theater
New member
Terkait memanasnya hubungan RI-Malaysia akhir-akhir ini, banyak pihak yang menuntut pemerintah bersikap tegas, mulai dari penarikan Duta Besar RI di Kuala Lumpur sampai pemutusan hubungan diplomatik.
Bahkan ada usulan agar Indonesia menyatakan perang dengan Malaysia yang telah merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Sebenarnya, pernyataan sikap seperti ini sudah sering terjadi, misalnya saat insiden “srèmpètan” antara KRI dengan kapal Tentara Laut Di Raja Malaysia tahun 2005.
Reaksi Malaysia yang terkesan angkuh tampaknya mampersulit soft diplomacy yang dijalankan Indonesia. Pada gilirannya, masalah ini menjadi isu domestik untuk menggoyang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sudut pandang kaum realis, perang adalah suatu tahapan yang wajar dalam hubungan antarnegara mengingat sistem politik dunia yang anarkistis.
Dengan tiadanya pemerintahan dunia, kaum realis percaya bahwa negara-negara mengadopsi pendekatan yang menguntungkan bagi kepentingan masing-masing, terutama di bidang keamanan.
Dengan adanya lebih dari 180 negara dalam sistem internasional saat ini, di mana kepentingan nasional mereka saling tumpang tindih, masuk akal pandangan bahwa perang tidak dapat dihindari.
Perang Suatu Kebijakan
Clausewitz, seorang filsuf perang abad ke-19 dari Prusia, menulis bahwa “perang adalah kelanjutan dari kebijakan. Cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama,” (Clausewitz, 1982). Dengan kata lain, perang bisa saja dilakukan setelah kebijakan yang ditempuh sebelumnya tidak membawa hasil.
Clausewitz melihat perang sebagai instrumen rasional dari kebijakan nasional. Ada tiga konsep utama, yaitu “rational, instrument and national”. Dalam pandangan ini, keputusan untuk melakukan perang harus rasional, didasarkan pada estimasi untung-rugi. Maksudnya, apa yang diperoleh dari perang itu harus lebih besar daripada biayanya (baik dalam hitungan rupiah maupun nyawa yang hilang). Perang sebagai instrumen berarti dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan, bukan sekadar untuk mencapai kemenangan. Perang harus bersifat nasional, dalam artian tujuannya memajukan kepentingan nasional.
Dalam kasus hubungan RI-Malaysia, upaya soft diplomacy yang telah dilakukan pemerintah RI kurang membawa hasil yang memuaskan. Jadi, pertanyaannya: “perlukah kita melakukan perang?” Pertimbangan pertama adalah, apakah keputusan untuk berperang itu rasional? Dibutuhkan dana Rp 30 triliun per bulan untuk berperang dengan Malaysia. Di tengah isu domestik bahwa harga kebutuhan pokok semakin meningkat dan rakyat kian miskin, apakah biaya sebesar itu tidak akan semakin membebani rakyat?
Pertimbangan kedua, apakah perang itu untuk kepentingan nasional? Tentu saja, ada kelompok pendukung, yaitu demi menjunjung martabat bangsa. Sebaliknya, kelompok penentang perang akan menyatakan tidak, karena perang tidak dilakukan demi keberlangsu�*ngan hidup bangsa (survival of the nation). Pertimbangan ketiga, perang harus bersifat nasional, dalam arti memajukan kepentingan nasional.
Pertimbangan Kekuatan Militer
Dalam sejarah hubungan RI-Malaysia, kedua negara pernah melakukan “konfrontasi” yang tidak pernah dideklarasikan secara formal pada awal 1960-an. Pada masa itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merupakan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dengan persenjataan canggih bantuan Uni Soviet semasa Operasi Pembebasan Irian Barat. Tetapi, pemerintahan Orde Baru dengan prioritas pembangunan ekonomi menyebabkan diabaikannya pembangunan kekuatan militer. Akibatnya, sampai 1980-an ABRI jauh tertinggal dibanding dengan angkatan bersenjata di kawasan ini.
Upaya mengejar ketinggalan terutama di bidang teknologi maritim dan dirgantara terkendala mahalnya alutsista untuk matra laut dan udara. Selain itu, kondisi politik domestik saat itu menyebabkan penekanan pada keamanan dalam negeri (inward looking), sehingga pembangunan lebih difokuskan pada matra darat. Sebaliknya, keberhasilan pembangunan ekonomi Malaysia tanpa gejolak politik domestik yang berarti menyebabkan mereka mampu membangun kekuatan militernya.
Secara kuantitatif, Indonesia unggul dibanding Malaysia. Namun secara kualitatif barangkali Malaysia lebih unggul dibanding Indonesia. Dalam suatu perang jangka panjang yang menguras tenaga lawan (war of attrition) bisa dipastikan Indonesia akan menang. Apalagi ada lebih dari 1 juta TKI di Malaysia yang bisa dimanfaatkan sebagai kolone kelima. Masalahnya, dengan biaya Rp 30 triliun per bulan, apakah Indonesia mampu berperang?
Alutsista Tentara Di Raja Malaysia relatif lebih baru dan canggih dibanding alutsista TNI. Misalnya, ASTROS 127mm apabila ditempatkan di sepanjang pantai Selat Malaka, jarak tembaknya bisa menjangkau Pekanbaru dan kota-kota lain di pantai Sumatera Timur. Rudal Harpoon memiliki jarak tembak 70 mil, sedangkan Exocet hanya 20 mil. Pesawat tempur Tentara Udara Di Raja Malaysia relatif lebih baru dibanding pesawat tempur TNI-AU.
Namun, kelemahan tentara Diraja Malaysia adalah kurangnya pengalaman berperang. Sejak berakhirnya Konfrontasi, mereka tidak pernah mengalami perang sementara TNI dalam 30 tahun terakhir melakukan berbagai operasi militer terhadap gerakan separatis di Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya.
Yang kadang terlupakan adalah sejak 1971 Malaysia terikat dengan Pengaturan Pertahanan Lima Negara bersama Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Singapura yang mengatur bahwa kelima negara akan saling membantu apabila Malaysia atau Singapura diserang. Namun, seandainya terjadi perang antara Indonesia dan Malaysia, kecil kemungkinan Inggris atau Selandia Baru akan melibatkan diri, mengingat letak geografis mereka yang cukup jauh.
Singapura diduga akan bersikap netral karena posisinya yang terjepit di antara dua “saudara tua”. Australia agak sulit diterka, karena sikapnya yang sering bermusuhan (hostile) terhadap Indonesia, tapi juga tidak terlalu mesra dengan Malaysia di masa kepemimpinan PM Mahathir Mohammad.
Pentingnya jalur pelayaran Selat Malaka bagi perekonomian banyak negara besar, termasuk Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Uni Eropa, akan membuat mereka menaruh perhatian seandainya terjadi perang. Hampir pasti mereka akan menawarkan jasa mediasi untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara.
Faktor lain yang cukup penting adalah kedua negara merupakan dua dari lima negara pendiri ASEAN dan menandatangani Treaty of Amity and Cooperation pada tahun 1976 yang mengusulkan cara damai untuk menyelesaikan sengketa antara sesama anggota ASEAN serta menolak penggunaan kekerasan atau ancaman. Selain itu, kedua negara telah sering terlibat dalam berbagai misi perdamaian PBB.
Beberapa pertimbangan itu menunjukkan bahwa perang bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah. Sun Tzu, seorang filsuf perang dari China, berkata “itulah sebabnya berperang seratus kali dan menang seratus kali bukanlah suatu siasat yang baik. Menaklukkan tentara lawan tanpa berperang adalah siasat yang paling baik!”
Kedua negara bisa meminta jasa pihak ketiga yang netral untuk menjadi mediator, misalnya negara-negara OKI. Selain jalur diplomasi formal, sebenarnya kedua negara bisa memanfaatkan second track seperti CSCAP (Council of Security Cooperation in Asia Pacific) atau pertemanan pri�*badi antara para perwira tinggi militer kedua negara dalam kerangka CBMs (Confidence Building Measures) untuk mencari jalan keluar yang menguntungkan bagi kedua negara (win-win solution) tanpa harus kehilangan muka.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa perang antara Indonesia dan Malaysia tidak perlu terjadi. Namun untuk mencegah memburuknya hubungan kedua negara di kemudian hari, perlu penanganan yang tuntas atas akar permasalahan, yaitu masalah perbatasan. Di lain pihak, Indonesia perlu bersikap lebih tegas terhadap Negara Jiran yang sering tidak menunjukkan sikap bertetangga yang baik dan selalu bersembunyi di balik jargon saudara serumpun.
Dosen Kajian Strategis Program Internasional Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP–UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bahkan ada usulan agar Indonesia menyatakan perang dengan Malaysia yang telah merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Sebenarnya, pernyataan sikap seperti ini sudah sering terjadi, misalnya saat insiden “srèmpètan” antara KRI dengan kapal Tentara Laut Di Raja Malaysia tahun 2005.
Reaksi Malaysia yang terkesan angkuh tampaknya mampersulit soft diplomacy yang dijalankan Indonesia. Pada gilirannya, masalah ini menjadi isu domestik untuk menggoyang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari sudut pandang kaum realis, perang adalah suatu tahapan yang wajar dalam hubungan antarnegara mengingat sistem politik dunia yang anarkistis.
Dengan tiadanya pemerintahan dunia, kaum realis percaya bahwa negara-negara mengadopsi pendekatan yang menguntungkan bagi kepentingan masing-masing, terutama di bidang keamanan.
Dengan adanya lebih dari 180 negara dalam sistem internasional saat ini, di mana kepentingan nasional mereka saling tumpang tindih, masuk akal pandangan bahwa perang tidak dapat dihindari.
Perang Suatu Kebijakan
Clausewitz, seorang filsuf perang abad ke-19 dari Prusia, menulis bahwa “perang adalah kelanjutan dari kebijakan. Cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama,” (Clausewitz, 1982). Dengan kata lain, perang bisa saja dilakukan setelah kebijakan yang ditempuh sebelumnya tidak membawa hasil.
Clausewitz melihat perang sebagai instrumen rasional dari kebijakan nasional. Ada tiga konsep utama, yaitu “rational, instrument and national”. Dalam pandangan ini, keputusan untuk melakukan perang harus rasional, didasarkan pada estimasi untung-rugi. Maksudnya, apa yang diperoleh dari perang itu harus lebih besar daripada biayanya (baik dalam hitungan rupiah maupun nyawa yang hilang). Perang sebagai instrumen berarti dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan, bukan sekadar untuk mencapai kemenangan. Perang harus bersifat nasional, dalam artian tujuannya memajukan kepentingan nasional.
Dalam kasus hubungan RI-Malaysia, upaya soft diplomacy yang telah dilakukan pemerintah RI kurang membawa hasil yang memuaskan. Jadi, pertanyaannya: “perlukah kita melakukan perang?” Pertimbangan pertama adalah, apakah keputusan untuk berperang itu rasional? Dibutuhkan dana Rp 30 triliun per bulan untuk berperang dengan Malaysia. Di tengah isu domestik bahwa harga kebutuhan pokok semakin meningkat dan rakyat kian miskin, apakah biaya sebesar itu tidak akan semakin membebani rakyat?
Pertimbangan kedua, apakah perang itu untuk kepentingan nasional? Tentu saja, ada kelompok pendukung, yaitu demi menjunjung martabat bangsa. Sebaliknya, kelompok penentang perang akan menyatakan tidak, karena perang tidak dilakukan demi keberlangsu�*ngan hidup bangsa (survival of the nation). Pertimbangan ketiga, perang harus bersifat nasional, dalam arti memajukan kepentingan nasional.
Pertimbangan Kekuatan Militer
Dalam sejarah hubungan RI-Malaysia, kedua negara pernah melakukan “konfrontasi” yang tidak pernah dideklarasikan secara formal pada awal 1960-an. Pada masa itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merupakan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dengan persenjataan canggih bantuan Uni Soviet semasa Operasi Pembebasan Irian Barat. Tetapi, pemerintahan Orde Baru dengan prioritas pembangunan ekonomi menyebabkan diabaikannya pembangunan kekuatan militer. Akibatnya, sampai 1980-an ABRI jauh tertinggal dibanding dengan angkatan bersenjata di kawasan ini.
Upaya mengejar ketinggalan terutama di bidang teknologi maritim dan dirgantara terkendala mahalnya alutsista untuk matra laut dan udara. Selain itu, kondisi politik domestik saat itu menyebabkan penekanan pada keamanan dalam negeri (inward looking), sehingga pembangunan lebih difokuskan pada matra darat. Sebaliknya, keberhasilan pembangunan ekonomi Malaysia tanpa gejolak politik domestik yang berarti menyebabkan mereka mampu membangun kekuatan militernya.
Secara kuantitatif, Indonesia unggul dibanding Malaysia. Namun secara kualitatif barangkali Malaysia lebih unggul dibanding Indonesia. Dalam suatu perang jangka panjang yang menguras tenaga lawan (war of attrition) bisa dipastikan Indonesia akan menang. Apalagi ada lebih dari 1 juta TKI di Malaysia yang bisa dimanfaatkan sebagai kolone kelima. Masalahnya, dengan biaya Rp 30 triliun per bulan, apakah Indonesia mampu berperang?
Alutsista Tentara Di Raja Malaysia relatif lebih baru dan canggih dibanding alutsista TNI. Misalnya, ASTROS 127mm apabila ditempatkan di sepanjang pantai Selat Malaka, jarak tembaknya bisa menjangkau Pekanbaru dan kota-kota lain di pantai Sumatera Timur. Rudal Harpoon memiliki jarak tembak 70 mil, sedangkan Exocet hanya 20 mil. Pesawat tempur Tentara Udara Di Raja Malaysia relatif lebih baru dibanding pesawat tempur TNI-AU.
Namun, kelemahan tentara Diraja Malaysia adalah kurangnya pengalaman berperang. Sejak berakhirnya Konfrontasi, mereka tidak pernah mengalami perang sementara TNI dalam 30 tahun terakhir melakukan berbagai operasi militer terhadap gerakan separatis di Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya.
Yang kadang terlupakan adalah sejak 1971 Malaysia terikat dengan Pengaturan Pertahanan Lima Negara bersama Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Singapura yang mengatur bahwa kelima negara akan saling membantu apabila Malaysia atau Singapura diserang. Namun, seandainya terjadi perang antara Indonesia dan Malaysia, kecil kemungkinan Inggris atau Selandia Baru akan melibatkan diri, mengingat letak geografis mereka yang cukup jauh.
Singapura diduga akan bersikap netral karena posisinya yang terjepit di antara dua “saudara tua”. Australia agak sulit diterka, karena sikapnya yang sering bermusuhan (hostile) terhadap Indonesia, tapi juga tidak terlalu mesra dengan Malaysia di masa kepemimpinan PM Mahathir Mohammad.
Pentingnya jalur pelayaran Selat Malaka bagi perekonomian banyak negara besar, termasuk Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Uni Eropa, akan membuat mereka menaruh perhatian seandainya terjadi perang. Hampir pasti mereka akan menawarkan jasa mediasi untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara.
Faktor lain yang cukup penting adalah kedua negara merupakan dua dari lima negara pendiri ASEAN dan menandatangani Treaty of Amity and Cooperation pada tahun 1976 yang mengusulkan cara damai untuk menyelesaikan sengketa antara sesama anggota ASEAN serta menolak penggunaan kekerasan atau ancaman. Selain itu, kedua negara telah sering terlibat dalam berbagai misi perdamaian PBB.
Beberapa pertimbangan itu menunjukkan bahwa perang bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah. Sun Tzu, seorang filsuf perang dari China, berkata “itulah sebabnya berperang seratus kali dan menang seratus kali bukanlah suatu siasat yang baik. Menaklukkan tentara lawan tanpa berperang adalah siasat yang paling baik!”
Kedua negara bisa meminta jasa pihak ketiga yang netral untuk menjadi mediator, misalnya negara-negara OKI. Selain jalur diplomasi formal, sebenarnya kedua negara bisa memanfaatkan second track seperti CSCAP (Council of Security Cooperation in Asia Pacific) atau pertemanan pri�*badi antara para perwira tinggi militer kedua negara dalam kerangka CBMs (Confidence Building Measures) untuk mencari jalan keluar yang menguntungkan bagi kedua negara (win-win solution) tanpa harus kehilangan muka.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa perang antara Indonesia dan Malaysia tidak perlu terjadi. Namun untuk mencegah memburuknya hubungan kedua negara di kemudian hari, perlu penanganan yang tuntas atas akar permasalahan, yaitu masalah perbatasan. Di lain pihak, Indonesia perlu bersikap lebih tegas terhadap Negara Jiran yang sering tidak menunjukkan sikap bertetangga yang baik dan selalu bersembunyi di balik jargon saudara serumpun.
Dosen Kajian Strategis Program Internasional Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP–UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.