nurcahyo
New member
Siti Nuryani Kasanah
RETURN ON EDUCATION: PROFIL PETANI KECIL DUSUN KETOS, IMOGIRI
DUSUN KETOS
Berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Balai Desa Sriharjo, tepatnya di sebuah hamparan tanah yang berbukit dengan kondisi jalan setapak berbatu-batu, disitulah kita temukan sebuah Dusun kecil, Ketos. Dusun itu dihuni 542 orang atau lebih tepatnya 120 Kepala Keluarga. Kondisi geografis yang demikian menjadikan dusun Ketos tertinggal dibanding 12 dusun lain di Sriharjo.
Dalam kesehariannya, penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada pertanian, baik yang berstatus sebagai petani maupun buruh tani. Di kala senggang, sebagian penduduk bekerja menjadi tukang batu atau pengrajin kayu seperti kursi dan meja. Untuk menambah penghasilan keluarga, ada penduduk yang bakulan di pasar, memperdagangkan sayuran, palawija, kacang tanah, serta jagung. Selama satu tahun, komoditi pertanian tersebut dapat dijual tiga kali.
Kondisi tanah yang sebagian berupa tegalan memaksa penduduk berpikir agar tetap bisa menghidupi dapur mereka. Altematif pekerjaan adalah tukang kayu, tukang batu, atau bakulan di pasar seperti telah disebutkan di atas. Adanya jalan raya beraspal dan kendaraan umum ke kota, menarik minat warga untuk merantau, terutama bagi kalangan pemuda seperti Jakarta, Bandung, bahkan ke Malaysia.
Walaupun hanya mencapai sekitar 20 orang, perantau tersebut memberikan nuansa lain bagi Dusun Ketos. Sekarang ini, hampir setiap rumah memiliki TV dan jumlah sepeda motor juga bertambah, bahkan ada penduduk yang memiliki mobil pribadi, antara lain ?hasil? para perantau.
Dusun Ketos yang dikepalai Bapak Maryadi terdiri atas 2 RW dan empat RT. Pekarangan rumah penduduk masih luas, dan banyak yang menanam pohon kelapa. Pohon kelapa pernah dideres untuk gula kelapa tapi rupanya penderes pohon kelapa sekarang sudah langka. Disamping itu kebanyakan penduduk memelihara ternak seperti sapi dan kambing.
MARSUDI UTOMO, PETANI KECIL BERWIBAWA
Sejenak terpaku, rumah limasan, sederhana, di depannya ada sebuah kandang sapi, sang sapi dengan enaknya memakan hijauan, seakan tak peduli bulan puasa. Seorang bapak setengah umur sedang berjongkok, ditangannya ada beberapa peralatan bengkel. Rupanya bapak itu baru memperbaiki sepeda unta tua miliknya.
Bapak Marsudi Utomo, sosok tua itu mempersilakan saya memasuki rumahnya. Di ruang tamu itu hanya terdapat kursi tamu sederhana dan sebuah pesawat televisi. Senyumnya ramah, raut mukanya bersinar seolah ingin mengatakan betapa senang hatinya menerima kedatangan saya.
"Bapak punya anak tiga orang, semuanya perempuan!" sambil tertawa pelan. ?Anak saya yang pertama lulusan IKIP Karangmalang bekerja di Bekasi jadi guru, sedangkan yang nomor dua kerja di pabrik di Bekasi juga, yang kecil masih SMP, Mbak!
Bapak tamatan SD ini, bekerja menggarap sawah dan tegalan setiap harinya dibantu istri. Sawahnya memberi berkah padi bagi keluarga dua kali setiap tahun, tegalan sendiri menghasilkan beberapa jenis sayuran, dan palawija yang bisa dijual ke pasar tiga kali tiap tahun. Selama satu bulan keluarga Pak Marsudi bisa mengantongi uang Rp500.000,00. Jika anaknya yang pergi merantau pulang di Hari lebaran, kantong mereka bertambah Rp300.000,00.
Pengeluaran harian rata-rata tercukupi dari pendapatannya. Namun jika bulan Hajatan datang, pengeluaran membengkak. Seperti tradisi orang desa lainnya keluarga Pak Marsudi harus menyumbang pada yang berhajat. Sumbangan tersebut kadang mencapai lebih dari Rp300.000,00.
Selama setahun ini, keluarga petani yang bersahaja ini merasa cukupan dalam perekonomiannya. Tetapi bila dibandingkan dengan sebelum Krismon terjadi, sepertinya kehidupan mereka harus lebih prihatin. Tiap hari mereka harus mengurangi porsi belanja, paling tidak menggunakan sayuran hasil tegalan. Krismon membuat keprihatinan, listrik pun harus dihemat agar tetap bisa menyekolahkan si bungsu.
Bapak yang sejak kecil di besarkan di lingkungan petani ini, sangat memperhatikan pendidikan putri-putrinya. Pendapatan keluarga yang pas-pasan, tidak mengurangi keinginan untuk menyekolahkan ketiga putrinya, bahkan si sulung bisa memperoleh predikat Sarjana dari IKIP Karangmalang (UNY sekarang). Tak dapat dipungkiri, fasilitas pendidikan seperti uang saku, buku-buku, dan sarana transportasi ke sekolah juga sangat terbatas. Ketiga putrinya bersepeda ontel ke sekolah, termasuk si kecil yang saat ini duduk di bangku SMP.
Mengapa saya memberi judul "Return on Education" dalam tulisan ini ? Hal ini semata karena rasa kagum terhadap pola pemikiran bapak yang jika sakit sangat jarang pergi berobat. "Saya tidak akan mampu mewariskan materi kepada anak-anak saya, tetapi saya hanya bisa memberi bekal ilmu."
Ilmu, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut science diyakini memberikan ?sangu urip? (bekal hidup) yang lebih abadi ketimbang harta. Dengan ilmu, seseorang akan mampu memperbaiki nasibnya, dan dengan ilmu pula kita kuat menghadapi segala macam cobaan hidup. Orang berilmu tentu akan berpikir rasional bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Selanjutnya manusia berilmu terus menerus mencari tahu segala macam jalan pengetahuan untuk kehidupannya.
Return on education barangkali merupakan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan cita-cita luhur seorang bapak. Harapannya tak terlalu muluk-muluk, dia hanya ingin anaknya menjadi lebih baik dari kehidupannya sekarang. Return yang akan dinikmati adalah kehidupan anaknya di masa yang akan datang, tentu lebih baik dalam segalanya dari bapak ibunya.
Memang hal yang biasa, apabila orang tua berharap anaknya menjadi 'orang'. Pak Marsudi sangat berhati-hati merawat anaknya. Dia akan memeriksakan anaknya ke dokter jika sakit walaupun dirinya sendiri sangat jarang berobat. Biaya tak masalah asalkan anaknya kembali sehat dan bisa sekolah lagi. Dalam hal makanan pun, keluarga sebisa mungkin menyediakan menu makanan yang bergizi. Sayangnya, krismon yang terjadi belakangan ini menyebabkan pengeluaran keluarga untuk makanan sedikit terganggu dengan agak menghemat.
Kadangkala, uang pendidikan atau uang membeli pupuk tak mencukupi. Keluarga harus meminjam dari orang lain. Pak Marsudi datang ke saudara terdekat untuk meminjam uang. "Langkung gampil, boten wonten bunganipun, lan saged nyaur sawontenipun." (lebih mudah, tanpa bunga, dan dapat diangsur sebisanya)
Kemudahan itulah yang menjadi alasan keluarga pedesaan memilih pinjam uang ke famili terdekat. Karena kesan berbelit-belit atau mungkin agak mewah membuat mereka enggan masuk ke bank modern. Selain itu, di desa ini sarana belum begitu lengkap. Meskipun rumah penduduk sudah semua dialiri listrik, namun beberapa fasilitas seperti telepon, PDAM masih belum tersedia di dekat lingkungan perumahan penduduk. Puskesmas telah ada yaitu di Balai desa Sriharjo, pelayanannya pun cukup baik. Posyandu juga sudah diadakan di rumah Pak Maryadi, Kepala Dusun Ketos.
Prestasi Sriharjo yang pemah mendapatkan predikat juara dalam administrasi pedesaan rupanya telah memberikan dampak positif bagi pelaanan masyarakat, misalnya pembuatan KTP.
Pembangunan yang selama bertahun-tahun berlangsung telah memberikan dampak kemajuan kesejahteraan penduduk di dusun Ketos secara bertahap. Beberapa proyek bantuan lantainisasi rumah sempat turun. Begitu juga bantuan pemerintah bagi Pokmas Minggu Kliwonan ditahun 1999, yaitu sekitar Rp700.000,00. Dana bantuan tersebut dipergunakan penduduk untuk usaha simpan pinjam, dengan bunga sekitar 5% satu selapan (35 hari). Pokmas ini sudah 25 tahun beroperasi, dan selama itu pulalah pokmas mampu memiliki inventaris berupa kursi, meja, dan peralatan dari kayu lainnya.
Disamping Pokmas, masyarakat dusun Ketos juga bisa meminjam uang melalui arisan. Khusus untuk bapak-bapak arisan diadakan setiap Minggu Pahing, arisan ibu-ibu dan pemuda dilaksanakan oleh satu pedukuhan.
Pak Marsudi yang kebetulan menjadi Kepala RT 01 ini menuturkan bahwa rata-rata penduduk di RT-nya cukup baik, hanya ada 3 KK yang tergolong miskin sekali. Ketiga KK miskin tersebut karena yang seorang sudah tua dan sakit-sakitan, sedang dua orang lainnya janda. Penduduk RT 01 yaitu 26 KK selalu bergotong royong, saling bantu membantu, jika ada yang kesusahan tak akan dibiarkan berlarut-larut.
Inilah pelajaran berharga bagi kita semua. Anggapan bahwa orang desa itu bodoh tidak semestinya lagi kita terima. Pak Marsudi adalah cermin seorang desa yang mempunyai wawasan, visi, dan misi yang sangat bagus. Bapak ini tak pernah tahu apa itu visi, misi, return on education dan sebagainya, tapi dibalik itu semua ada makna tersembunyi yang sangat mendalam.
Pemikiran encer ini bersumber dari hati, bukan dari kata yang sulit diartikan seperti diatas. Small is beautiful, kesederhanaan dari seorang petani desa bukanlah halangan mewujudkan impian.
Jika pemerintah bertekad mengentaskan penduduk dari kemiskinan di pedesaan, pemerintah tak boleh lagi mengganggap dirinya sebagai orang yang serba tahu, mendikte dan menerapkan program-program yang hanya ditujukan bagi kepentingannya. Sudah saatnya, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, learn to hear not to tell.
Mungkin cita-cita Pak Marsudi agar anaknya menjadi lebih baik sesuai dengan sebuah kalimat yang sangat saya sukai "You have a wonderful thing of going out your way to be wonderful" . Siapapun kita jika mau berusaha pasti akan mendapat apa yang dicita-citakan.
Siti Nuryani Kasanah: Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Angkatan 1998, Peserta Kuliah Ekonomi Indonesia yang diasuh Prof. Dr. Mubyarto
RETURN ON EDUCATION: PROFIL PETANI KECIL DUSUN KETOS, IMOGIRI
DUSUN KETOS
Berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Balai Desa Sriharjo, tepatnya di sebuah hamparan tanah yang berbukit dengan kondisi jalan setapak berbatu-batu, disitulah kita temukan sebuah Dusun kecil, Ketos. Dusun itu dihuni 542 orang atau lebih tepatnya 120 Kepala Keluarga. Kondisi geografis yang demikian menjadikan dusun Ketos tertinggal dibanding 12 dusun lain di Sriharjo.
Dalam kesehariannya, penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada pertanian, baik yang berstatus sebagai petani maupun buruh tani. Di kala senggang, sebagian penduduk bekerja menjadi tukang batu atau pengrajin kayu seperti kursi dan meja. Untuk menambah penghasilan keluarga, ada penduduk yang bakulan di pasar, memperdagangkan sayuran, palawija, kacang tanah, serta jagung. Selama satu tahun, komoditi pertanian tersebut dapat dijual tiga kali.
Kondisi tanah yang sebagian berupa tegalan memaksa penduduk berpikir agar tetap bisa menghidupi dapur mereka. Altematif pekerjaan adalah tukang kayu, tukang batu, atau bakulan di pasar seperti telah disebutkan di atas. Adanya jalan raya beraspal dan kendaraan umum ke kota, menarik minat warga untuk merantau, terutama bagi kalangan pemuda seperti Jakarta, Bandung, bahkan ke Malaysia.
Walaupun hanya mencapai sekitar 20 orang, perantau tersebut memberikan nuansa lain bagi Dusun Ketos. Sekarang ini, hampir setiap rumah memiliki TV dan jumlah sepeda motor juga bertambah, bahkan ada penduduk yang memiliki mobil pribadi, antara lain ?hasil? para perantau.
Dusun Ketos yang dikepalai Bapak Maryadi terdiri atas 2 RW dan empat RT. Pekarangan rumah penduduk masih luas, dan banyak yang menanam pohon kelapa. Pohon kelapa pernah dideres untuk gula kelapa tapi rupanya penderes pohon kelapa sekarang sudah langka. Disamping itu kebanyakan penduduk memelihara ternak seperti sapi dan kambing.
MARSUDI UTOMO, PETANI KECIL BERWIBAWA
Sejenak terpaku, rumah limasan, sederhana, di depannya ada sebuah kandang sapi, sang sapi dengan enaknya memakan hijauan, seakan tak peduli bulan puasa. Seorang bapak setengah umur sedang berjongkok, ditangannya ada beberapa peralatan bengkel. Rupanya bapak itu baru memperbaiki sepeda unta tua miliknya.
Bapak Marsudi Utomo, sosok tua itu mempersilakan saya memasuki rumahnya. Di ruang tamu itu hanya terdapat kursi tamu sederhana dan sebuah pesawat televisi. Senyumnya ramah, raut mukanya bersinar seolah ingin mengatakan betapa senang hatinya menerima kedatangan saya.
"Bapak punya anak tiga orang, semuanya perempuan!" sambil tertawa pelan. ?Anak saya yang pertama lulusan IKIP Karangmalang bekerja di Bekasi jadi guru, sedangkan yang nomor dua kerja di pabrik di Bekasi juga, yang kecil masih SMP, Mbak!
Bapak tamatan SD ini, bekerja menggarap sawah dan tegalan setiap harinya dibantu istri. Sawahnya memberi berkah padi bagi keluarga dua kali setiap tahun, tegalan sendiri menghasilkan beberapa jenis sayuran, dan palawija yang bisa dijual ke pasar tiga kali tiap tahun. Selama satu bulan keluarga Pak Marsudi bisa mengantongi uang Rp500.000,00. Jika anaknya yang pergi merantau pulang di Hari lebaran, kantong mereka bertambah Rp300.000,00.
Pengeluaran harian rata-rata tercukupi dari pendapatannya. Namun jika bulan Hajatan datang, pengeluaran membengkak. Seperti tradisi orang desa lainnya keluarga Pak Marsudi harus menyumbang pada yang berhajat. Sumbangan tersebut kadang mencapai lebih dari Rp300.000,00.
Selama setahun ini, keluarga petani yang bersahaja ini merasa cukupan dalam perekonomiannya. Tetapi bila dibandingkan dengan sebelum Krismon terjadi, sepertinya kehidupan mereka harus lebih prihatin. Tiap hari mereka harus mengurangi porsi belanja, paling tidak menggunakan sayuran hasil tegalan. Krismon membuat keprihatinan, listrik pun harus dihemat agar tetap bisa menyekolahkan si bungsu.
Bapak yang sejak kecil di besarkan di lingkungan petani ini, sangat memperhatikan pendidikan putri-putrinya. Pendapatan keluarga yang pas-pasan, tidak mengurangi keinginan untuk menyekolahkan ketiga putrinya, bahkan si sulung bisa memperoleh predikat Sarjana dari IKIP Karangmalang (UNY sekarang). Tak dapat dipungkiri, fasilitas pendidikan seperti uang saku, buku-buku, dan sarana transportasi ke sekolah juga sangat terbatas. Ketiga putrinya bersepeda ontel ke sekolah, termasuk si kecil yang saat ini duduk di bangku SMP.
Mengapa saya memberi judul "Return on Education" dalam tulisan ini ? Hal ini semata karena rasa kagum terhadap pola pemikiran bapak yang jika sakit sangat jarang pergi berobat. "Saya tidak akan mampu mewariskan materi kepada anak-anak saya, tetapi saya hanya bisa memberi bekal ilmu."
Ilmu, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut science diyakini memberikan ?sangu urip? (bekal hidup) yang lebih abadi ketimbang harta. Dengan ilmu, seseorang akan mampu memperbaiki nasibnya, dan dengan ilmu pula kita kuat menghadapi segala macam cobaan hidup. Orang berilmu tentu akan berpikir rasional bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Selanjutnya manusia berilmu terus menerus mencari tahu segala macam jalan pengetahuan untuk kehidupannya.
Return on education barangkali merupakan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan cita-cita luhur seorang bapak. Harapannya tak terlalu muluk-muluk, dia hanya ingin anaknya menjadi lebih baik dari kehidupannya sekarang. Return yang akan dinikmati adalah kehidupan anaknya di masa yang akan datang, tentu lebih baik dalam segalanya dari bapak ibunya.
Memang hal yang biasa, apabila orang tua berharap anaknya menjadi 'orang'. Pak Marsudi sangat berhati-hati merawat anaknya. Dia akan memeriksakan anaknya ke dokter jika sakit walaupun dirinya sendiri sangat jarang berobat. Biaya tak masalah asalkan anaknya kembali sehat dan bisa sekolah lagi. Dalam hal makanan pun, keluarga sebisa mungkin menyediakan menu makanan yang bergizi. Sayangnya, krismon yang terjadi belakangan ini menyebabkan pengeluaran keluarga untuk makanan sedikit terganggu dengan agak menghemat.
Kadangkala, uang pendidikan atau uang membeli pupuk tak mencukupi. Keluarga harus meminjam dari orang lain. Pak Marsudi datang ke saudara terdekat untuk meminjam uang. "Langkung gampil, boten wonten bunganipun, lan saged nyaur sawontenipun." (lebih mudah, tanpa bunga, dan dapat diangsur sebisanya)
Kemudahan itulah yang menjadi alasan keluarga pedesaan memilih pinjam uang ke famili terdekat. Karena kesan berbelit-belit atau mungkin agak mewah membuat mereka enggan masuk ke bank modern. Selain itu, di desa ini sarana belum begitu lengkap. Meskipun rumah penduduk sudah semua dialiri listrik, namun beberapa fasilitas seperti telepon, PDAM masih belum tersedia di dekat lingkungan perumahan penduduk. Puskesmas telah ada yaitu di Balai desa Sriharjo, pelayanannya pun cukup baik. Posyandu juga sudah diadakan di rumah Pak Maryadi, Kepala Dusun Ketos.
Prestasi Sriharjo yang pemah mendapatkan predikat juara dalam administrasi pedesaan rupanya telah memberikan dampak positif bagi pelaanan masyarakat, misalnya pembuatan KTP.
Pembangunan yang selama bertahun-tahun berlangsung telah memberikan dampak kemajuan kesejahteraan penduduk di dusun Ketos secara bertahap. Beberapa proyek bantuan lantainisasi rumah sempat turun. Begitu juga bantuan pemerintah bagi Pokmas Minggu Kliwonan ditahun 1999, yaitu sekitar Rp700.000,00. Dana bantuan tersebut dipergunakan penduduk untuk usaha simpan pinjam, dengan bunga sekitar 5% satu selapan (35 hari). Pokmas ini sudah 25 tahun beroperasi, dan selama itu pulalah pokmas mampu memiliki inventaris berupa kursi, meja, dan peralatan dari kayu lainnya.
Disamping Pokmas, masyarakat dusun Ketos juga bisa meminjam uang melalui arisan. Khusus untuk bapak-bapak arisan diadakan setiap Minggu Pahing, arisan ibu-ibu dan pemuda dilaksanakan oleh satu pedukuhan.
Pak Marsudi yang kebetulan menjadi Kepala RT 01 ini menuturkan bahwa rata-rata penduduk di RT-nya cukup baik, hanya ada 3 KK yang tergolong miskin sekali. Ketiga KK miskin tersebut karena yang seorang sudah tua dan sakit-sakitan, sedang dua orang lainnya janda. Penduduk RT 01 yaitu 26 KK selalu bergotong royong, saling bantu membantu, jika ada yang kesusahan tak akan dibiarkan berlarut-larut.
Inilah pelajaran berharga bagi kita semua. Anggapan bahwa orang desa itu bodoh tidak semestinya lagi kita terima. Pak Marsudi adalah cermin seorang desa yang mempunyai wawasan, visi, dan misi yang sangat bagus. Bapak ini tak pernah tahu apa itu visi, misi, return on education dan sebagainya, tapi dibalik itu semua ada makna tersembunyi yang sangat mendalam.
Pemikiran encer ini bersumber dari hati, bukan dari kata yang sulit diartikan seperti diatas. Small is beautiful, kesederhanaan dari seorang petani desa bukanlah halangan mewujudkan impian.
Jika pemerintah bertekad mengentaskan penduduk dari kemiskinan di pedesaan, pemerintah tak boleh lagi mengganggap dirinya sebagai orang yang serba tahu, mendikte dan menerapkan program-program yang hanya ditujukan bagi kepentingannya. Sudah saatnya, pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, learn to hear not to tell.
Mungkin cita-cita Pak Marsudi agar anaknya menjadi lebih baik sesuai dengan sebuah kalimat yang sangat saya sukai "You have a wonderful thing of going out your way to be wonderful" . Siapapun kita jika mau berusaha pasti akan mendapat apa yang dicita-citakan.
Siti Nuryani Kasanah: Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Angkatan 1998, Peserta Kuliah Ekonomi Indonesia yang diasuh Prof. Dr. Mubyarto