PERLIDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENIPUAN

Riri_1

Member
Kejahatan-kejahatan semakin hari semakin merajalela terjadi dikalangan masyarakat, hal ini tidaklah bisa dipungkiri keberadaannya. Tentu sajakejahatan yang sering terjadi di masyarakat sangat memprihatinkan, salah satu contoh kejahatan yang sudah umum dan tidak asing lagi di masyarakat adalah penipuan.

terus, kira2 gimana sih perlindungan yang diberikan Hukum indonesia u/k korban kejahatan penipuan?

Dari perspektif kriminologi, ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan membutuhkan perhatian:
1. Sistem peradilan pidana diyakini terlalu memperhatikan masalah dan peran penjahat (offender-centered).
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran kita atas statistic criminal (terutama statistik yang berasal dari kepolisian), ini dilakuka melalui survai tentang korban kejahatan (victim surveys).
3. Semakin disadari bahwa, selain korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan), tidak kalah pentingnya juga memperhatikan korban kejahatan nonkonvensional maupun korban korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power and/or public power).

Tujuan perlindungan korban adalah memberikan ketentraman rasa aman bagi korban terutama dalam pemberian informasi dalam setiap persidangan pidana, dorongan dan motivasi korban agar tidak takut untuk tunduk pada persidangan pidana, mengembalikan kepercayaan hidup korban dalam bermasyarakat, dan memulai rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat.

Berikut adalah beberapa bentuk perlindungan terhadap korban :
a. Ganti Kerugian
Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biayan yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban.

b. Restitusi
Restitusi lebih diarahan dalam tanggung jawan pelaku terhadap dampak yg disebabkan sebagai akibatnya target utamanya merupakan menanggulangi seluruh kerugian yg diderita sang korban.

c. Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban akibat dampak psikologis negatif dari suatu tindak pidana. Bantuan berupa penyuluhan sangat cocok untuk membantu korban kejahatan yang meninggalkan trauma lebih berkepanjangan. Selain penderitaan fisik, korban juga mengalami tekanan psikis, misalnya karena merasa kotor, berdosa dan kekurangan di masa depan.

d. Pelayanan/Bantuan Medis
Bagi korban yang menderita secara medis akibat tindak pidana. Pelayanan kesehatan yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan sehat yang berkekuatan hukum sama dengan ujian). Informasi medis ini diperlukan, khususnya jika korban ingin melaporkan kejahatan yang dilakukan sehingga polisi dapat mengambil tindakan lebih lanjut.

e. Bantuan Hukum
Bantuan hukum berupa suatu bentuk pendampingan terhadap korban. Di Indonesia bantuan ini lebih banyaj diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyakarat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan harus lah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban.

f. Pemberian Informasi
Memberikan keterangan kepada korban atau kerabat korban atau terkait dengan proses penyidikan dan penyidikan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini sangat berperan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra kepolisian, karena dengan adanya informasi tersebut diharapkan kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

g. Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk ganti rugi yang harus diperhatikan dalam aspek kemanusiaan dan hak asasi manusia. Kompensasi, sebagai suatu bentuk kompensasi, sama sekali tidak tergantung pada bagaimana proses peradilan dilakukan dan keputusan yang dibuat, bahkan jika dana untuk itu dikumpulkan oleh pemerintah atau dana publik.

Korban dalam KUHAP hanya diatur dalam Pasal 98 sampai 101. Dan dalam
Pasal-Pasal yang mengacu pada hak korban untuk menuntut ganti rugi. Mekanisme yang digunakan adalah penggabungan ganti rugi dalam perkara pidana.

sumber : Jurnal Ius Civile (Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan)
P- ISSN : 2614 – 5723
E- ISSN : 2620 – 6617
 
terus, kalian prnah kena/denger tntang penipuan melalui medsos gk si?

Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya (cybercrime)
khususnya Transaksi Elektronik yaitu
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 ayat (1) yang
berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan
tampa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalan Transaksi Elektronik”

Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik diancam pidana.”
Sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 45 A Ayat (1):
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 378 memuat unsur-unsur perbuatan penipuan. Penipuan termasuk dalam tindak pidana positif yang artinya untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerak tubuh orang berbuat. Untuk bentuk perlindungan hukum didalam KUHP minim disebutkan hak korban seperti berikut ini:
1. Hak untuk melakukan laporan (Pasal 108 Ayat (1) KUHP);
2. Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum (Pasal 77 Jo.80 KUHP);
3. Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 KUHP).

Dalam Undang-Undang ITE perlindungan yang diberikan tidak disebutkan namun berupa penyelesaian perkara yang termuat dalam Pasal 27-37 UU ITE melalui jalur pidana.

Tindak pidana ITE dalam Pasal 28
ayat(1) terdiri dari unsur-unsur berikut:
1. Kesalahan: dengan sengaja;
2. Melawan hukum:tanpa hak;
3. Perbuatan: menyebarkan;
4. Objek: berita bohong dan menyesatkan;
5. Akibat konstitutif: mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik.

Tindak pidana penipuan termasuk delik commision artinya delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan adalah berbuat sesuatu yang dilarang. Para korban penipuan online tersebut ada yang melaporkan ke pihak berwajib dan ada yang tidak melaporkan. Para korban tersebut tidak semua mengerti hukum bahkan prosedur hukum. Ketika para korban melaporkan pelaku ke pihak berwajib terkadang belum diproses atau bahkan tidak di proses dengan beberapa kendala seperti : operasional, wilayah, jangkauan, dan kekurangan bukti. Bahkan pengabaian korban (victim) terjadi pada tahap-tahap penyidikkan, penuntutan, pemeriksaan dipengadilan dan proses-proses selanjutnya, namun
seringkali penuntut umum tidak merasa mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai kemauanya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban diabaikan.

Dengan pembuktian menggunakan bukti elektronik/ hasil cetakannya untuk perluasan bukti seperti Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang ITE selain bukti lain yang sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 5 UU ITE menyatakan:
(1) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Infarmasi Elaktronik dan/ayau dokumen Elektranik dan/atau pasal hasil cetaknya sebgaimana dimksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dgn Hukum acara yang berlaku di Indunesia.

Kewajiban restitusi hanya terbatas pada tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Padahal restitusi terhadap korban telah dapat dikatakan sebagai pemenuhan restorative justice dimana merupakan konsep keadilan yang
sedang ingin dicapai dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Ganti rugi dalam bentuk restitusi sebagai pidana tambahan merupakan satu pilihan yang sangatlogis untuk memenuhi hak-hak yang selama ini seringkali tidak didapatkan oleh korban dari tindak pidana sekalipun proses hukum teradap pelaku tindak pidana telah dilakukan. Restitusi yang hanya menjadi opsi dan posisi korban yang pada umumnya awam perihal restitusi mengharuskan restitusi untuk diatur sebagai pidana tambahan.
 
Back
Top