
(1) Setiap orang atau bahan yang melanggar ketentuan Pasal 40 huruf c dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 ( Enam Puluh ) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua Puluh Juta Rupiah).

Mengenai pertentangan antara Perda No. 8/2007 dengan UUD 45 Pasal 34, saya mencoba mengutip beberapa pernyataan dari beberapa pihak yang terkait.

Fauzi Bowo ( Gubernur DKI Jakarta )

“ Dari dulu saya sudah minta Dinas Sosial DKI agar fokus ke ranah hukum. Sebab keberadaan penyandang masalah kesejahteraan social di jalanan dapat mencelakakan diri mereka sendiri serta mengganggu ketertiban umum.”

Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HAM)

“Keberadaan pengemis di Jakarta adalah dampak dari pemerintah yang keliru dalam menangani masalah kemiskinan. Adanya pengemis membuktikan pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Artinya kebijakan pembangunan saat ini tidak berhasil memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Jelas keliru jika masalah kemiskinan ini dilawan denga Perda Tibum. Perda tersebut bertentangan dengan UUD 45 yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh Negara. Tindakan Pemprov DKI yang mengkriminalkan pengemis dan pemberi sedekah juga sangat keliru. Kriminalisasi atas tindakann mengemis berarti pelanggaran terhadap HAM yang menetapkan bahwa setiap manusia berhak atas pekerjaan, atas penghidupan yang layak, serta rumah.”

Nurcholis Hidayat ( Ketua LBH Jakarta )

“Perda no. 8/2007 tentang Tibum tidak implementatif dan menyebabkan kriminalisasi terhadap kemiskinan. Masalah kemiskinan tidak mungkin diselesaikan melalui pendekatan kriminalisasi.”

Wardah Hafidz ( Ketua Konsorsium Rakyat Miskin Kota )

Perda Tibum seharusnya dicabut, dibatalkan. Sebab, perda itu ditujukan untuk menutupi keemahan pemerintah yang gagal mensejahterakan rakyat. Persoalan pengemis berakar pada masalah kemiskinan. Karena itu pemecahan masalah pengemis ada pada kemampuan pemerintah memecahkan masalah kemiskinan”

MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) Pusat

“Kami sangat setuju langkah itu. Penertiban pengemis yang tergetnya memberantas mafia pengemis sesuai aturan boleh saja dilakukan untuk mencegah kejahatan atau penyakit social di masyarakat.” Kata Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwansyam.

Pengemis Tanggung Jawab Siapa?

Berdasarkan UUD 45 pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar diperlihara oleh Negara, tentu kita bisa menyimpulkan bahwa Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menangani orang-orang miskin dan anak terlantar. Alangkah bijaknya jika pemerintah dalam masalah ini memiliki program jangka pendek dan jangka panjang dalam masalah ini. Kita semua tahu, penertiban gepeng tidak lah terlalu efektif. Gepeng yang dirazia biasanya direhabilitasi untuk kemudian dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Bahkan ada pula kejadian pengemis yang terjaring oleh satpol PP di wilayah Indramayu dibawa ke daerah Bekasi untuk kemudian diturunkan di sana. Lho? Kenyataan ini didapatkan dari salah seoarang pengemis yang terazia. Ketika ia diinterogasi, ia mengaku diangkut Satpol PP dari Indramayu dan diturunkan di Bekasi.

Mengapa Mereka Tertarik Mengemis ?


Ternyata penghasilan pengemis perhari nya tidak bisa dibilang sedikit. Berdasarkan beberapa pengakuan pengemis, seperti halnya Ita, ia mengaku bisa mendapat uang Rp. 70 ribu hingga Rp. 120 ribu setiap harinya. (Wow.. gaji saya jika dihitung perhari saja tidak sebesar itu :p) misalnya kita kalkulasikan rata-rata penghasilan pengemis dalam satu bulan, Rp. 70.000 x 30 hari = Rp. 2.100.000,- ( sekali lagi saya hanya bisa berkata, Wooow..)

pengemis1.jpg

Adakah Jalan Keluar Apa yang Paling Efektif Untuk Mengatasi Masalah Pengemis?

Faktor utama yang menjadikan seseorang menggantungkan mata pencahariannya sebagai pengemis adalah kemiskinan. Pemerintah belum berhasil mensejahterakan rakyatnya. Sepertinya merupakan hal yang mustahil jika pemerintah bisa mensejahterakan seluruh rakyatnya. Akan tetapi, alangkah bijaknya jika pemerintah memiliki program-program terencana (yang diketahui secara luas oleh masyarakat umum) untuk meminimalisir angka kemiskinan. Dan kita pun sebagai masyarakat sepantasnya mendukung program-program dari pemerintah berkenaan dengan usaha-usaha pemerintah mengurangi angka kemiskinan.


Akhir kata, Saya mengharapkan partisipasi dari masyarakat II.com sepenuhnya untuk menyuarakan pendapatnya mengenai permasalahan ini. Apa saja pendapat anda mengenai pertentangan antara Perda No. 8/2007 dengan UUD pasal 34, usaha-usaha apakah yang patut dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi “siklus” tahunan pengemis ini, dan langkah-langkah apakah yang bisa diusahakan oleh pemerintah untuk meminimalisir angka kemiskinan setiap tahunnya.


-Coco San Soto-
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

Sebenarnya kalau benar2 mau niat sedekah diberikan pada panti2 asuhan atw lewat tempat ibadah aja (kalo lewat negara entar digondol curut. He..he..he..).
Pemerintah juga harus buat lapangan2 kerja baru diberbagai sektor.
Kalau semua diserahkan pada pihak swasta,hanya org2 bermodal tebal saja yg dapat untung.
Program KB harus lebih digalakkan lagi.
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

sayangnya enggak semua fakir miskin dan anak terlantar mampu ditampung oleh yang namanya panti asuhan ataupun panti sosial lainnya.. negara musti memikirkan langkah yang bijak guna mengatasi pengemis jalanan.. bukan dengan cara disingkirkan.. atau dikriminalitaskan... lagi2 faktor sempitnya tenaga kerja, ketidak merataan penyebaran penduduk Indonesia, dan minimnya pelatihan non formal menjadi alasan utama -sbenernya masih banyak faktor yang mempengaruhi-..


bung ast, gimana nih menurut anda pribadi mengenai pertentangan antara pasal 34 UUD 1945 dengan Perda DKI no. 8 tahun 2007 mengenai Tibum?
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

menurut gw mestinya yg di tengkep itu yg meminta-minta bukan yg memberinya
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

susah rex, siklus pengemis tuh selalu aja terulang setiap tahunnya.. baiknya pemerintah cari cara lain mengatasinya...

seperti yang dah gw kemukakan di awal tulisan, tentang siklus pengemis..


- hadirnya pengemis musiman dari daerah ke kota menjelang idul fitri
- pengemis dirazia oleh aparat satpol PP
- pengemis di beri pengarahan ( biasanya gak pernah mempan ) dan di
solialisasi oleh petugas dari dinas sosial..
- pengemis diangkut dengan truk
- a. pengemis dilepas di daerah2 lain (ex pengemis dari jakarta yang kena
razia di turunkan di daerah bekasi...
b. pengemis di beri tiket pulang ke daerahnya masing-masing

- lanjutan dari siklus a : pengemis akan mencari nafkah di daerah baru dimana
dia diturunkan atau bisa jadi dia kembali lagi ke kota awal.

- lanjutan dari siklus b :tahun depan pengemis akan balik lagi ke kota2 besar.

dan akhirnya siklus terakhir ini bakal memutar kembali dari awal...
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

Menurut saya ledakan jumlah pengemis yg jadi meningkat ada faktor "kesengajaan".
Ada yang benar2 terlantar dan ada yg sengaja "menelantarkan" diri utk mengais rupiah dgn memanfaatkan kesempatan lebaran.
Pasal UUD45 nya kok baru dipertanyakan skrg?
Memang dari dulu gak ada org miskin dan anak2 terlantar apa?
Masalah perda itu saya kurang ngerti,apa perda itu bisa dicabut/dibatalkan enggak nantinya kalau ternyata hasilnya tdk berjalan sesuai rencana?
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

yap.. sudah menjadi rahasia umum lagi kalo ada "koordinator" pengemis.. yang mengatur pulang-perginya para pengemis.. kemudian oleh koordinator tersebut (calo) para pengemis di kelompokkan untuk kemudian di sebar sesuai dengan 'daerah' nya masing-masing..

sering juga gw liat.. di pasar2 deket tempat gw tinggal.. ada koordinator yang mengatur nak2 jalanan (membagi wilayah, melindungi wilayahnya dari pengamen baru).. tiap pengamen harus menyisihkan penghasilannya untuk sang koordinator tersebut.. kadang gw marahin si koordinatornya kalo mpe ada keributan yang melibatkan pengamen...


mengenai perda dki jakarta no. 8/2007 sebenarnya menimbulkan pra dan kontra tersendiri di kalangan masyarakat umum.. bahkan menurut data yang saya dapatkan terakhir, dah ada 12 orang masyarakat yang terkena denda (dikriminalitaskan karena perda tersebut) karena membeli sesuatu dari pedagang asongan dan memberi sedekah kepada pengemis..
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

Nah,koordinator dan "mental" pengemisnya yg juga harus diberantas.
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

seepp... 'calo' pengemis kudu di tangkepin... n mental pengemis kudu di babat abis.. seperti jepang misalnya.. mengemis merupakan suatu hal yang memalukan harga diri mereka.. kebanyakan dari kita lebih mengedepankan mental "just duit" dari pada harga dirinya sendiri.. gak apa2 ngemis asal gw dapet duit kata nya... atau.. karena dalih.. :"terpaksa mas, nyari kerja susah"...


saran yang bagus bung ast..







ayo..ayo..ayo.. yang laen...
 
Bls: Mengemis = Kriminalitas

=p=kalau mengemis = kriminalitas, wah penjara penuh dong jadinya,. sebaliknya korupsi = halal.. di mana keadilan di negeri ini? apakah mungkin masih bisa melihat dan merasakan keadilan di negeri ini? koruptor merajalela, orang miskin semakin banyak.
 
Back
Top