odeabdurrachman
New member
banyak hal yang harus kita kaji dalam membaca studi-studi sosial yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat ambon. satu hal yang mungkin agak 'membuat gatal' orang-orang Ambon, adalah isu jawanisasi atau mengindonesiakan Ambon.
isu yang sama pernah ada ketika konflik Ambon berlangsung di awal tahun 1999, yakni BBM (bugis Buton dan makasar), yakni hegemoni orang-orang 'BBM' terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi pasar di masyarakat Ambon.
sehingga menjadi ketimpangan sosial dan mengarah pada kecemburuan sosial yang berujung pada konflik horisontal beraroma SARA..
patut diakui bahwa cengkraman orang-orang 'luar Ambon' dalam hiruk pikuk dan sendi-sendi kebudayaan ambon sangat kental bahkan dibilang terlalu kentara untuk tidak mengakuinya, bahkan tanpa orang-orang luar ambon itu mungkin Ambon tidak akan berkembang seperti sekarang ini.
sejauh mana pengaruhnya?, tidak butuh jawaban itu saat ini, tapi setidaknya...kenapa orang ambon butuh mereka?
salah satu faktor yang menjadi premis adalah bahwa berangkat dari budaya Ambon sendiri yang selalu memiliki ketergantungan dengan dunia luar, bukan saja Negeri Belanda yang punya peranan besar lantara ikatan darah orang-orang Ambon di Netherlands, namun lantaran akar budaya orang ambon yang mengantu Konsumerisime, lah yang menjadikan kebanyakan orang ambon tidak bisa berdiiri sendiri. sampai hari ini.
belum lagi ide mengindonesiakan Ambon yang menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah dalam konteks Otonomisasi daerah, yang sudah berlangung hampir 10 tahun. itupun tidak membawa banyak perubahan berarti...
benar kata Gusdur saat itu, bahwa yang bisa membangun mental dan spirit orang Ambon adalah orang ambon sendiri...
innahllaha laa yugayyiuru maa biqaumi hatta yugayyiru maa bi anfusi him...[<
isu yang sama pernah ada ketika konflik Ambon berlangsung di awal tahun 1999, yakni BBM (bugis Buton dan makasar), yakni hegemoni orang-orang 'BBM' terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi pasar di masyarakat Ambon.
sehingga menjadi ketimpangan sosial dan mengarah pada kecemburuan sosial yang berujung pada konflik horisontal beraroma SARA..
patut diakui bahwa cengkraman orang-orang 'luar Ambon' dalam hiruk pikuk dan sendi-sendi kebudayaan ambon sangat kental bahkan dibilang terlalu kentara untuk tidak mengakuinya, bahkan tanpa orang-orang luar ambon itu mungkin Ambon tidak akan berkembang seperti sekarang ini.
sejauh mana pengaruhnya?, tidak butuh jawaban itu saat ini, tapi setidaknya...kenapa orang ambon butuh mereka?
salah satu faktor yang menjadi premis adalah bahwa berangkat dari budaya Ambon sendiri yang selalu memiliki ketergantungan dengan dunia luar, bukan saja Negeri Belanda yang punya peranan besar lantara ikatan darah orang-orang Ambon di Netherlands, namun lantaran akar budaya orang ambon yang mengantu Konsumerisime, lah yang menjadikan kebanyakan orang ambon tidak bisa berdiiri sendiri. sampai hari ini.
belum lagi ide mengindonesiakan Ambon yang menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah dalam konteks Otonomisasi daerah, yang sudah berlangung hampir 10 tahun. itupun tidak membawa banyak perubahan berarti...
benar kata Gusdur saat itu, bahwa yang bisa membangun mental dan spirit orang Ambon adalah orang ambon sendiri...
innahllaha laa yugayyiuru maa biqaumi hatta yugayyiru maa bi anfusi him...[<