nurcahyo
New member
Obat Papua
Bermula dari Pantai Basege
Oleh admin
Sebelumnya Heinrich Melcher, 2 kali meneteskan obat masing-masing di mata kanan dan kiri mereka. Peserta pengobatan dipastikan mereka yang menanggung penderitaan akibat terganggunya fungsi mata. Ada yang menderita glaukoma, katarak, mata minus, atau pandangan kabur. Sebagian besar mereka telah ditetesi lebih dari 5 kali dengan interval sepekan.
Karena kondisi indra penglihatan terus membaik, pengobatan yang dilakukan Heinrich dibanjiri pasien. Sore itu, pada penghujung November 2005, selain 34 peserta, ada puluhan pasien lain yang ditangani hingga pukul 20.00 waktu setempat. Dalam sepekan kelahiran Osnabrueck Clausthalzellerfi eld, Jerman, 55 tahun silam itu 4 kali membuka praktek di Abepura, Dok V, Entrop, dan Sentani. Yang ditangani rata-rata 40—50 pasien dalam waktu 4 jam.
Jumlah itu relatif kecil ketimbang pasien pada tahun pertama—pengobatan sejak Agustus 2003—di Sentani, Kabupaten Jayapura. Saat itu jumlahnya lebih dari 150 pasien. ”Saya sampai tak dapat istirahat,” ujar sarjana Geologi alumnus Bergbau Universitaet itu. Menurut catatan Heinrich, hingga saat ini lebih dari 35.000 pasien mata ditanganinya dan 85% sembuh.
Obat yang digunakan sulung 2 bersaudara itu hanya keben Barringtonia asiatica—tak ada tambahan bahan lain seperti ditulis Trubus edisi Desember 2005. Masyarakat Serui menyebutnya karbom pi. Ia memungut buah keben yang telah jatuh di pantai Basege, Nafri, dan Hamadi—semua di Kotamadya Jayapura. Habitat keben memang di tepi pantai, meski dapat tumbuh di dataran nonpantai seperti di dekat bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. ”Kualitas terbaik buah dari pohon di pantai,” kata mantan pelatih sepakbola Persipura itu.
Terus membaik
Biji buah keben seukuran bawang bombay kemudian diolah. Pria bertubuh tambun itu merahasiakan proses pengolahannya lantaran izin paten tengah diajukan. Biji buah anggota famili Lecythidaceae itu yang diteteskan ke mata para pasien. Bukti empiris menunjukkan, kondisi mata pasien terus membaik setelah pengobatan. Dengarlah penuturan Husein Ladiku yang ditemui Trubus usai pengobatan di Dok V.
Kelahiran Gorontalo 41 tahun lampau itu mengidap katarak selama 4 tahun. Kedua matanya plus 2. Menurut dokter mata yang merawatnya, katarak yang diidap itu akibat sinar ulatraviolet. Maklum, Husein bekerja sebagai nelayan yang hampir setiap hari memeloti sinar surya di lautan. Pandangan ayah 3 anak itu kabur sehingga tak lagi dapat membaca dan mengendarai motor. Kalau membaca koran, ”Saya hanya membaca judul-judulnya,” ujarnya.
Ia minta segera dioperasi agar bisa melaut lagi. Sayang, menurut penilaian dokter, kataraknya belum ”matang” sehingga operasi tertunda. Ia mendengar kabar pengobatan herbal dari istrinya yang bekerja di instansi pemerintah di Jayapura. ”Awalnya saya ragu karena menyangkut mata. Tapi kata istri saya, banyak yang sembuh,” ujar Husein. Pada sebuah petang akhirnya ia datang ke rumah Jerry Haurissa di Dok V yang menyediakan halaman rumahnya untuk lokasi pengobatan.
Ketika pertama kali ditetesi, ”Mata macam disiram pasir, pedih. Kotoran kemudian keluar.” Pada tetesan ke-13, Husein merasakan perbaikan fungsi indra penglihatannya. Ia mengganti kacamata silindernya karena tak cocok lagi. Ketika dicek, matanya hanya plus 1. Pandangannya tak lagi kabur sehingga ia mampu mengendarai sepeda motor. Kasus serupa juga dialami Mansur Safan Ambabunga (51), guru sebuah SMA di Jayapura dan AKBP Masdu SH.
Pelan
Menurut Dr Gilbert WS Simanjuntak, Sp.M dari RS PGI Cikini, Jakarta Pusat, katarak adalah perubahan lensa mata yang sebelumnya jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. Dampaknya penderita tidak bisa melihat dengan jelas. Itu karena lensa keruh sehingga cahaya sulit mencapai retina dan menghasilkan bayangan yang kabur. Seorang penderita katarak mungkin tidak menyadari dirinya terserang katarak bila kekeruhan tidak terletak di bagian tengah lensa matanya.
Katarak terjadi secara perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur. Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif sel-sel saraf yang melapisi lensa mata karena bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 50 tahun ke atas. Namun, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus saat hamil muda.
Gilbert menuturkan, katarak hanya dapat diatasi melalui operasi. Jika katarak tidak mengganggu, tak perlu operasi. Tingkat keberhasilan operasi katarak lebih dari 95% asal tidak terdapat gangguan pada kornea, retina, saraf mata, atau masalah mata lainnya. Hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau olahraga yang dapat menghindari atau menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak.
Selain katarak, pengobatan herbal itu secara empiris juga mengatasi mata lelah dan plus seperti dialami oleh Ir Waynand Watori MS. Mata anggota DPRD Provinsi Papua itu plus 2,5. Padahal, kerap kali ia membaca dan menyiapkan makalah hingga pukul 03.00 dinihari. Matanya cepat lelah ketika mantan dosen Universitas Negeri Papua itu membaca. Suatu ketika, ia melihat kerumunan orang yang tengah berobat di dekat rumahnya.
Watori memutuskan untuk berobat mata dengan ramuan herbal. Keesokan harinya kotoran menumpuk di sudut mata. ”Setelah tetesan kedua terasa enak, mata seperti dipijat.” Malamnya ia sudah dapat membaca lagi hingga pukul 03.00. Malam-malam sebelumnya paling ia hanya bertahan hingga pukul 22.00. itu karena kondisi matanya kian membaik. Plus yang semula 2,5 berkurang menjadi 1.
“Mata plus murni disebabkan kelainan anatomis mata. Bola mata terlalu pendek, bayangan pada retina tidak fokus. Kurang dari ukuran normal, 25 cm,” ujar Gilbert Simanjuntak. Secara empiris ramuan keben bikinan Heinrich terbukti mengatasi beragam penyakit seperti katarak, pterigium, dan gangguan mata seperti plus. Terhadap hasil itu, dokter spesialis mata itu mengatakan, “Saya sangat menghargai penemuan obat tradisional. Apalagi tanaman itu berasal dari negeri sendiri. Namun, perlu diteliti secara ilmiah.”
Ikan
Heinrich Melcher tertarik mengolah keben ketika sebuah siang ia melihat musang menggigit-gigit buah keben di Pantai Basege. Pria humoris itu memang acap menghabiskan waktu di pantai berpasir putih itu. Musang dikenal sebagai binatang malam. ”Mungkin ada gangguan pada matanya sehingga ia keluar pada siang hari,” ujarnya. Ia lalu mengolah biji dan menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan. Obat itu diteteskan di keduanya matanya. Kondisinya terus membaik, dari minus 2 menjadi 1 setelah 3 kali tetesan.
Orang kedua yang ditetesi obat adalah pendeta Hay (70) yang terserang katarak. Sang pendeta hampir saja dioperasi karena tak mampu melihat. Keberhasilan itu menjadi buah bibir dan meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Kemudian pengobatan yang dilakukan Heinrich meluas di Papua. ”Ada juga permintaan pengobatan dari berbagai daerah seperti Merauke dan Semarang. Tapi saya belum bisa,” ujar Heinrich.
Hingga saat ini buah keben belum pernah dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Papua. Bijinya setelah diparut di permukaan batu digunakan untuk mencari ikan ketika laut surut. Di tepian pantai muncul selokan-selokan sehingga ikan terjebak di dalamnya. Ketika itu parutan biji ditebar di permukaan selokan yang dalamnya mencapai 1 m. Tak lama berselang, ikan pingsan di permukaan air sehingga mudah ditangkap. Namun, jika diletakkan di air laut bersih, ikan hidup lagi.
Pada hewan, parutan bijinya berpengaruh negatif dan sebaliknya pada manusia. ”Ini kan hanya untuk meluruhkan lemak dan protein yang menutup lensa. Kalau diminum dan masuk aliran darah bahaya juga,” ujar Dr Muhammad Ahkam, periset di Pusat Penilitian Bioteknologi-LIPI. Di Papua daun mudanya lazim digunakan untuk membungkus ikan—terutama teri—sebelum dibakar. ”Aromanya menggugah selera dan mencegah ikan gosong,” ujar Waynand Watori yang lahir di Serui pada 2 September 1963.
Saponin
Dalam kitab Ayurveda, obat untuk mengatasi katarak antara lain berupa mimba Azadirachta indica dan paria Momordica charantia. Sedangkan keben tak pernah disebut-sebut sebagai obat katarak. Di kitab tua itu keben hanya sebagai antibakteri. Pemanfaatan keben sebagai obat mata, ”Ini benar-benar baru di dunia,” ujar Muhammad Ahkam. Ia telah melacaknya ke berbagai sumber sebagai prasyarat pengurusan paten yang diajukan oleh Heinrich Melcher.
Apa rahasianya sehingga keben mengatasi beragam penyakit mata? Sejauh ini riset tentang keben—khususnya di Indonesia—amat minim. Keben antara lain mengandung saponin 14%. “Saponin itu basa. Cairan mata mengandung enzim yang menjaga kenetralan pH. Adanya asam atau basa bisa menyebabkan enzim mata bereaksi. Untuk menetralkannya, ia memproduksi cairan berlebih. Itulah yang dinamakan iritasi,” ujar Gilbert.
Ahkam menduga saponin menghambat enzim aldolase. Ia salah satu enzim yang bertanggungjawab terjadinya komplikasi seperti komplikasi mata pada penderita diabetes mellitus. Pengidap penyakit gula berpotensi besar menderita gangguan mata seperti katarak. Dengan menghambat enzim aldolase, gangguan mata pun tercegah. Untuk menyingkap tabir di balik keben, riset sebuah keharusan.
Oleh karena itu Heinrich Melcher tengah menjajaki kerjasama riset dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi- LIPI. Beragam uji seperti toksisitas dan praklinis akan ditempuh dalam waktu dekat. Dengan demikian pertanyaan di seputar temuan Heinrich yang bermula di Pantai Basege bakal terjawab.
Bermula dari Pantai Basege
Oleh admin
Sebelumnya Heinrich Melcher, 2 kali meneteskan obat masing-masing di mata kanan dan kiri mereka. Peserta pengobatan dipastikan mereka yang menanggung penderitaan akibat terganggunya fungsi mata. Ada yang menderita glaukoma, katarak, mata minus, atau pandangan kabur. Sebagian besar mereka telah ditetesi lebih dari 5 kali dengan interval sepekan.
Karena kondisi indra penglihatan terus membaik, pengobatan yang dilakukan Heinrich dibanjiri pasien. Sore itu, pada penghujung November 2005, selain 34 peserta, ada puluhan pasien lain yang ditangani hingga pukul 20.00 waktu setempat. Dalam sepekan kelahiran Osnabrueck Clausthalzellerfi eld, Jerman, 55 tahun silam itu 4 kali membuka praktek di Abepura, Dok V, Entrop, dan Sentani. Yang ditangani rata-rata 40—50 pasien dalam waktu 4 jam.
Jumlah itu relatif kecil ketimbang pasien pada tahun pertama—pengobatan sejak Agustus 2003—di Sentani, Kabupaten Jayapura. Saat itu jumlahnya lebih dari 150 pasien. ”Saya sampai tak dapat istirahat,” ujar sarjana Geologi alumnus Bergbau Universitaet itu. Menurut catatan Heinrich, hingga saat ini lebih dari 35.000 pasien mata ditanganinya dan 85% sembuh.
Obat yang digunakan sulung 2 bersaudara itu hanya keben Barringtonia asiatica—tak ada tambahan bahan lain seperti ditulis Trubus edisi Desember 2005. Masyarakat Serui menyebutnya karbom pi. Ia memungut buah keben yang telah jatuh di pantai Basege, Nafri, dan Hamadi—semua di Kotamadya Jayapura. Habitat keben memang di tepi pantai, meski dapat tumbuh di dataran nonpantai seperti di dekat bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. ”Kualitas terbaik buah dari pohon di pantai,” kata mantan pelatih sepakbola Persipura itu.
Terus membaik
Biji buah keben seukuran bawang bombay kemudian diolah. Pria bertubuh tambun itu merahasiakan proses pengolahannya lantaran izin paten tengah diajukan. Biji buah anggota famili Lecythidaceae itu yang diteteskan ke mata para pasien. Bukti empiris menunjukkan, kondisi mata pasien terus membaik setelah pengobatan. Dengarlah penuturan Husein Ladiku yang ditemui Trubus usai pengobatan di Dok V.
Kelahiran Gorontalo 41 tahun lampau itu mengidap katarak selama 4 tahun. Kedua matanya plus 2. Menurut dokter mata yang merawatnya, katarak yang diidap itu akibat sinar ulatraviolet. Maklum, Husein bekerja sebagai nelayan yang hampir setiap hari memeloti sinar surya di lautan. Pandangan ayah 3 anak itu kabur sehingga tak lagi dapat membaca dan mengendarai motor. Kalau membaca koran, ”Saya hanya membaca judul-judulnya,” ujarnya.
Ia minta segera dioperasi agar bisa melaut lagi. Sayang, menurut penilaian dokter, kataraknya belum ”matang” sehingga operasi tertunda. Ia mendengar kabar pengobatan herbal dari istrinya yang bekerja di instansi pemerintah di Jayapura. ”Awalnya saya ragu karena menyangkut mata. Tapi kata istri saya, banyak yang sembuh,” ujar Husein. Pada sebuah petang akhirnya ia datang ke rumah Jerry Haurissa di Dok V yang menyediakan halaman rumahnya untuk lokasi pengobatan.
Ketika pertama kali ditetesi, ”Mata macam disiram pasir, pedih. Kotoran kemudian keluar.” Pada tetesan ke-13, Husein merasakan perbaikan fungsi indra penglihatannya. Ia mengganti kacamata silindernya karena tak cocok lagi. Ketika dicek, matanya hanya plus 1. Pandangannya tak lagi kabur sehingga ia mampu mengendarai sepeda motor. Kasus serupa juga dialami Mansur Safan Ambabunga (51), guru sebuah SMA di Jayapura dan AKBP Masdu SH.
Pelan
Menurut Dr Gilbert WS Simanjuntak, Sp.M dari RS PGI Cikini, Jakarta Pusat, katarak adalah perubahan lensa mata yang sebelumnya jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. Dampaknya penderita tidak bisa melihat dengan jelas. Itu karena lensa keruh sehingga cahaya sulit mencapai retina dan menghasilkan bayangan yang kabur. Seorang penderita katarak mungkin tidak menyadari dirinya terserang katarak bila kekeruhan tidak terletak di bagian tengah lensa matanya.
Katarak terjadi secara perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur. Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif sel-sel saraf yang melapisi lensa mata karena bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 50 tahun ke atas. Namun, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus saat hamil muda.
Gilbert menuturkan, katarak hanya dapat diatasi melalui operasi. Jika katarak tidak mengganggu, tak perlu operasi. Tingkat keberhasilan operasi katarak lebih dari 95% asal tidak terdapat gangguan pada kornea, retina, saraf mata, atau masalah mata lainnya. Hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau olahraga yang dapat menghindari atau menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak.
Selain katarak, pengobatan herbal itu secara empiris juga mengatasi mata lelah dan plus seperti dialami oleh Ir Waynand Watori MS. Mata anggota DPRD Provinsi Papua itu plus 2,5. Padahal, kerap kali ia membaca dan menyiapkan makalah hingga pukul 03.00 dinihari. Matanya cepat lelah ketika mantan dosen Universitas Negeri Papua itu membaca. Suatu ketika, ia melihat kerumunan orang yang tengah berobat di dekat rumahnya.
Watori memutuskan untuk berobat mata dengan ramuan herbal. Keesokan harinya kotoran menumpuk di sudut mata. ”Setelah tetesan kedua terasa enak, mata seperti dipijat.” Malamnya ia sudah dapat membaca lagi hingga pukul 03.00. Malam-malam sebelumnya paling ia hanya bertahan hingga pukul 22.00. itu karena kondisi matanya kian membaik. Plus yang semula 2,5 berkurang menjadi 1.
“Mata plus murni disebabkan kelainan anatomis mata. Bola mata terlalu pendek, bayangan pada retina tidak fokus. Kurang dari ukuran normal, 25 cm,” ujar Gilbert Simanjuntak. Secara empiris ramuan keben bikinan Heinrich terbukti mengatasi beragam penyakit seperti katarak, pterigium, dan gangguan mata seperti plus. Terhadap hasil itu, dokter spesialis mata itu mengatakan, “Saya sangat menghargai penemuan obat tradisional. Apalagi tanaman itu berasal dari negeri sendiri. Namun, perlu diteliti secara ilmiah.”
Ikan
Heinrich Melcher tertarik mengolah keben ketika sebuah siang ia melihat musang menggigit-gigit buah keben di Pantai Basege. Pria humoris itu memang acap menghabiskan waktu di pantai berpasir putih itu. Musang dikenal sebagai binatang malam. ”Mungkin ada gangguan pada matanya sehingga ia keluar pada siang hari,” ujarnya. Ia lalu mengolah biji dan menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan. Obat itu diteteskan di keduanya matanya. Kondisinya terus membaik, dari minus 2 menjadi 1 setelah 3 kali tetesan.
Orang kedua yang ditetesi obat adalah pendeta Hay (70) yang terserang katarak. Sang pendeta hampir saja dioperasi karena tak mampu melihat. Keberhasilan itu menjadi buah bibir dan meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Kemudian pengobatan yang dilakukan Heinrich meluas di Papua. ”Ada juga permintaan pengobatan dari berbagai daerah seperti Merauke dan Semarang. Tapi saya belum bisa,” ujar Heinrich.
Hingga saat ini buah keben belum pernah dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Papua. Bijinya setelah diparut di permukaan batu digunakan untuk mencari ikan ketika laut surut. Di tepian pantai muncul selokan-selokan sehingga ikan terjebak di dalamnya. Ketika itu parutan biji ditebar di permukaan selokan yang dalamnya mencapai 1 m. Tak lama berselang, ikan pingsan di permukaan air sehingga mudah ditangkap. Namun, jika diletakkan di air laut bersih, ikan hidup lagi.
Pada hewan, parutan bijinya berpengaruh negatif dan sebaliknya pada manusia. ”Ini kan hanya untuk meluruhkan lemak dan protein yang menutup lensa. Kalau diminum dan masuk aliran darah bahaya juga,” ujar Dr Muhammad Ahkam, periset di Pusat Penilitian Bioteknologi-LIPI. Di Papua daun mudanya lazim digunakan untuk membungkus ikan—terutama teri—sebelum dibakar. ”Aromanya menggugah selera dan mencegah ikan gosong,” ujar Waynand Watori yang lahir di Serui pada 2 September 1963.
Saponin
Dalam kitab Ayurveda, obat untuk mengatasi katarak antara lain berupa mimba Azadirachta indica dan paria Momordica charantia. Sedangkan keben tak pernah disebut-sebut sebagai obat katarak. Di kitab tua itu keben hanya sebagai antibakteri. Pemanfaatan keben sebagai obat mata, ”Ini benar-benar baru di dunia,” ujar Muhammad Ahkam. Ia telah melacaknya ke berbagai sumber sebagai prasyarat pengurusan paten yang diajukan oleh Heinrich Melcher.
Apa rahasianya sehingga keben mengatasi beragam penyakit mata? Sejauh ini riset tentang keben—khususnya di Indonesia—amat minim. Keben antara lain mengandung saponin 14%. “Saponin itu basa. Cairan mata mengandung enzim yang menjaga kenetralan pH. Adanya asam atau basa bisa menyebabkan enzim mata bereaksi. Untuk menetralkannya, ia memproduksi cairan berlebih. Itulah yang dinamakan iritasi,” ujar Gilbert.
Ahkam menduga saponin menghambat enzim aldolase. Ia salah satu enzim yang bertanggungjawab terjadinya komplikasi seperti komplikasi mata pada penderita diabetes mellitus. Pengidap penyakit gula berpotensi besar menderita gangguan mata seperti katarak. Dengan menghambat enzim aldolase, gangguan mata pun tercegah. Untuk menyingkap tabir di balik keben, riset sebuah keharusan.
Oleh karena itu Heinrich Melcher tengah menjajaki kerjasama riset dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi- LIPI. Beragam uji seperti toksisitas dan praklinis akan ditempuh dalam waktu dekat. Dengan demikian pertanyaan di seputar temuan Heinrich yang bermula di Pantai Basege bakal terjawab.