Che Guevara berha-, dap-hadapan dengan Benito Mussolini di Stadion
‘Armando Picchi. Di belakang sosok sang tokoh, ribuan pendukung saling melontarkan makian. Para pendikung Mussolini menyanyikan yel-yel antikomunis. Sebaliknya, para pendukung Che menghujat
habis sosok pimpinan ultranasionalis Italia itu. Kejadian tersebut rutin terjadi dalam
pertandingan Liga Italia antara Livorno berhadapan dengan Lazio.
Di saat 22 pemain berge
baan lut di atas lapangan hijau, kekukan
dua pendukung saling berta yang rung ideologi politik dan atas tribun. Peristiwa di Liga ltalia itu memberikan gambaran
bahwa lapangan hijau memang tidak lepas dengan
dunia politik. Lazio vs Livorno hanya salah satü contoh bagaimana hubungan politik
dan sepak bola. Hubungan yang secara alami terbangun
atas warisan ideologis dan
sejarah masing-masing penemunya
dukung. Pun halnya faktor politik di
belakang persaingan Bar-ce
akan lona-Real Madrid di Spanyol
atau Glasgow Rangers vs Glasgow Celtic di Skotlandia.
Alhasil, ideologi politik pun jadi ‘bumbu penyedap’ dalam industri sepak bola. Bumbu yang membuat para pesepak bola terpacu. Bila politikjadi bumbu penyedap sepak bola di Eropa, di Indonesia politikjustrujadi racun yang membuat sepak bola nasional mati sun. Celakanya, bukan kiub dan pendukung yang memainkan peranan dalam rivalitas tersebut, melainkan para pengurus sepak bola yang seharusnya jadi katalisator penyeimbang.
Kongres PSSI pada 20
Mei tak pelak lebih menyerupai ajang pemilukada ketimbang pemilihan kepala induk olahraga. Mau bukti? Marllah ural kandidat yang maju dalam persaingan menuju kursi PSSI.
Indra Mukhlis Adnan feF catat sebagal ketua DPD Golkar Riau, Achsanul Qosasi (anggota DPR dan Fraksi Demokrat), Agusman Effendi (Golkar), Adnan Dambesa (Nasional Demokrat), Wahidin Halim (Demokrat), Erwin Aksa (Golkar), Tahir Mahmud (Demokrat), Habil Marati (PPP), IGK Manila (Nasional Demokrat), serta sejumlah calon lain yang masih terkait dengan kekuatan politik nasional.
Tak pelak kenyataan mi membuat sejumlah publik sepak bola gerah. Salah satu calon, Adhyaksa Dault, malah memilih mundur dan pencalonan. Dia beralasan kongres PSS lebih kental unsur politiknya yang jauh dan sisi sportivitas.
Di saat para calon pemimpin adu sikut, pemain di lapangan dibuat bingung. Pemain kini dihadapkan pada kenyataan bahwa induk mereka akan kembali diisi orang-orang politik, ketimbang praktisi olahraga.
Kata-kata penubahan yang dilayangkan tak lebih dan sekadarjanji seorang politikus. Janji yang sudah sangat dimengerti para pesepak bola yang hanya rakyatjelata. Janji layaknya angin surga di sebuah pemilukada. Harapan melihat perubahan PSSI dengan kongres politik mi hanya sekadar omong kosong. Para calon tak lebih merupakan suksesor Seorang Nurdin Halid yang mewakili politikus di PSSI.
Maka, jangan harap melihat hasil dalam kongres tersebut. Yang ada hanyalah akhirtanpa hasil alias nihil akibat ulah sebagian kelompok yang memaksakan kehendak.
Racun pun harus kembali ditelan sepak bola nasional. Racun politik yang membuat sepak bola Indonesia mati sun, kening prestasi.
‘Armando Picchi. Di belakang sosok sang tokoh, ribuan pendukung saling melontarkan makian. Para pendikung Mussolini menyanyikan yel-yel antikomunis. Sebaliknya, para pendukung Che menghujat
habis sosok pimpinan ultranasionalis Italia itu. Kejadian tersebut rutin terjadi dalam
pertandingan Liga Italia antara Livorno berhadapan dengan Lazio.
Di saat 22 pemain berge
baan lut di atas lapangan hijau, kekukan
dua pendukung saling berta yang rung ideologi politik dan atas tribun. Peristiwa di Liga ltalia itu memberikan gambaran
bahwa lapangan hijau memang tidak lepas dengan
dunia politik. Lazio vs Livorno hanya salah satü contoh bagaimana hubungan politik
dan sepak bola. Hubungan yang secara alami terbangun
atas warisan ideologis dan
sejarah masing-masing penemunya
dukung. Pun halnya faktor politik di
belakang persaingan Bar-ce
akan lona-Real Madrid di Spanyol
atau Glasgow Rangers vs Glasgow Celtic di Skotlandia.
Alhasil, ideologi politik pun jadi ‘bumbu penyedap’ dalam industri sepak bola. Bumbu yang membuat para pesepak bola terpacu. Bila politikjadi bumbu penyedap sepak bola di Eropa, di Indonesia politikjustrujadi racun yang membuat sepak bola nasional mati sun. Celakanya, bukan kiub dan pendukung yang memainkan peranan dalam rivalitas tersebut, melainkan para pengurus sepak bola yang seharusnya jadi katalisator penyeimbang.
Kongres PSSI pada 20
Mei tak pelak lebih menyerupai ajang pemilukada ketimbang pemilihan kepala induk olahraga. Mau bukti? Marllah ural kandidat yang maju dalam persaingan menuju kursi PSSI.
Indra Mukhlis Adnan feF catat sebagal ketua DPD Golkar Riau, Achsanul Qosasi (anggota DPR dan Fraksi Demokrat), Agusman Effendi (Golkar), Adnan Dambesa (Nasional Demokrat), Wahidin Halim (Demokrat), Erwin Aksa (Golkar), Tahir Mahmud (Demokrat), Habil Marati (PPP), IGK Manila (Nasional Demokrat), serta sejumlah calon lain yang masih terkait dengan kekuatan politik nasional.
Tak pelak kenyataan mi membuat sejumlah publik sepak bola gerah. Salah satu calon, Adhyaksa Dault, malah memilih mundur dan pencalonan. Dia beralasan kongres PSS lebih kental unsur politiknya yang jauh dan sisi sportivitas.
Di saat para calon pemimpin adu sikut, pemain di lapangan dibuat bingung. Pemain kini dihadapkan pada kenyataan bahwa induk mereka akan kembali diisi orang-orang politik, ketimbang praktisi olahraga.
Kata-kata penubahan yang dilayangkan tak lebih dan sekadarjanji seorang politikus. Janji yang sudah sangat dimengerti para pesepak bola yang hanya rakyatjelata. Janji layaknya angin surga di sebuah pemilukada. Harapan melihat perubahan PSSI dengan kongres politik mi hanya sekadar omong kosong. Para calon tak lebih merupakan suksesor Seorang Nurdin Halid yang mewakili politikus di PSSI.
Maka, jangan harap melihat hasil dalam kongres tersebut. Yang ada hanyalah akhirtanpa hasil alias nihil akibat ulah sebagian kelompok yang memaksakan kehendak.
Racun pun harus kembali ditelan sepak bola nasional. Racun politik yang membuat sepak bola Indonesia mati sun, kening prestasi.