EsterAntonia
New member
Aku sedang berjalan di koridor depan kelasku. Hari itu langit berwarna biru, ditemani awan yang memberi torehan-torahan putih di atasnya. Kelas 1 SMA adalah masa-masa yang indah, sebuah masa dimana aku sedang senang karena telah beranjak remaja. Dari arah yang berlawanan, seorang guru wanita yang tak dikenal lewat di sebelahku sambil melihat ke arah bawah. Jantungku agak sedikit loncat ketika ia berkata kepada guru piket yang berada agak jauh di depannya bahwa sepatuku tak bertali. Aku menggerutu dalam hati, betapa menyebalkannya orang ini. Dasar guu tukang ngadu!
Guru piket itu memanggilku. Ia adalah guru kesenian yang agak tua, berpenampilan biasa saja dan bergigi putih kekuningan. Rambutnya pendek seperti potongan pria. Wajahnya yang sabar mengatakan bahwa aku telah melakukan kesalahan karena tidak memakai sepatu bertali. Sebagian dari kepribadianku adalah pemberontak. Aku tidak terima diperlakukan seperti itu.Belum guru itu mengeluarkan kalimat selanjutnya, ia sudah dihujani dengan paragraf-paragraf sanggahan yang keluar dari mulutku.
Dengan wajah yang syok ia menatapku sambil bingung. Kalau tidak salah, sesuai dengan film rekaman yang ada di otakku, ia berdiri kemudian memarahiku. Ia tidak peduli akan smua sanggahan pengenai peraturan yang tidak penting itu. Peraturan adalah peratusan, yang tidak mematuhi harus dihukum. Pada akhirnya ia mengambil sepatuku sebagai sanksi. Aku pun pergi ke toilet dan mengangis karena aku harus membeli sepatu yang baru padahal keluargaku sedang miskin.
Ketika aku mengingat peristiwa itu, emosiku mulai meluap dan amarahku menguasai memori tentangnya. Aku masih bisa merasakan betapa kesal dan sedihnya hatiku saat mereka memaksa mengambil sepatu yang baru saja aku beli. Sampai sekarang aku masih berpikir bahwa peraturan SMA-ku yg satu itu paling tidak penting sedunia.
Tulisan ini dibuat dalam rangka latihan menulis.
Guru piket itu memanggilku. Ia adalah guru kesenian yang agak tua, berpenampilan biasa saja dan bergigi putih kekuningan. Rambutnya pendek seperti potongan pria. Wajahnya yang sabar mengatakan bahwa aku telah melakukan kesalahan karena tidak memakai sepatu bertali. Sebagian dari kepribadianku adalah pemberontak. Aku tidak terima diperlakukan seperti itu.Belum guru itu mengeluarkan kalimat selanjutnya, ia sudah dihujani dengan paragraf-paragraf sanggahan yang keluar dari mulutku.
Dengan wajah yang syok ia menatapku sambil bingung. Kalau tidak salah, sesuai dengan film rekaman yang ada di otakku, ia berdiri kemudian memarahiku. Ia tidak peduli akan smua sanggahan pengenai peraturan yang tidak penting itu. Peraturan adalah peratusan, yang tidak mematuhi harus dihukum. Pada akhirnya ia mengambil sepatuku sebagai sanksi. Aku pun pergi ke toilet dan mengangis karena aku harus membeli sepatu yang baru padahal keluargaku sedang miskin.
Ketika aku mengingat peristiwa itu, emosiku mulai meluap dan amarahku menguasai memori tentangnya. Aku masih bisa merasakan betapa kesal dan sedihnya hatiku saat mereka memaksa mengambil sepatu yang baru saja aku beli. Sampai sekarang aku masih berpikir bahwa peraturan SMA-ku yg satu itu paling tidak penting sedunia.
Tulisan ini dibuat dalam rangka latihan menulis.