Poligami ala Emha

Kalina

Moderator
KETIKA KH Abdullah Gymnastiar membeberkan pernikahan keduanya di media massa beberapa waktu lalu, wacana poligami kembali menjadi menu perbincangan hangat di negeri ini. Apa yang dilakukan Aa? Gym seperti memantik reaksi sejumlah kalangan untuk buka suara. Bahkan, DPP Partai Bintang Reformasi yang notabene partai berasaskan Islam memutuskan mencopot kadernya dari kursi wakil ketua DPR, gara-gara yang bersangkutan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Aa? Gym. Ada apa sebenarnya dengan poligami. Sebegitu menakutkankah ia, sehingga para pelakunya -meminjam bahasanya Zaenal Ma?arif (Jawa Pos, 31/12/2006)? dikejar-kejar layaknya seorang teroris.

Poligami memang tak henti menyulutkan kontroverasi. Di tengah maraknya isu yang berkembang di negeri yang sedang panen bencana ini, ia tampil di depan publik melengkapi seabrek permasalahan yang sedang terjadi. Tak tanggung-tanggung, pemerintah tak mau kalah dalam pertarungan wacana itu dengan berencana merevisi Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 dan PP. No. 10 Tahun 1983. Pertanyaannya, betulkah poligami adalah sesuatu yang penting sehingga kehadirannya mampu menyedot sebagian opini publik? Apakah perbincangan mengenai poligami betul-betul telah menyentuh hal yang substansial? Hal-hal semacam itulah yang tampaknya mengilhami Cak Nun -panggilan akrab Emha Ainun Nadjib- untuk menulis buku ini.

Menurut Cak Nun, perdebatan mengenai poligami yang selama ini terjadi hanya berputar-putar pada wilayah kulit. Tak ada keseriusan dari berbagai pihak dengan berusaha mencari landasan hukumnya pada khasanah agama, ideologi, atau filsafat (hlm. 11).

Dengan memakai pendekatan sastra, Cak Nun menciptakan situasi di mana ia sedang terlibat pembicaraan dengan Yai Sudrun. Dengan sangat piawai, ia menyusun serangkaian dialog mengenai soal-soal kehidupan yang sarat dengan muatan makna. Yang menarik, kesengajaan Cak Nun mengemukakan sejumlah pengalamannya dalam hal keberagamaan, baik ia sebagai pribadi atau tatkala berkelana ke berbagai belahan dunia bersama komunitasnya Kyai Kanjeng, adalah upayanya mengemukakan sikap hidup sebagai seorang Emha yang sunyi, yang pemikirannya cenderung melawan mainstream. Cak Nun memang unik, meski gagasan awal buku ini adalah mengusung tema poligami, sebagaimana tersurat dalam judulnya, kenyataannya ia mampu menyeret pembaca untuk menjelajah setiap kemungkinan dalam ruang kehidupan.

Mungkin kita bertanya, siapa sebenarnya Yai Sudrun? Kenapa dalam banyak karyanya Cak Nun sering menghadirkan sosok itu? Apakah ia hanya tokoh fiktif yang semata-mata hasil imajinasi Emha? Ataukah benar-benar ada dalam alam kasunyatan? Hanya Cak Nun yang tahu. Yang jelas, Yai Sudrun bagi Cak Nun adalah sosok nyentrik yang memiliki sangat banyak keajaiban (hlm. 18-20). Mungkin Yai Sudrun adalah Gus Ud, kiai khariqul adat dari Sidoarjo yang sering diceritakan Cak Nun dalam pengajian-pengajiannya. Atau, mungkin Gus Dur, yang kata Cak Nun adalah makhluk penidur yang memiliki dimensi berbeda dengan kebanyakan makhluk. Namun, sekali lagi, ini hanya kemungkinan. Kepastiannya hanya Cak Nun wallahu ya?lam.

Tentang poligami, Cak Nun mengawalinya dengan memandang hubungan suami istri tidak terbatas antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Hubungan persuami-istrian bisa berlaku juga antara Tuhan dan manusia, manusia dan alam semesta, pemerintah dan rakyat jelata, dll. Ia lantas membedakan cinta berdasarkan konteks sifat Allah, yakni ar-Rahim (cinta ke-dalam, cinta vertikal, cinta personal) dan ar-Rahman (cinta meluas, horizontal, keluar) yang saling berdialektika antara satu dengan yang lain (hlm. 37).

Mengenai cinta ar-Rahim, Cak Nun memberikan contoh dengan memaparkan sejarah hidupnya sendiri. Ia mengatakan bahwa istri ar-Rahimnya hanyalah satu, yakni Novia Kolopaking. Sementara ke-ajeg-anya menghadiri forum rutin bulanan di berbagai kota untuk melakukan pemberdayaan publik, gerakan kebudayaan, penyebaran cinta kemanusiaan, manivestasi sholawat dalam lingkaran cinta segitiga, serta tema-tema krusial lainnya, semua ia persembahkan kepada istrinya yang lain dalam konteks ar-Rahman. Pada keadaan itu, Cak Nun lantas bertanya, apakah masih ada tempat yang luang dalam hidupnya yang bisa dipergunakan untuk berpikir mencari istri ar-Rahim selain Novia?

Emha memang Emha, namun dalam setiap pengajiannya baik di Kenduri Cinta (Jakarta), Padhang Mbulan (Jombang), Gambang Syafaat (Semarang), Mocopat Syafaat (Yogja), Bangbang Wetan (Surabaya), atau di tempat-tempat lain yang sifatnya tentatif, ia selalu menekankan kepada jamaah agar meletakkan Allah dan Muhammad sebagai satu-satunya yang utama. Mengenai Muhammad yang sering disalahpahami lantaran beristri lebih dari satu, Cak Nun menuturkan bahwa dalam konteks ar-Rahim, istri Nabi hanyalah Khadijah. Setelah Khadijah wafat, posisinya beralih pada Aisyah. Sementara istrinya yang lain setelah itu lebih disebabkan pertimbangan sosial dalam konteks ar-Rahman.

Yang menarik untuk direnungkan adalah, bagaimana cinta ar-Rahim-nya Kanjeng Nabi justru memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap cintanya dalam konteks ar-Rahman. Bukankah sebelum wafat, kalimat yang terucap dari bibirnya adalah ummati, ummati, dan bukannya Khadijah atau Aisyah. Ini menunjukkan betapa nabi kinasih itu meletakkan umatnya sebagai istrinya yang utama. Sementara tidak demikian dengan kita. Kita cenderung senang berpoligami dengan mempermaisurikan dunia, karier pribadi, pangkat, kekuasaan, dan hal remeh-temeh lainnya yang sejatinya tak pernah mencintai kita.

Poligami memang tidak dilarang dalam Islam. Namun, bagi Cak Nun, firman Tuhan yang dijadikan acuan untuk menikah lebih dari satu harus dipahami sebagai upaya Tuhan untuk mengajak manusia berdiskusi (hlm. 60). Menurut dia, ayat yang membolehkan poligami itu adalah sebuah tahap. Dan karenanya, seseorang harus melewati tahap berikutnya dengan menggunakan akal agar ia tidak mengalami stagnasi dalam memahami syariat Islam. Namun kenyataanya, pemahaman tentang ayat itu di-stop dan seolah-olah ayat itulah yang melegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan poligami. Padahal, masih ada dimensi lain yang bagi Cak Nun sangat perlu untuk dipertimbangkan.

Walhasil, dengan membaca buku seri ilmu hidup ini, wawasan kita tentang poligami mungkin akan bertambah. Maka, apa salahnya jika kita taburi pikiran kita dengan pernik-pernik pemikiran Cak Nun agar kita tidak termasuk seperti yang disampaikannya, bahwa poligami terjadi hanya di dunia katak.
 
halah.. halaaaha.. pengen banget ya, dikomentarin..
nih:

... aku komentaaaar....

udah. makasih.. hehehe

eniwei, yup, buku yg km bedah emang bagus bgt. aku udah baca... kalau konteksnya persuami-istrian dengan alam semesta, maka setiap manusia dalam posisinya sebagai khilafah adalah 'suami' alam semesta..
setiap manusia, loh.. berarti lelaki maupun perempuan...

btw,
mungkinkah seseorang punya cinta ar-rahman tnpa punya cinta ar-rahiim?

salam manis,

yg manis
 
Klo masalah poligami sih kayaknya tergantung orangnya.....:D
Tidak memandang ahli agama, politikus, atau apalah....
 
Back
Top