Localization adalah Esensi dari Object Oriented Programming
Begitu banyak buku mengenai Object Oriented Programming (OOP) telah ditulis. Akan tetapi hingga saat ini, pemahaman mengenai OOP dirasa masih kurang. Begitu banyak code OOP yang saya lihat, tetapi yang digunakan hanyalah syntax nya saja. Sedangkan esensi terpenting dari OOP nya sendiri justru tidak ada, tidak disadari, atau tidak dimengerti. Sehingga code nya tetap saja penuh dengan bug yang tidak dengan mudah bisa dicari untuk di-fix. (As you know : creating bugs is human nature, but creating bugs that cannot be fixed easily is a showcase of lack of skill.)
Artikel ini mengajak para pembaca untuk kembali ke pemahaman mengenai OOP dari esensi paling dasar, tanpa terlebih dahulu dipengaruhi oleh banyak distraction / dengungan tidak jelas yang justru membuat kabur esensi paling dasar tersebut. Karena hanya dengan pemahaman terhadap esensi paling dasar inilah, baru akan terbuka kunci untuk menerapkan semua teknik OOP turunan nya dengan tepat.
Mengapa OOP gagal diimplementasikan
Mari kita mulai dengan pertanyaan mengapa OOP setelah sekian puluh tahun, masih juga gagal diimplementasikan. Berikut adalah pendapat saya. (
Apakah para pembaca mempunyai jawaban lain – silahkan share di thread ini.)
- Kebanyakan pelajaran mengenai OOP selalu dimulai dengan pembahasan mengenai SYNTAX bahasa OOP, yang memang paling popular yaitu : Encapsulation, Inheritance, dan Polymorphism. Padahal ketiga hal ini merupakan implikasi dari teknik OOP, bukan esensi dari OOP, atau the reason behind atau “why” teknik OOP sangat powerful. Tanpa mengerti “why” nya, kita tidak akan pernah tahu dengan tepat kapan kapan ketiga hal tersebut seharusnya digunakan. Dan bahkan lebih parah lagi karena banyak esensi dari OOP yang tidak dicover oleh ketiga syntax tersebut, malah tidak dipergunakan. Jadi walaupun telah menggunakan OOP, coding nya tidak jauh berbeda dengan cara coding 30 tahun yang lalu.
- Contoh yang digunakan hampir selalu menggunakan contoh paradigma keluarga buah-buahan, atau kendaraan, atau jenis-jenis binatang, tanpa menunjukkan secara gamblang kenapa sebuah teknik sangat powerful. Maksud saya gamblang adalah seharusnya ditunjukkan dengan sebuah “technical justification” sehingga tidak terbantahkan. Technical justification yang dimaksud adalah sedikitnya harus mempunyai satu dari dua unsur berikut. Unsur pertama adalah : dinyatakan dengan sebuah angka seperti halnya membuktikan sebuah persamaan matematika. Jadi BUKAN dengan istilah-istilah abstract seperti : “lebih mudah dicari bug nya”. Tetapi tunjukkan dengan pernyataan seperti : dengan cara ini jika ada bug kita hanya cukup mencari di bug di satu file, sedangkan dengan cara yang lain kita harus search bug tersebut di tiga ribu file. Unsur kedua adalah jika somehow tidak bisa dinyatakan dengan angka, harus ada sebuah postulat bersama, atau sebuah definisi bersama, yang sangat sederhana sehingga dengan mudah bisa dijadikan dasar untuk membuktikan sebuah coding style adalah lebih baik – tidak terbantahkan. Simply kita berbicara programming seperti halnya kita berbicara persamaan matematika yang tidak terbantahkan.
Technical justification
Hanya jika kita bisa lepas dari kedua kesalahan tersebut, barulah kita bisa membangun skill OOP kita. Skill hanya bisa dibangun dengan dilatih. Melatih hal yang salah, hanya membuat kesalahan kita menjadi perfect. Technical justification yang gamblang dan terang benderang, dan dalam banyak case dinyatakan dalam angka yang terang benderang, akan menjamin bahwa kita tidak berlatih hal yang salah.
Errhh... berlatih?? Ya seharusnya jelas bukan bahwa skill harus dilatih. Akan tetapi yang terjadi di dunia programming (dan untung nya juga terjadi di dunia martial art), adalah justru sebaliknya. Orang cenderung mengumpulkan teknik, bukan melatih teknik tersebut.
Berbeda dengan pandangan kebanyakan pandangan programmer yang kurang berpengalaman, atau para teoritis / pengamat pemrograman yang hanya pernah juggling beberapa baris code untuk contoh artikel, tetapi tidak pernah berlatih pemrograman secara real, selalu beranggapan bahwa programming bisa dikonseptualkan sejak awal. Well konseptor yang paling berpengalaman di dunia pun paling banter hanya sanggup mencapai 10% dari aplikasi. Sisanya baru bisa ditemukan pada saat programming dilakukan. Tanpa pernah berlatih, kita tidak akan mempunyai kepekaan terhadap pola-pola code yang dihasilkan, yang sepintas lalu hanya seperti random, sehingga miss opportunity untuk menerapkan konsep yang bagus. Bahkan konsep yang paling sederhana / esensi seperti localization pun bisa luput dari pandangan (apalagi konsep turunan dari localization yang lebih kompleks seperti object oriented). Karena itu tidak ada cara untuk meningkatkan skill programming adalah dengan mengenali banyak, sebanyak-banyaknya aplikasi dari sebuah teknis, dan terus berlatih seperti itu, sampai mempunyai kepekaan terhadap pola-pola yang ditemukan pada saat programming. Berlatih sampai
daya reflex nya terbentuk.
Karena itu pula saya sangat against kebiasaan yang memberikan contoh pengaplikasian dengan konsep abstrak yang lain. Ini hanya membuat orang tenggelam dalam lautan teknik dan kehilangan awareness terhadap esensi dari teknik. Contoh aplikasi haruslah dalam bentuk seperti persamaan matematika, yang dalam kasus ini harus dengan gampang ditunjukkan dengan code secara gamblang, yang kemudian bisa dihitung 1-2-3 dengan mudah... that is contoh yang memenuhi kriteria technical justification.
Syntax OOP bukanlah esensi dari OOP
Salah satu tujuan paling hakiki dari semua teknik pemrograman adalah bagaimana membuat program yang berjalan baik dengan waktu yang secepat-cepatnya. Atau dengan kata lain adalah produktifitas. Peningkatan produktifitas paling significant adalah pada saat pertama kali diciptakan bahasa tingkat tinggi. Dari tadinya kita harus mengetik berbaris-baris syntax bahasa assembly / mesin, atau bahkan puluhan syntax, cukup hanya digantikan hanya dengan satu-dua syntax bahasa tingkat tinggi. Ini jelas peningkatan produktifitas, karena jelas technical justification nya. Yaitu : misalnya 5 syntax menjadi 1 syntax, jelas terjadi peningkatan produktifitas sebesar 5 kali. (
Perhatikan : ada angka yang menjadi technical justification.)
Bahasa tingkat tinggi berevolusi terus sampai yang paling signficant adalah dengan diciptakannya bahasa tingkat tinggi yang menerapkan konsep prosedural. Dan kita tahu setelah itu popular bahasa tingkat tinggi yang syntax-syntax nya dapat digunakan untuk menerapkan konsep object oriented dengan nyaman, yang disebut bahasa pemrograman object oriented.
Masalah nya adalah banyak programmer yang terpaku pada syntax dari object oriented, sedangkan produktifitas yang didapat dari bahasa object oriented JELAS bukanlah dari perubahan syntax prosedural menjadi object oriented. Coba perhatikan dua syntax ini, dimana yg pertama merupakan syntax prosedural, sedangkan yang kedua merupakan object oriented:
- ResizeWindow(chartObject, …)
- chartObject.ResizeWindow(…)
Kedua syntax tersebut mempunyai jumlah karakter yang hampir sama. Sehingga jelas tidak ada peningkatan produktifitas dalam hal syntax seperti halnya perubahan dari bahasa assembly ke bahasa tingkat tinggi. Tentu menjadi jelas jika dikatakan kegunaan dari teknik / bahasa object oriented bukanlah sekedar perubahan syntax seperti di atas. Padahal inilah jawaban yang selalu saya dapatkan, mungkin 9 dari 10 jawaban, setiap kali saya bertanya ke seorang programmer mengapa object-oriented sangat powerful. Tidak heran jika akhirnya pemanfaatan object oriented tidak terlihat benefit nya jika digunakan oleh programmer dengan pemahaman yang serendah itu.
Beberapa orang akan beragumen : dengan cara object oriented, syntax nya menjadi lebih jelas. Saya akan challenge dengan pertanyaan “berapa banyak lebih jelas??”. Adakah kadar mengenai “lebih jelas” dari case di atas yang bisa dinyatakan dalam angka?? Bisakah ditunjukkan claim lebih jelas itu dengan angka seperti 10% lebih jelas atau 3000% lebih jelas?? Jika tidak bisa, alasan ini adalah alasan kabur yang dengan gampang dibantahkan, karena “lebih jelas” di sini hanya sekedar masalah preferensi. Dengan konsep technical justification dimana selalu harus ada angka atau sebuah postulat sederhana, argumen di atas yang sekedar berisi claim “lebih jelas” dengan sendirinya tidak berharga. Dan saya pribadi, diharapkan juga para pembaca, tidak mau menghabiskan waktu untuk berdebat mengenai hal-hal mengambang seperti ini. Lets kita fokuskan waktu yang sangat berharga kepada hal-hal yang lebih jelas seperti statement “peningkatan produktifitas 100 kali”. Sangat gamblang dan terang benderang karena ada angka “100” tersebut – atau whatever angka. Bahkan angka yang “hanya” “dua kali” pun masih jauh jauh lebih berharga dibandingkan argumen yang tidak mempunya angka atau technical justification.
Jika pembaca masih setuju dengan saya, mari kita lanjut.
”WHY” OOP
Setelah kita membahas mengapa semua hal yang popular di atas bukanlah esensi dari OOP, diharapkan semua pemikiran yang salah seperti di atas sudah dibuang jauh-jauh dari kepala kita, dan kita ready dengan lembaran baru.
Bahasa tingkat tinggi memberikan produktifitas dengan magnitude yang luar biasa. Seiring dengan meningkatnya produktitas, jumlah code yang ditulispun kembali menjadi luar biasa. Dan ini menimbulkan challenge baru. Kenapa? Karena simply otak manusia terbatas, sehingga tidak mungkin dalam satu waktu seorang manusia normal sanggup mengatasi kompleksitas dari jumlah code yang sangat banyak tersebut. Cara mengatasi kompleksitas tersebut tentu saja adalah dengan membagi program yang berukuran super besar tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang masih sanggup dihandle oleh otak manusia.
Teknik yang memecah-belah kompleksitas menjadi sub-bagian yang bisa dihandle oleh otak manusia,adalah teknik umum yang digunakan di berbagai bidang apapun. Khusus utk bidang programming ini, saya sebut sebagai
LOCALIZATION. Lhoooww??? Kok bukan object-oriented??? Object oriented memang mempunyai fitur yang lebih banyak dibandingkan hal yang lain, sehingga by-default object oriented menjadi lebih popular. Tetapi perlu diingat bahwa object oriented ada karena kebutuhan melakukan localization. Sehingga tanpa memahami localization terlebih dahulu, tentu tidak akan dapat menerapkan object oriented dengan maksimal.
Encapsulation, inheritance, dan polymorphism, merupakan pengembangan dari teknik-teknik pemrograman yang sudah dimulai sejak ilmu programming tercipta, yang disempurnakan dengan bahasa tingkat tinggi, disempurnakan dengan prosedural, hingga yang sekarang disebut object oriented, tetapi dasar konsep nya tidak pernah berubah yaitu untuk menerapkan localization. Sayang dengan semakin banyaknya teknik, kita cenderung melupakan esensi “why” teknik tersebut diciptakan, sehingga pengaplikasian nya menjadi salah dan benefit nya menjadi hilang. Oleh karena itu, kita akan membahas localization terlebih dahulu, sebelum akhirnya kita akan kembali ke pembahasan object oriented tentu saja.
Teknik-teknik localization
Karena OOP merupakan kumpulan teknik untuk menerapkan localization, yaitu membagi-bagi masalah menjadi seukuran yang bisa dihandle oleh otak kita, secara natural jika kita melakukan pengamatan terhadap semua syntax OOP, ini tidak lain adalah diciptakan untuk membantu pengaplikasian localization. Oleh karena itu, sebelum kita berlatih OOP secara khusus, kita harus berlatih localization yang merupakan bentuk yang paling esensi dari pengaplikasian OOP. Untuk berlatih kita harus dimulai dari pondasi yang paling dasar. Pondasi paling dasar ini dimulai dengan mengenali beberapa teknik localization, yang kemudian untuk dilatih sehingga timbul daya reflex kita mengenali pola-pola coding yang terbentuk, dan menerapkan teknik localization.
L1 : Pecahkan kompleksitas
Jika kita mempunyai code dengan jumlah 1000 baris code tentu sangatlah kompleks. Bayangkan jika kita pecah menjadi 10 bagian, dengan masing-masing bagian berisi 100 baris code, dan setiap 100 baris code tersebut kita pecah lagi menjadi 10 bagian, sehingga masing-masing berisi 10 baris code. Dengan demikian akan menjadi sangat simple, karena dalam satu waktu kita hanya perlu memfokuskan otak kita hanya terhadap 10 baris code. Ini bentuk localization pertama, dimana otak di-localize atau di-fokuskan hanya untuk 10 baris code.
Technical justification : dari 1000 bari code diubah menjadi 10 baris of code, berarti 100 kali lebih sederhana. Ini jelas something very very significant.
L2 : Yang saling terkait dikumpulkan menjadi satu
Pemecahan di atas tentu saja bukan sembarang pemecahan. Memecahkan sebuah hal yang saling terkait justru menambah pekerjaan yang tidak perlu. Bagaimana pun tujuan pemecahan adalah supaya menjadi lebih sederhana, tentu saja pemecahan tersebut harus menghasilkan sebuah bentuk yang betul-betul independen. Jika nilai variabel A tergantung variabel B, dan variabel A ditempatkan di tempat yang terpisah dengan B, maka itu hanya bentuk lain dari peningkatan kompleksitas, yang berlawanan dengan konsep L1. Kenapa? Karena pada saat kita memanipulasi variabel B, kita harus mengetahui ada variabel A, yang tempat nya entah berada dimana, yang juga harus diperhatikan. Jelas ini adalah sebuah kompleksitas yang di luar jangkauan otak kita.
Technical justification : jika variabel A dan B misalnya berada dalam satu class, opportunity kita untuk mengenali bahwa A tergantung B akan jauh lebih besar, dibandingkan jika variabel A ditempatkan di file code yang berbeda. Karena jika sebuah aplikasi mempunyai 1000 file, maka kita harus memahami seluruh code yang berada 1000 file tersebut. Jelas dalam kasus ini kompleksitas nya adalah paling sedikit 1 berbanding 1000.
L3 : Yang berpola sama dilocalize menjadi satu
Ini nama lain nya adalah membuang semua redudancy. Jika Anda memiliki urutan algoritma yang selalu sama seperti setiap kali call fungsi A dilanjutkan dengan call fungsi B, fungsi A dan B harus digabungkan menjadi fungsi C dimana di dalam nya berisi call terhadap fungsi A yang dilanjutkan dengan call fungsi B. Kita memang dengan gampang menciptakan sebuah fungsi umum yang sering digunakan oleh di banyak bagian dari aplikasi. Misalnya fungsi seperti DisplayText secara natural gampang diindentifikasi akan digunakan oleh banyak bagian dari aplikasi. Tetapi yang selalu miss adalah opportunity untuk mengidentifikasi urutan redudancy call seperti case fungsi A dan B di atas, yang pada awalnya terlihat seperti random.
Technical justification : fungsi C tidak akan pernah lupa bahwa setiap call fungsi A akan dilanjutkan dengan call terhadap fungsi B, tetapi manusia normal pasti akan mempunyai kemungkinan lupa untuk call fungsi B. Jelas bedanya : yang pertama chance nya 0%, yang sebaliknya chance nya selalu lebih besar dari 0%.
L4 : Jangan publish sesuatu lebih dari yang diperlukan
Jika kita mempunyai variabel A yang tergantung dengan variabel B, seperti misalnya A = B + 3. Maka variabel A hanya bisa dipublish sebagai read only variabel. Ini menjamin variable-variable yang sudah kita kumpulkan jadi satu dengan teknik L3 di atas, tidak diutak-atik oleh bagian program yang lain. Dengan otak yang terbatas kita tidak mungkin setiap kali ingat bahwa sebuah variable tidak boleh diakses sembarangan. Hmm, seperti halnya “lokalisasi” yang baik untuk merapihkan W/PTS supaya tidak merusak masyarakat, ternyata baik juga untuk merapihkan code-code yang tuna-susila.
Technical justification : jika suatu hari variabel A berisi angka yang salah, kita bisa dengan yakin bahwa bug pasti hanya terjadi di scope pemilik dari A, misalnya class yang berisi variabel A tersebut. Dibandingkan jika harus keliling mencari code misalnya di seluruh 3000 file yang merupakan bagian dari aplikasi lengkap.
Apa bedanya???
Ah kalau sekadar aturan-aturan seperti di atas, apa bedanya teknik-teknik localization tersebut dengan teknik-teknik yang biasa dijumpai di buku-buku object oriented?? Beda banget. Penekanan dari semua teknik localization di atas adalah langsung applicable untuk dilatih.
Perhatikan semuanya berisi aturan terang benderang tentang apa yang harus dilakukan untuk setiap case, exactly step by step, di level code by code. Bandingkan misalnya dengan konsep encapsulation dengan teknik L3. Encapsulation mengajarkan bahwa kita harus menemukan kesamaan di problem / modeling / solution domain untuk kemudian diencapsulate. Perhatikan encapsulation tidak mensuggest coding dimulai dari code tetapi dari high level point of view yang begitu abstrak (problem / modeling / solution). Bagaimana membandingkan abstraction yang satu lebih baik daripada abstraction yang lain. Dengan membandingkan code nya baris demi baris. Bagaimana membandingkan nya supaya kita tidak salah pilih? Supaya tidak terjebak di dalam debat kusir?? Dengan teknik L3 tersebut yang mempunyai technical justification jelas. Hanya programmer yang memang sudah terlatih, dan terlatih dengan cara yang valid, yang mempunyai probabilitas lebih besar untuk menebak abstraction yang tepat. Dan bahkan programmer yang paling terbaik pun, paling banter hanya mampu menebak 10% dari konsep abstraction yang akhirnya terbukti paling tepat, yaitu abstraction final yang digunakan pada saat aplikasi selesai didevelop.
Jadi encapsulation adalah pendekatan top-down, sedangkan localization adalah pendekatan bottom-up, yang memang pada akhirnya akan bermuara ke encapsulation. Tetapi jika bahkan programmer terbaikpun hanya sanggup menebak dengan ketepatan 10%, mengapa buang waktu dengan mencari-cari encapsulation / abstraction terlalu dini?? Dengan localization, teknik langsung diapply di level code by code. Bottom-up sehingga terbentuk abstraction dan encapsulation secara natural terbentuk dengan solid. Simple. Jelas. Sehingga programmer pemulapun sudah bisa langsung menerapkan teknik localization di first code yang ditulisnya dengan akurasi yang sangat tinggi.
Inilah kenapa localization saya sebut merupakan esensi dari object oriented.
Selanjutnya saya akan memperlihatkan bahwa object oriented hanya merupakan teknik untuk menerapkan salah satu teknik localization di atas.
Object oriented hanyalah penerapan dari localization
Saya tidak akan membahas satu per-satu teknik object oriented karena sudah ada ratusan ribu buku yang membahas ini. Saya hanya menunjukkan satu teknik inheritance untuk menunjukkan korelasinya terhadap teknik localization. Jika Anda sudah mahir dengan localization, Anda dijamin akan dapat menemukan korelasi-korelasi yang lain sendiri.
Re-usable adalah kata yang selalu didengung-dengungkan oleh developer OOP. Sayangnya saya belum pernah menemukan satu developer-pun yang bisa menunjukkan ini dengan baik. Contoh yang selalu digunakan untuk menunjukkan re-usable adalah ke-tiga-pilar-omong-kosong itu.
Re-usable itu sudah ada, bahkan di bahasa assembly yang paling primitif-pun sudah ada. Kalau Anda punya fungsi, dan fungsi itu bisa digunakan oleh seluruh bagian dari code, ini adalah re-usable. Perkara fungsi itu letaknya ada di class, module, manifest yang berbeda (beda exe), dll, selama fungsi itu bisa kita akses, namanya adalah re-usable. Ok.
Jadi apa yang ditambahkan oleh OOP ke masalah re-usable ini? Inilah sifat khusus dari inherintance, baik implementation inheritance maupun interface inheritance, yang bermanfaat untuk meningkatkan re-usable dari code. Re-usable yang sudah sejak dulu tersedia adalah “calling re-usable”, yaitu banyak code memanggil sebuah code. Jika Anda mempunyai sebuah fungsi “CalculateBonus”, dan fungsi ini dipanggil dari modul Sales Order dan Delivery Order, ini adalah “calling re-usable”. Yang belum tersedia secara explisit di bahasa-bahasa non-OOP adalah “callback re-usable” (kecuali menggunakan pointer, tetapi pointer berpotensi menimbulkan masalah lain yang lebih serius). Jika Anda membuat aplikasi seperti Trilian Messenger, yaitu sebuah program chatting yang mempunyai fitur untuk chat dengan berbagai messenger lain seperti Yahoo! Messenger, MSN Messenger, Google Messenger, ICQ, dll, akan lebih convenience jika Anda menyediakan satu macam user interface untuk chatting yang bisa bekerja dengan semua messenger tersebut. Atau seperti Windows yang bisa mengakses berbagai macam hardware. Inilah problem yang solusi paling baiknya adalah menggunakan “callback re-usable’.
Keliatannya bedanya? Untuk “callback re-usable”, code pemanggilnya yang digunakan bersama-sama (untuk kasus “calling re-usable”, code yang dipanggil yang digunakan bersama-sama).
Apa hubungan nya dengan localization? Jelas ini adalah penerapan dari teknik L3 : Yang berpola sama dilocalize menjadi satu. Pola yang sama bisa terjadi di mana saja, caller dan callee. Begitu kita punya intention untuk menggabungkan pola yang sama ini, bahkan tanpa OOP pun kita akan menggunakan pointer. Jika languange nya tidak support pointer, kita akan menggunakan teknik array of function code. Jika array of function code tidak disupport, kita akan menggunakan teknik GOTO (GOTO??? YES GOTO!!!). Kebetulan OOP punya syntax inheritance yang lebih nyaman dari goto, teknik array of function code, maupun pointer. Thus kita pakailah itu OOP punya teknik.
Tanpa pemahaman terhadap teknik L3 yang sangat sederhana, well saya sering sekali melihat code yang sangat menggelikan. Semua class diturunkan dari satu base class. Atau setiap class selalu mengimplementasikan sebuah interface yang hampir sama ( ngapain repot-repot Booosss??? Buang aja tuh interface
).
Penutup
Penjelasan teknik-teknik localization di atas begitu sederhana, sehingga kita merasa ah begitu gitu saja. Tetapi coba Anda buka code Anda sendiri, dan Anda akan surprise, karena tanpa awareness yang dilatih terus menerus, akan ditemukan sekali banyak sekali code-code yang bertentangan dengan teknik localization yang terang benderang tersebut. Pengalaman code review yang saya lakukan menunjukkan hal ini. Bahkan saya hampir tidak melihat bedanya code yang dibuat oleh programmer yang sudah berpengalaman 10 tahun dan code yang dibuat oleh programmer yang baru hanya mempunyai pengalaman beberapa bulan. Sedih memang – tetapi itulah fakta lapangan. Di sinilah sekali lagi menunjukkan bahwa kemampuan programming hanya bisa didapat melalui latihan. Lebih baik mempunyai satu teknik / satu jurus, daripada memahami ratusan teknik / jurus – seperti para pengamat programming – tetapi tidak ada satupun yang menjadi daya reflex nya.
Jangan sampai kita terjebak menjadi pengamat programming, yang bahkan dirinya sendiri tidak sadar bahwa dirinya hanya pengamat. Merasa dirinya pakar – selalu memperkenalkan teknik-teknik baru yang membuat programmer lain merasa minder karena “kok rasanya tidak make sense”, tetapi karena para “pakar” tersebut mempunyai kemampuan pencitraan diri yang baik, sehingga justru programmer lain tersebut yang merasa dirinya pandir. Programmer pengamat yang membuat programmer berbakat justru merasa pandir. Ini adalah sebuah cacat yang saya sebut sebagai
“NORMAK SYNDROME”. Jangan sampai ketularan!
NB : by the way bagaimana menghindari terjebak ke dalam arus Normak Syndrome tersebut? Untungnya gampang, tanyakan saja sudah berapa lama programming, dan sudah pernah membuat code berapa ratus ribu baris. Jika significant, than you listen to him/her. Remember : you wan’t be a fighter by just reading and talking. Just code it, and show your code blatlantly.
Happy programming!