Perbuatan Melawan Hukum

Riri_1

Member
Beberapa waktu lalu kan kita sempat bahas mengenai wanprestasi, nah kali ini kita bahas mengenai perbuatan melawan Hukum.


Perbuatan Melawan Hukum perdata adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat diminta suatu ganti rugi.


Dalam konteks hukum perdata, Perbuatan Melawan Hukum dikenal dengan istilah onrechtmatige daad. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, Perbuatan Melawan Hukum adalah:

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.


unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum perdata meliputi adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, serta adanya kerugian.


suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat sebagai berikut:

1. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3. bertentangan dengan kesusilaan; dan
bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.


Sejak tahun 1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.


Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan.
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam
arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan juga tidak ada unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.

2. Perbuatan tersebut melawan hukum.
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal dasar sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimanakah cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada unsur kesengajaan, atau
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya kerugian bagi korban.
kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurispruensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang.

5. Adanya hubungan kasual antara perbuatan dengan kerugian.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.
 
Jenis Perbuatan Melawan Hukum

Dalam bidang hukum, terdapat tiga kategori perbuatan melawan hukum, yang meliputi:
1. Perbuatan melawan hukum yang disengaja (Pasal 1365).
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan atau unsur kesengajaan maupun kelalaian (Pasal 1366).
3. Perbuatan melawan hukum akibat kelalaian (Pasal 1367).



Contoh perbuatan melawan hukum dalam sengketa kepemilikan tanah milik penggugat adalah ketika seorang pihak tanpa izin atau tanpa dasar hukum yang sah mengambil alih atau menggunakan tanah yang seharusnya dimiliki oleh penggugat. Tindakan ini menyebabkan kerugian material bagi penggugat, seperti kehilangan hak kepemilikan, kehilangan pendapatan dari tanah tersebut, atau biaya hukum yang dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa. Penggugat dapat melakukan tuntutan hukum terhadap pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.



Akibat Perbuatan Melawan Hukum

Adanya kerugian yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum terhadap salah satu pihak berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Pengkategorian rugi secara garis besar terdapat dua jenis yaitu; kerugian material dan imateril. Kerugian material adalah kerugian yang secara nyata dirasakan oleh korban akibat perbuatan melawan hukum, sedangkan kerugian imateril adalah kerugian yang dirasakan ketidaknyamanan dari diri seseorang akibat dari perbuatan melawan hukum.



Ganti Kerugian Dalam Perbuatan Melawan Hukum
Ganti rugi dalam konteks hukum ini merupakan kompensasi yang diberikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi kerugian yang sebenarnya yang dialami.

Ganti rugi dalam konteks hukum ini mencakup beberapa bentuk, yaitu:

1. Ganti rugi nominal
Ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang disengaja, tetapi tidak menyebabkan kerugian yang nyata bagi korban, maka korban dapat menerima sejumlah uang sebagai bentuk keadilan, tanpa memperhitungkan kerugian sebenarnya. Hal ini dikenal sebagai ganti rugi nominal.


2. Ganti rugi kompensasi
Ganti rugi kompensasi adalah pembayaran kepada korban yang sebanding dengan kerugian yang sebenarnya diderita akibat perbuatan melawan hukum. Ini juga disebut ganti rugi aktual. Contohnya adalah ganti rugi untuk biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, kehilangan pendapatan atau gaji, biaya pengobatan, dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stres, malu, reputasi yang rusak, dan sebagainya.


3. Ganti rugi
Ganti rugi penghukuman merupakan bentuk ganti rugi yang jumlahnya lebih besar daripada kerugian yang sebenarnya. Jumlah ganti rugi ini dimaksudkan sebagai hukuman bagi pelaku. Ganti rugi penghukuman ini diterapkan pada kasus-kasus berat dan sadis yang melibatkan tindakan yang disengaja.
 
Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana



Dalam Memorie van toelichting atau sejarah pembentukan KUHP di Belanda tidak ditemukan apakah yang dimaksudkan dengan kata “hukum” dalam frase “melawan hukum”. Jika merujuk pada postulat contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, maka dapat diartikan bahwa seseorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.



Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan delik culpa.




pengakuan dan penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil baru dilakukan pada tahun 1965 dan implikasi yang lebih jauh adalah lolosnya para koruptor karena telah membayar unsur kerugian negara dalam perkara korupsi.
Dalam perkembangannya, ajaran sifat melawan hukum ini kemudian diformalkan keududukannya dalam perundang-undangan seperti UU No. 31 Tahun 199918 dan rancangan KUHP.



kata-kata melawan hukum (wederrechtelijke) untuk menunjukkan sah suatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan kata wederrechtelijke untuk menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253-257, 333 ayat (1), 334 ayat (1),
335 ayat (1) angka 1, 372, 429 ayat (1), 431, 433 angka 1, 448, 453-455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechtelijke untuk menunjukkan suatu maksud atau cogmerk dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat (1), 369 ayat
(1), 378, 382, 390, 446, dan 467 KUHP.



Berdasarkan paham-paham sifat melawan hukum, doktrin membedakan perbuatan melawan hukum atas:
1. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, Jadi sandarannya adalah hukum yang tertulis.
2. Perbuatan melawan hukum materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur dalam undang-undang. Sandarannya asas umum yang terdapat di lapangan hukum.



Bagaimana jika suatu perbuatan melawan hukum merupakan tindak pidana, bagaimana penyelesaian hukum dalam hal ini?


Penyelesaian hukum antara kedua macam hukum tersebut berbeda-beda, dengan berbagai konsekwensi berikut:
1. Tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan sekaligus juga merupakan tindak pidana.
2. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum dan bukan juga merupakan tindak pidana.
3. Tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum tetapi bukan merupakan tindak pidana.
4. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum, melainkan merupakan tindak pidana.



Jika seseorang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana, ada kemungkinan juga (meskipun tidak selamanya) unsur-unsur tersebut merupakan juga unsur-unsur perbuatan melawan hukum, apabila terhadap 1 (satu) tindakan tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum maupun unsur-unsur tindak pidana, maka kedua macam sanksi dapat dijatuhkan secara berbarengan. Artinya, pihak korban dapat menerima ganti rugi perdata (dengan dasar gugatan perdata), tetapi juga dapat bersamaan (dengan proses pidana) pelaku dapat dijatuhkan sanksi pidana sekaligus karena itu tidak mengherankan jika kemudian ternyata bahwa beberapa perbuatan pidana juga merupakan perbuatan melawan hukum. Misalnya perbuatan pidana mengenai penyerangan orang, penahanan ileegal, dan lain-lain
 
Back
Top