Warteg Dipajaki
Tanpa Bon, Apa Tak Dikorupsi?
Kamis, 2 Desember 2010 | 20:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com- Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI Sudaryatmo menilai, kebijakan baru Pemrov DKI Jakarta yang memungut pajak 10 persen dari warung tegal (warteg) tidak akan berjalan efektif. Pungutan pajak tersebut akan terkendala teknis perhitungan tarif pajak yang pada akhirnya berpotensi pada penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak.
"Karena di warteg kan transaksinya informal, di mana tidak semua punya pembukuan, catatan transaksi, bon. Potensi terjadi penyalahgunaan wewenang petugas pajak sangat mungkin," katanya ketika dihubungi, Kamis (2/12/2010).
Karena sebagian besar rumah makan sekelas warteg atau warung makan padang sederhana tidak memiliki bukti transaksi seperti bon, maka penetapan tarif pajak, kemungkinan hanya berdasarkan estimasi petugas yang mungkin tidak akurat.
"Pajak kan dasarnya angka penjualan, acuannya register, secara ini kan transaksi tidak terikat, jadi tidak mudah menentukan besar pajak," ungkapnya.
Selain itu, YLKI menilai pungutan pajak restauran untuk rumah makan dan sejenisnya yang beromzet Rp 167.000 per hari itu tidak berpihak pada rakyat kecil. Menurut Sudaryatmo, rata-rata konsumen rumah makan yang masuk ketentuan itu adalah menengah ke bawah. Jika ada pajak, maka konsumen yang rata-rata menengah ke bawah itu akan terbebani. "Pada akhirnya kan beban akan ditanggung konsumen," imbuhnya.
Hal senada dikatakan sebagian pengelola rumah makan. Seperti Firda (41), pengelola warteg di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Menurutnya, pungutan pajak 10 persen ini akan berpotensi terjadinya korupsi saat pemungutan pajak oleh petugas.
"Pedagang kecil kayak gini nggak mau setor pajak langsung, pasti lewat orang kelurahan, baru ke orang pajak, nah itu di situ kan ada kongkalingkong nantinya," tutur dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai tahun depan diberlakukan pajak 10 persen untuk seluruh jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari termasuk warteg atau rumah makan Padang.