Rage in Peace – Emosi dalam Wahana Roller Coaster
Salah satu game Indonesia terbaik, terutama dari segi narasi
Ketika pertama kali mencicipi Rage in Peace dalam acara PopCon Asia 2016, saya langsung tahu bawa game ini akan menjadi sebuah game yang spesial. Saya tentu tidak bisa memperkirakan akan sesukses apa Rage in Peace secara finansial karena saya tak punya ilmu tentang itu. Akan tetapi saya amat yakin, Rolling Glory Jam punya potensi menciptakan sesuatu yang lain daripada developer Indonesia pada umumnya.
Keyakinan itu adalah sesuatu yang agak sulit untuk dijelaskan secara spesifik. Mungkin karena sejak awal, Rolling Glory Jam telah menunjukkan vertical slice yang sangat terpoles baik, bukan hanya prototipe tapi sudah berwujud sepotong game dengan standar kualitas ritel. Mungkin karena begitu menggenggam gamepad, hanya butuh waktu beberapa detik untuk saya merasa bahwa ini adalah game yang “feels good to play”. Atau mungkin semua itu hanya firasat saja, entahlah.
Satu hal yang pasti, saya punya ekspektasi tinggi terhadap Rage in Peace. Malah mungkin tingginya sudah sampai kadar agak tidak sehat. Saya sudah ngefans dengan game ini bahkan sebelum saya tahu apakah game ini betulan bakal rilis atau tidak. Lebih parah lagi, para developernya berkata pada saya bahwa mereka ingin game ini bukan jadi platformer biasa. Berlawanan dengan konsensus umum bahwa daya tarik utama platformer adalah gameplay, Rolling Glory Jam justru ingin Rage in Peace punya kekuatan utama di cerita. Ekspektasi saya semakin meroket.
Saya berharap banyak pada Rage in Peace, tapi sekaligus juga skeptis. Sebagus-bagusnya cerita buatan mereka, saya tidak yakin Rolling Glory Jam bisa menyajikan sesuatu selevel game yang dari awal memang dirancang untuk narrative-driven. Feeling saya mengatakan bahwa Rage in Peace akan menjadi game yang bagus, berkualitas di atas rata-rata, namun kemungkinan masih jauh untuk masuk dalam jajaran masterpiece atau platformer legendaris.
Terima kasih, Rolling Glory Jam, karena telah membuktikan bahwa saya salah.
Damai dalam amarah
Rage in Peace adalah sebuah side-scrolling platformer yang diciptakan oleh studio game asal Bandung, Rolling Glory Jam, dan diterbitkan oleh Toge Productions. Dalam game ini, Anda berperan sebagai Timmy Malinu, seorang pemuda berkepala marshmallow yang punya sebuah impian sederhana. Ia ingin mati dalam keadaan damai, di atas kasur, sambil memakai piyama dan tanpa drama.
Suatu hari, tiba-tiba Timmy didatangi oleh malaikat pencabut nyawa alias Grim Reaper. Tanpa peringatan, Grim Reaper berkata bahwa giliran mati bagi Timmy telah tiba. Tapi Grim Reaper sedang berbaik hati. Ia mengizinkan Timmy untuk berusaha mewujudkan paling tidak satu impian terakhirnya. Maka dimulailah perjalanan Timmy menuju rumah dengan selamat, sebelum akhirnya ajal benar-benar menjemput.
Apa side-scrolling platformer paling sederhana yang pernah Anda mainkan? Mungkin Anda akan menjawab pertanyaan ini dengan Super Mario Bros. versi NES. Nah, Rage in Peace bahkan lebih sederhana lagi dari itu, setidaknya dari segi sistem kontrol. Game ini hanya memiliki satu tombol aksi, yaitu untuk melompat. Ya, benar-benar hanya satu. Setidaknya di Super Mario Bros. kita masih bisa menembakkan bola-bola api, atau melakukan sprint.
Sementara Timmy, jangankan menembak. Jongkok saja dia tidak bisa.
Sistem kendali begitu sederhana, bukan berarti game ini lantas gampang. Justru kebalikannya. Rage in Peace adalah game yang sangat sulit. Dalam perjalanan menuju rumah, Timmy harus menghindari aneka rupa marabahaya. Setiap jebakan dan musuh di game ini dirancang untuk muncul tiba-tiba, di tempat-tempat tak terduga. Jadi Anda akan sering, sangat sangat sering mati.
Untuk menyelesaikan stage, Anda harus berkonsentrasi, menghapal lokasi serta timing jebakan-jebakan yang ada, kemudian mengendalikan Timmy agar dapat menghindar dengan cekatan. Jadi Rage in Peace merupakan kombinasi antara tantangan otak dan tantangan jari. Tapi jangan khawatir bila Anda sering mati. Di sini tidak ada game over, juga tidak ada penalti apa pun meski Anda harus mengulang stage hingga ratusan kali.
Untungnya lagi, Rage in Peace juga menyediakan sangat banyak checkpoint, sehingga Anda tidak perlu takut mengulang terlalu jauh ketika gagal. Game ini memang susah, tapi tantangan yang diberikan tak pernah terasa tidak adil. Ada keseimbangan yang pas antara kesulitan dengan fasilitas bantuan yang disediakan, jadi pemain tidak akan sampai merasa frustrasi. Paling-paling lelah saja setelah memaksa otak bekerja keras untuk menyelesaikan beberapa stage berturut-turut.
Di awal-awal mungkin Anda akan merasa geregetan melihat Timmy mati berulang kali. Tapi setelah angka kematian itu mencapai tiga digit, kemungkinan Anda sudah tidak peduli lagi. Di titik itu, Anda akan merasa game ini berubah, dari sekadar “platformer susah” menjadi semacam media meditasi di mana seluruh pikiran Anda hanya fokus pada satu hal: memorisasi. Setelah berhasil melewati fase rage, Anda akan masuk ke kondisi mental peace. Anda menerima kesulitan sebagai suatu keniscayaan, kemudian pikiran Anda tenggelam ke dalam dunia kecil namun imersif yang dihiasi warna-warna senja, alunan musik post-rock, serta mungkin, aroma kopi.
Rebirth, Reminisce, Redemption
Rage in Peace memiliki cerita yang terdiri dari enam babak (Act). Saya sungguh berharap bisa menceritakan semuanya, kemudian meyakinkan Anda untuk tidak ragu-ragu membeli game ini. Tapi itu berarti saya harus menyebarkan dosa besar yang bernama spoiler. Paling banter, saya setidaknya bisa bercerita bahwa semua hal yang saya katakan tentang Rage in Peace sejauh ini hanya berlaku hingga Act 3.
Mulai Act 4 ke belakang, lupakan semua yang Anda ketahui tentang Rage in Peace. Lupakan semua bayangan Anda tentang platformer normal, karena Rage in Peace adalah game yang sama sekali tidak normal. Seperti menonton anime Food Wars: Shokugeki no Soma, pada awalnya Anda akan mengira sang koki sedang memasak nasi goreng, tapi begitu sampai di akhir ternyata hasilnya adalah pizza.
Ketika Rolling Glory Jam berkata bahwa mereka ingin narasi jadi unsur terkuat Rage in Peace, mereka sama sekali tidak main-main. Ini bukan “platformer yang punya cerita”. Ini adalah “cerita yang kebetulan punya platformer”. Semua mekanisme gameplay dalam Rage in Peace dirancang untuk menyampaikan suatu narasi, bahkan sampai ke hal-hal yang kecil. Hal-hal sepele, tapi mengandung nuansa serta simbolisme berkaitan dengan cerita yang sedang Anda alami. Yang, tentu saja, satu pun tidak bisa saya ceritakan kecuali dengan kata-kata ambigu seperti ini.
Saya tidak bisa memberi tahu Anda isi cerita Rage in Peace, tapi saya bisa memberi tahu bahwa game ini mengingatkan saya akan banyak hal. Banyak sekali hal, yang sama sekali tak terduga. Ketika saya berada di Act 3, saya teringat akan ketegangan mempertahankan nyawa di Dead Cells yang saya ulas beberapa waktu lalu. Ketika masuk ke cerita flashback masa lalu Timmy, saya teringat pada salah satu adegan bittersweet di drama tahun 1991 berjudul Tokyo Love Story. Dan ketika akhirnya cerita utama game ini mulai terkuak, nuansa yang saya rasakan mirip seperti ketika dulu memainkan Brothers: A Tale of Two Sons.
Menyebut judul-judul di atas bukan berarti Rage in Peace adalah game yang tidak punya identitas. Justru sebaliknya, Rage in Peace memberi saya hantaman emosional begitu kuat, yang sebelumnya hanya saya rasakan dari judul-judul tersebut. Anda mungkin akan membandingkannya dengan hal-hal lain, tergantung dari pengalaman pribadi Anda. Mungkin Anda akan membandingkan Rage in Peace dengan NieR: Automata, atau Journey, atau sesuatu yang lain. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Anda harus memainkannya sendiri.
Saya percaya bahwa seseorang yang sedang berkarya harus memegang prinsip “berani ngawur”. Ngawur tidak dalam artian bekerja asal-asalan, tapi berpikir sesuatu yang begitu tak lazim sampai-sampai orang lain bingung dari mana asal idenya. Go big or go home, begitu istilah kerennya. Saya rasa Rolling Glory Jam pun punya semangat seperti ini, dan setelah memainkan produk jadinya, saya paham mengapa Rage in Peace yang “cuma” platformer ini makan waktu tiga tahun untuk diselesaikan.
Video game adalah medium yang hebat
Dari tadi saya banyak berkoar tentang bagaimana narasi adalah daya tarik terkuat dari Rage in Peace. Tapi tahukah Anda, bahwa narasi yang saya maksud itu bukanlah tentang teks? Lebih tepatnya, bukan sekadar tentang teks.
Narasi dalam Rage in Peace adalah pertunjukan. Sebuah pentas, di mana para pemeran menari-nari di atasnya mengikuti koreografi dari sang sutradara. Mereka tampil mengenakan pakaian-pakaian indah, berlatar panggung sarat dekorasi yang terkadang terasa surreal namun sekaligus juga nyata. Permainan cahaya membawa kita hanyut ke suatu fantasi yang memabukkan, sementara alunan musik menjadi pilar tak tergantikan yang membuat adegan di depan mata itu layak disebut drama.
Bagian terbaiknya? Anda adalah bagian dari pertunjukan tersebut. Bukan sekadar hiburan, Rage in Peace memanfaatkan karakteristik video game semaksimal mungkin untuk menciptakan pengalaman yang tak bisa kita rasakan melalui medium lain. Di sini, keempat unsur utama video game (teks, visual, audio, dan gameplay) bersinergi menjadi suatu kesatuan “narasi” yang tak terpisahkan.
Ada kalanya gameplay memegang peranan utama, sementara musik hanya menjadi bagian dari suasana latar. Tapi kemudian tiba waktunya musik maju ke tengah panggung, disokong oleh gameplay serta tampilan visual di sekitarnya. Sesekali game ini berubah menjadi semacam walking simulator, dan kita diajak beristirahat sambil menikmati suguhan visual mengagumkan. Tapi game ini juga berani menyuguhkan teks di posisi terdepan, sambil membuang unsur-unsur lain yang dirasa tak perlu.
Inilah yang terjadi ketika seorang kreator berani melepaskan diri dari konsensus umum tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Inilah bentuk video game ketika dirancang sebagai sebuah karya seni, penuh eksplorasi berani dan didorong oleh sebuah visi. Mungkin bahasa saya terdengar lebay. Tapi membayangkan kerja keras dan imajinasi yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu seperti Rage in Peace, saya tak punya kata-kata selain hanya pujian.
~hybrid.co.id